Ayam Goreng Mbok Berek

Noor Indarti (generasi ke 3)

Ratna Djuwita Umiyatsih Rejeki (generasi ke 4)
lahir 4 Juni 1944 di Yogyakarta

CABANG TOKO
-Jl. Prof. Dr. Supomo SH 14, Jakarta Selatan Telp. 021 829 5366 - 831 2921/19
-Jl. Metro Duta 5-6 Pondok Indah, Jakarta Selatan Telp. 021 750 0808
-Jl. Ciputat Raya, Pondok Cabe Km 9, Jakarta Selatan Telp. 021 749 0867
-Jl. Pamulang Raya 1-2 Ciputat, Tangerang Telp. 021 7470 0302
-Jl. A Yani Blok A1 Ruko Bekasi Mas, Bekasi Telp. 021 884 0086
-Jl. Raya Puncak-Tugu Selatan, Bogor Telp. 0251 825 7652
-Jl. Solo-Yogya, Candisari, Kalasan, Yogyakarta Telp. 0274 496 298

GOSIP MBOK BEREK
Ronopawiro yang lebih dikenal dengan nama Djakiman, menyunting Nini Ronodikromo yang mempunyai nama panggilan Nyi Rame. Mereka tinggal di Desa Candisari, Yogyakarta. Dari hasil perkawinannya, Nyi Rame mempunyai beberapa putra dan putri yaitu Samidjo Mangundimedjo, Saminten Pawirosudarsono, Sukinah Mulyodimejo, Tumirah Martohanggono, Saminun dan Suwarto.

Salah satu anak tersebut sangat rewel, suka menangis menjerit-jerit, yang bahasa Jawa-nya disebut berek-berek. GOSIPNYA para tetangga mulai memanggil Nyi Rame menjadi Mbok Berek dan ayam goreng dagangannya hingga kini dikenal sebagai Ayam Goreng Mbok Berek.

Suatu hari datang seorang kakek-kakek yang berpakaian serba wulung (ungu) ke warung Mbok Berek. Melihat orang tua itu berkeringat, Mbok Berek hendak mengambilkan segelas air putih. Belum sempat melaksanakan niatnya, tiba-tiba kakek itu bertanya, "Kamu jualan apa?"

"Jualan ayam goreng," jawab Mbok Berek singkat. Tanpa diminta, kakek tersebut memberi resep cara membuat ayam goreng yang enak. Setelah kakek itu selesai berbicara, Mbok Berek bergegas mengambilkan air putih ke dapur. Ketika keluar, kakek itu sudah pergi menghilang.

Mbok Berek mengingat petuah kakek berbaju ungu itu yang di kemudian hari diabadikan menjadi nama perusahaan oleh cicitnya, Ny. Umi dengan nama PT Weling Simbah Wulung yang artinya petuah kakek berbaju ungu.

Sebelum Meninggal, Mbok Berek yang mempunyai 5 orang anak berpesan agar anak-cucunya meneruskan usahanya. "Karena itu, semua anak cucu Mbok Berek berhak memakai nama Ayam Goreng Mbok Berek," ujar Ny. Umi. Ny. Umi merupakan cucu dari anak pertama Mbok Berek, Samidjo Mangundimedjo.

GOSIP NY. UMI
Ratna Djuwita Umiyatsih Rejeki alias Umi lahir di dekat bandara Adi Sucipto, desa Grogol, Yogyakarta. Ibunya meninggal sejak ia masih bayi. Karena waktu itu ia cucu satu-satunya, ia menjadi rebutan antara orang tua pihak bapak dengan pihak ibu. Setelah selesai SMP, ia pergi ke Jakarta dan tinggal di rumah tantenya di Jl. Talang Betutu.

Ia melanjutkan pendidikan di sekolah keputrian dan mengikuti berbagai kursus untuk mengisi waktu luang. Biaya kursus untuk satu pelajaran Rp. 2000 dan ia membuka kursus di garasi rumah dengan biaya yang sama dan memiliki banyak murid sehingga menghasilkan untung. Karena itu pula ia menguasai keterampilan merias wajah dan menjahit. Selain membuka kursus ia juga berdagang pakaian yang ditawarkan secara kredit pada para tetangganya. Dengan berbagai usaha yang ia lakukan ditambah gaya hidupnya yang hemat membuat tabungannya terus bertambah.

Suatu ketika ia menyetor uang sekaligus mengambil barang dagangan di rumah langganannya. Karena hampir malam, pemilik rumah meminta tolong adiknya, Noor Salim, untuk mengantarkan Umi. Setelah berkenalan, satu waktu Noor meminjam buku dan menyelipkan sebuah surat ketika mengembalikannya dan mereka pun menjadi sepasang kekasih.

