Oei Tiong Ham

Oei Tjie Sien
lahir 23 Juni 1835 di Cina
Ayah: Oei Djing Poe (1789-1877)
Ibu: Tjan Moay Nio (1792-1857)
Kakak ke 1: Oei King Tjien
Kakak ke 2: Oei King Tauw
Kakak ke 3: Oei Wie Sian
Kakak ke 4: Oei Sien Tjo
Kakak ke 5: Oei Ing Soen
Istri: Tjan Bien Nio (1835-1896)
Anak ke 1: Oei Tiong Tjhian
Anak ke 2: Oei Tiong Ham
Anak ke 3: Oei Tiong Bing
Anak ke 4: Oei Tiong An

GOSIP AYAHNYA
Oei Tjie Sien dilahirkan di desa Li Lim Sia, Distrik Tong An, Kabupaten Chuan Chow, Provinsi Hokkian pada 23 Juni 1835. Ayahnya bernama Oei Djing Poe dan ibunya bernama Tjan Moay Nio. Ia adalah anak bungsu dari enam bersaudara dan cukup terpelajar.

Pada masa mudanya dia bergabung dengan gerakan Tai Ping dibawah pimpinan Ang Hsiu Chuan untuk memerangi pemerintahan Manchu dari Dinasti Ching yang dianggap menyengsarakan rakyat kecil. Gerakan mereka sudah berhasil menduduki Ibu Kota kerajaan di Nanjing tapi gerakan mereka bisa dipadamkan dan ditumpas. Ketika itu setiap gerakan pemberontakan yang berhasil ditumpas akan diikuti oleh gerakan pembasmian yang sangat kejam.

Untuk menghindari hal itu maka pada tahun 1858 Oei Tjie Sien menyelinap pada sebuah kapal barang dari pelabuhan Amoy di Hokkian dan pergi ke Nan Yang dan lalu diteruskan ke Semarang. Dia meninggalkan seorang istri bernama Oei Cung Tjhian dan seorang anak bernama Oei Tiong Tjhian.

Ia tiba di Semarang bersama dengan 2 orang kerabatnya, Oei Sien Tjo dan Oei Tjo Pie. Setiba di Semarang Oei Sien Tjo pergi ke Parakan dan Oei Tjo Pie pergi ke Solo dan kabar keduanya tidak pernah terdengar lagi.

Setelah tiba di Semarang Oei Tjie Sien menjadi kuli angkut barang dan ia tidur di sebuah rumah sempit dari papan bersama para kuli lainnya. Pemilik rumah itu mengobrol dan mendengarkan kisah hidupnya dan berpendapat Oei Tjie Sien adalah seorang pekerja keras dan jujur. Ia menikahkan putrinya, Tjan Bien Nio, dan Oei Tjie Sien menyetujuinya. Keluarga istrinya memberi sedikit uang yang ia pakai untuk berdagang piring, mangkok porselen dan beras yang ditaruh di kantong-kantong kecil. Dengan memakai keranjang dia memikul sendiri dagangannya dan berkeliling menawarkannya ke rumah-rumah penduduk. Karena hidup hemat dia berhasil mengumpulkan uang sehingga akhirnya dia bisa menyewa tenaga orang lain untuk memikul dagangannya.

Pada tahun 1863, Oei Tjie Sien bersama seorang rekannya Ang Tay Liong mendirikan sebuah Kongsi Dagang bernama Kian Gwan Kongsi (建源公司 Jianyuan Gongsi) yang berarti "Sumber dari Seluruh Kesejahteraan". Ini adalah suatu hal yang tidak lazim dilakukan oleh pedagang Tionghoa pada waktu itu. Kian Gwan didaftarkan secara resmi kepada Pemerintah Belanda setempat.

Dibawah pimpinannya Kian Gwan melaju sangat pesat. Selain Beras ia juga berdagang kemenyan dan gambir. Ia juga mengekspor barang-barang dagangannya ke Siam (kini disebut Thailand) dan Saigon (Vietnam).

Usahanya yang maju pesat membuat Kian Gwan menjadi sangat terkenal sebagai pedagang besar dalam bidang ini. Hingga kini di Semarang masih ada jalan bernama Gang Gambiran yang merupakan bekas gudang gambir Kian Gwan Kongsi.

