Edward Forrer

lahir 25 Oktober 1966 di Bandung

GOSIPNYA
Edward Forrer sering menyaksikan bagaimana ibunya harus membujuk adik-adiknya meminum air yang banyak untuk mengganjal perut. Edward menjadi tulang punggung keluarga di usia muda ketika ayah dan ibunya bercerai. Karena tidak punya biaya ia hanya sekolah hingga SMA sehingga ia tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan selain menjadi buruh kasar.

Ia bekerja di bagian gudang sebuah pabrik sepatu di Bandung. Suatu hari ia membaca sebuah artikel mengenai pengembangan talenta di koran. Artikel itu dibacanya berulang-ulang dan memaksanya mencari hal yang mungkin menjadi bakatnya. Satu-satunya bakat yang ia miliki adalah menggambar.

Ia segera memakai bakatnya itu dengan sepatu sebagai objeknya. Ia mengamati model-model sepatu di gudang tempat ia bekerja tampak begitu membosankan dan kuno. Ia pun mendesain sepatunya sendiri dengan membuat modifikasi tumpukan sepatu yang sehari-hari dilihatnya, dengan tambahan imajinasi dan kreasi. Namun sayang, bos tempatnya bekerja menolak untuk memproduksi desain itu. Penolakan itu tidak membuatnya jera, dia tetap rajin membuat desain-desain baru meskipun ia tahu desain tersebut hanya akan berakhir di laci meja.

Pada tahun 1989, setelah satu tahun bekerja, ia mengambil keputusan berani untuk meninggalkan perusahaannya setelah melihat tidak adanya peluang untuk mengubah nasib dari bagian gudang menjadi desainer. Kepada bosnya, ia mengaku akan membangun usaha yang sama tetapi bersumpah tidak akan menjadi pesaing.

Dengan bermodalkan sepeda kumbang tua dan mesin jahit pinjaman, ia menawarkan produknya dengan cara menawarkan sepatunya hanya dengan gambar yang ia buat. Sial baginya, ide penjualan yang unik ini ditolak mentah-mentah, tak ada yang mau membeli sepatunya. Banyak orang yang ditawarinya langsung menolak mentah-mentah terlebih karena ia meminta uang muka terlebih dahulu sebelum sepatunya dibuat, ibu-ibu ketakutan dan menganggapnya penipu.

Untuk menutupi biaya hidup, ia mengajar les privat matematika. Orang tua murid di tempatnya mengajar menjadi pelanggan pertamanya. Mungkin karena belas kasihan, orang tua itu memesan sepasang sepatu dan bersedia membayar uang muka untuk membeli bahan kulit.

Sepatu itu dibuat dengan susah payah karena meskipun pandai mendesain, dia tidak begitu pintar mengesol sepatu. Karena itu ia terlebih dahulu belajar membuat sepatu dengan mesin jahit. Produk pertamanya itu memang dipasarkan dengan cara yang tidak lazim, tetapi hasilnya bagus dan kokoh sehingga si ibu merasa senang.

Ibu tersebut kemudian memamerkan sepatu buatan Edward ke ibu-ibu lainnya, dari arisan ke arisan, sepatu buatan Edward yang kokoh dan tidak pasaran menjadi terkenal dan penjualan meningkat, dari yang tadinya lima pesanan dalam seminggu menjadi lima pesanan dalam sehari. Edward pun mengumpulkan uang dan dengan Rp. 200.000 ia merekrut dua orang karyawan dan membeli sebuah mesin jahit.

Seiring dengan membengkaknya penjualan, Edward tidak lagi menawarkan produknya dengan sepeda kumbang, tetapi membangun toko kecil-kecilan berukuran 2 x 2 meter di ruang tamu rumahnya. Pada Agustus 1992 ia mampu menyewa sebuah toko di Jalan Saad, Bandung, namun karena ternyata tidak laku, ia memindahkan tokonya ke tempat yang lebih besar di Jalan Veteran No. 44 Bandung, yang kini menjadi kantor pusat Edward Forrer. Kini Edward Forrer ada juga di Jl. Ir. H Juanda 113 Bandung.

Konsumen Edward yang tadinya ibu-ibu kelas menengah ke bawah pun berubah menjadi konsumen menengah ke atas. Gerai distro mulai dibanjiri orang-orang dari Jakarta. Selain desain sepatu yang modis, orang-orang di luar Bandung itu tampaknya juga sangat nyaman dengan merek sepatu yang dilabeli dengan nama Edward Forrer. Mereka yang tidak tahu mungkin menyangka itu adalah sepatu impor mahal dari Italia. Padahal sepatu-sepatu itu dibuat di Bandung.

Menghadapi pesanan bertubi-tubi, Edward kewalahan dan memutuskan untuk makloon. Ia hanya menyediakan desainnya dan menjualnya dengan merek miliknya. Edo juga memantapkan tim kreatif desain dan menjadikannya sebagai bagian paling penting dalam bisnis ini. Ia menargetkan desainernya mampu menelurkan 2 model sandal dan sepatu baru setiap 10 hari.

Pada saat krisis moneter datang tahun 1997, bisnis sepatunya tidak terimbas dan malah sebaliknya, semakin melambung. Ini lantaran Edward telah memiliki stok bahan baku untuk beberapa tahun. Berbeda dari para kompetitornya yang terpaksa menyesuaikan harga, Edward malah bertahan dengan harga lama. Harga jual produknya saat itu antara Rp 100.000 dan Rp 400.000. Saat itu Edward sampai membuka tiga gerai baru di Veteran, Premier-Cihampelas, dan Kings' Shopping Centre-Kepatihan demi memenuhi permintaan konsumen.

Pada 2003, Edward Forrer beralih dari perusahaan perorangan menjadi perseroan terbatas. Hasilnya, pada semester pertama tahun 2003, Edward Forrer telah memiliki 16 gerai. Tujuh di antaranya berada di Bandung dan dua gerai di Bali. Sisanya menyebar di Jakarta, Jogjakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Semarang, dan Malang.

Pada awal 2005, Edward Forrer mulai membuka sistem waralaba. Kini, ada empat kategori waralaba yang ditawarkan Edward Forrer. Mulai dari investasi Rp 200 juta sampai dengan di atas Rp 900 juta. Perbedaan investasi ini dilihat dari luas gerai yang akan dibuka. Paling kecil 30-100 m² sampai di atas 300 m². Adapun fee royalti yang dipatok Edward Forrer 3% dari total omzet setiap bulannya; sedangkan fee waralaba yang wajib dibayar franchise disesuaikan dengan kategori yang dipilih, mulai dari Rp 50 juta sampai Rp 125 juta. GOSIPNYA hingga tahun 2011 Edward punya sekitar 500 karyawan.

Edward mulai merambah pasar luar negeri seperti Australia pada 17 Agustus 2003. Pada 26 November 2006 masuk ke Malaysia. Ia juga punya satu gerai di Hawaii. GOSIPNYA hingga tahun 2011 Edward memiliki 47 gerai di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.