Setelah berpacaran untuk sekian lama, mereka bersepakat untuk menikah. Pesta pernikahan diselenggarakan oleh nenek dari pihak ibu di Yogyakarta. Karena usaha ayam goreng neneknya telah dikenal dimana-mana, tamu yang datang begitu banyak dan GOSIPNYA tamu dari keraton Yogyakarta pun hadir.

Saat itu ia menerima kado berupa resep mengolah ayam goreng dari neneknya. Setelah itu ia dan suaminya kembali ke Jakarta dan menumpang di rumah salah seorang bibinya di Rawamangun. Tahun 1969 karena gaji suaminya tidak cukup, ia ikut membantu perekonomian keluarga dengan berjualan ayam goreng. Untuk memberikan ciri khas dan memudahkan konsumen mengingat, ia memakai istilah "ayam desa masuk kota", karena masakan ini berasal dari daerah.

Tidak lama kemudian, neneknya meninggal. Ia dan anak-anaknya pergi ke Yogyakarta, berduka selama sebulan. Karena tabungannya hampir habis, ia kembali ke Jakarta dan memulai lagi usaha dari awal. Penghasilan suaminya yang bekerja di ekspedisi muatan kapal laut sebesar Rp 15 ribu per bulan (yang GOSIPNYA ketika itu hanya cukup untuk biaya hidup seminggu di Jakarta) dibelikan perlengkapan rumah tangga yang lalu dikreditkan pada tetangga, dengan cicilan Rp. 50 per hari (GOSIPNYA banyak orang yang tidak membayar hutangnya).

Pasangan suami istri dengan tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki ini lalu mengontrak rumah di daerah Menteng Dalam dan masih mempraktekkan usaha kredit tersebut. Meski merupakan keturunan Mbok Berek, banyak orang yang tidak mempercayainya. Hal itu membuatnya pindah berjualan ayam goreng di pasar Cikini. Karena kesulitan keuangan, ia berhutang pada sesama pedagang ayam sedangkan bumbu ia minta ke tetangga.

Setiap hari ia hanya menggoreng 3 ekor ayam. Kadang laku kadang tidak. Jika tidak laku, ia bagikan kepada teman-temannya di pasar karena ia merasa berhutang budi pada mereka. Sebaliknya ketika dagangan mereka tidak habis, mereka juga memberikan dagangannya.

Sadar akan kekuatan merek, tahun 1972 ia mendaftarkan merek dagangnya dengan nama "Mbok Berek" di Departemen Kehakiman RI. Di tahun yang sama dibuka cabang baru di daerah Pegangsaan Timur Jakarta. Tahun 1974 cabang baru di Tanjung Karang berdiri (GOSIPNYA ditutup karena kena gusur). Tahun 1976 cabang baru di Cikini berdiri. Tahun 1978 cabang di Prof. Supomo berdiri. Sejak saat inilah usahanya berkembang pesat. Ia membuka lagi cabang di Jl. Prof. Supomo no. 10, 14, dan 16, yang hingga kini menjadi kantor pusat sekaligus rumahnya.

Meski usahanya mulai maju, gaya hidupnya tetap hemat. Hal itu ia ajarkan pada anak-anaknya. Ia membiasakan mereka tidak memakai barang dan mobil mewah. Untuk keperluan tertentu, ia sesekali membuatkan mereka baju pesta dan jas 3 buah. Jika ada anaknya yang berulang tahun, mereka makan bersama ke restoran sedangkan jika ia atau suaminya berulang tahun, ia akan membuat nasi tumpeng dan merayakannya bersama karyawan. Gaya hidup hematnya membuat usahanya terus membesar dan membuatnya mendirikan PT. Karena neneknya pernah memberi petuah untuk memakai baju ungu, ia memberi nama Weling Simbah Wulung (yang artinya petuah kakek berbaju ungu) yang disingkat menjadi WSW.

Karena banyaknya masakan ayam goreng dari luar negri, ia juga mengembangkan usaha dengan sistem waralaba. Untuk memenuhi kebutuhan restoran waralaba itu, ia mendirikan pabrik di kawasan Cikarang yang bertujuan membuat bumbu, sambal dan pengepakan ayam beku yang sudah dibumbui. Suaminya bergabung dalam usaha ini setelah pensiun dari perusahaan asuransi. Kini usahanya dikelola oleh anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.