Setiap tahun Oei Tjie Sien secara rutin mengirimkan sebagian dari hasil keuntungannya kepada pemerintah Manchu sebagai upaya untuk memperoleh pengampunan dari kaisar agar ia bisa menengok kampung halamannya tanpa takut dipenjara. Setiap kali pulang ke Semarang dia singgah ke beberapa negara Asia Tenggara untuk menjalin bisnis dengan pedagang setempat untuk mengembangkan usahanya.

Di Semarang Oei Tjie Sien mempunyai tiga anak: Oei Tiong Ham, Oei Tiong Bing dan Oei Tiong An yang meninggal waktu dilahirkan. Ia juga mempunyai empat anak perempuan yang seperti kebiasaan waktu itu tidaklah masuk dalam hitungan dalam segi warisan. Dengan intuisi bisnisnya dia memilih Oei Tiong Ham sebagai pewaris usahanya.

Ternyata pilihannya itu tidak salah karena dibawah pimpinan Oei Tiong Ham, Kian Gwan menjadi puluhan kali lipat lebih besar. Walau Oei Tiong Ham mewarisi Kian Gwan tapi sebagian besar harta Oei Tjie Sien justru dibagi-bagikan untuk anak-anaknya yang lain.

Tahun 1900, Oei Tjie Sien meninggal di rumahnya di daerah Penggiling – Simongan, Semarang. Istrinya sudah meninggal lebih dulu tahun 1896. keduanya dimakamkan di pemakaman keluarga yang telah lama disediakan tak jauh dari rumahnya di luar kota Semarang. Dia membeli tanah itu karena merasa geram kepada seorang keturunan Yahudi bernama Yohannes yang menguasai tanah itu sebelumnya.

Di daerah tersebut terletak Kelenteng Sam Poo Kong yang setiap tanggal 1 dan 15 kalender Imlek maupun setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon selalu ramai dikunjungi oleh umat yang ingin berdoa dan bersembahyang. Tuan Yohannes memungut cukai kepada para semua peziarah tersebut. Hal inilah yang membuat Oei Tjie Sien menjadi berang dan membuatnya membeli tanah tersebut. Setelah tanah itu dikuasainya, semua pengunjung Kelenteng Sam Poo Kong dibebaskan dari pembayaran cukai.

Oei Tjie Sien mengerti Bahasa Melayu walau masih berbahasa Mandarin dalam kegiatan sehari-hari kepada para anak buahnya. Setiap Hari Raya Imlek bertempat di Kelenteng Tay Kak Sie ia membagi-bagikan uang kepada para orang miskin. Ketika meninggal dia meninggalkan warisan sebesar 17,5 juta Gulden Belanda (GOSIPNYA sih setara 2,5 ton emas).

Oei Tiong Ham (黄仲涵)
lahir 19 November 1866 di Semarang
meninggal 3 Juni 1924
Ayah: Oei Tjie Sien (黄志信 Huáng Zhìxìn, 23 Juni 1835-1900)
Ibu: Tjan Bien Nio (1835-1896)

FAMILI
Istri Anak Lahir
1. Goei Bing Nio 1. Oei Tjong Lan 05 April 1886
2. Oei Hui Lan (Madame William Khoo) 21 Desember 1889
2. The Khiam Nio 1. Oei Tjhoe Nio 01 Agustus 1903
3. The Tjik Nio 1. Oei Tjong Tee 02 Februari 1895
2. Oei Hwan Nio 03 Agustus 1897
3. Oei Tjong Swan 19 Januari 1899
4. Oei Oen Nio 09 Agustus 1900
5. Oei Tjong Yoe 21 April 1903
6. Oei Tjong Tiong 07 Oktober 1904
7. Oei Liang Nio 24 Februari 1906
8. Oei Tjong Liam 26 Desember 1906
9. Oei Siok Kiong Nio 08 Januari 1908
4. Ong Mei Hwa Nio 1. Oei Tjong Houw 20 Januari 1905
2. Oei Tjong Tjiat 13 Juli 1909
3. Oei Tjong Yan 06 Desember 1912
4. Oei Tjong Ik 24 Agustus 1916
5. Oei Swat Nio 04 Januari 1908
5. Ong Tjiang Tjoe Nio 1. Oei Sioe Nio 01 September 1907
2. Oei Bien Nio 29 September 1913
6. Nyo Swat Ting Nio 1. Oei Siok Ing Nio 19 Oktober 1915
7. Hoo Kiem Hwa Nio (Lucy Hoo) 1. Oei Tjong Ie 19 Januari 1919
2. Oei Twan Nio 1920
3. Oei Tjong Bo 1922
4. Oei Tjong Hiong 1923
5. Oei Tjong Tjay 1924
8. Tan Sien Nio 1. Oei Siang Nio ---

GOSIPNYA
Oei Tiong Ham adalah anak kedua dari delapan orang anak. Pada usia 8 tahun ia belajar di sebuah sekolah swasta Tionghoa. Meski dia tidak pernah mengenyam pendidikan Belanda maupun Inggris tapi pada saat dewasa ia bisa mengerti isi surat dalam kedua bahasa tersebut dengan lancar. Ia adalah murid terpandai di kelasnya dan mempunyai kemampuan untuk menilai watak orang lain yang di kemudian hari sangat berguna dalam mengembangkan bisnisnya.

Bekas gudang Kian Gwan di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang

Tahun 1885 ia sudah bergabung dengan Kian Gwan Kongsi. Sebelumnya Oei Tiong Ham sudah memulai bisnis gula sendiri dan dari keuntungannya dia bisa memenangkan tender Pachter Candu untuk daerah Semarang, Yogyakarta, Surakarta dan Surabaya. Kerja sebagai Pachter Candu ini dikuasainya sampai tahun 1904 karena semua izin penjualan candu diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Pada waktu itu terjadi krisis perdagangan opium/candu. Dari 19 Izin yang ada hanya 4 saja yang bisa bertahan. Hasil menguasai perdagangan candu dari tahun 1890-1904 tersebut, Oei Tiong Ham memperoleh keuntungan bersih 18 juta Gulden Belanda.

Dalam usia yang relatif muda, Oei Tiong Ham sudah masuk dalam pergaulan elit masyarakat Tionghoa Semarang. Dia diangkat sebagai Letnan Tionghoa (Luitenant der Chinezen) dan 10 tahun kemudian dia diangkat menjadi Mayor Tionghoa (Majoor der Chinezen).

Pada tahun 1896, pemerintah kolonial Belanda menunjuk Oei sebagai Pemimpin Komunitas Tionghoa di Semarang. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa secara hukum diwajibkan untuk mengenakan pakaian tradisional Tiongkok termasuk memelihara Kuncir (Taucang) ciri khas Kerajaan Manchu.

Pada November 1889, ia menyewa seorang pengacara Belanda bernama Baron van Heeckren CW dan mengajukan permohonan izin untuk mengenakan busana Eropa. Ia menjadi orang Tionghoa pertama di Indonesia yang secara sah diizinkan memakai busana standar Eropa. Ia juga menjadi orang Tionghoa pertama di Semarang yang berani memotong kuncirnya serta menjadi orang Tionghoa pertama yang mendapat izin untuk tinggal diluar pecinan yaitu di daerah tempat tinggal orang-orang Eropa di daerah Gergaji.

Saat itu pemerintah kolonial Belanda masih menerapkan Wijkenstelsel yaitu aturan yang menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda untuk menindaklanjuti peristiwa Geger Pecinan di Batavia, dimana orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 dibantai. Sejak itulah orang Tionghoa dilarang tinggal di sembarang tempat.

Rumahnya yang biasa dikenal sebagai Istana Gergaji atau Istana Balekambang itu awalnya milik Hoo Yam Loo. Pengusaha Tionghoa dengan hak monopoli candu/opium. Ketika Yam Loo rugi besar, usahanya bangkrut. Sejak itu, harta Hoo disita pengadilan untuk dilelang, termasuk gedung besar miliknya tersebut. Tak ada catatan resmi pembangunan gedung ini, diperkirakan pembangunan berlangsung pada akhir 1800-an.

Taman Oei Tiong Ham

Oei Tjie Sin memenangkan lelang rumah Hoo itu pada 1883. Rumah itu ada di pemukiman Belanda. Agar semua lancar, Oei Tiong Ham menyewa pengacara Belanda terbaik untuk mengurus legalitasnya. Kedekatannya dengan Gubernur Jenderal ikut memperlancar izin tinggal di rumah barunya tersebut. Setelah resmi, gedung itu dibangun lagi tanpa mengikuti gaya arsitektur Cina. Ia melapisi lantai dengan marmer dari Itali. Karakter Tionghoa hanya ada di gerbang pelataran gedung.

Warisannya yang paling terkenal adalah Oei Tiong Ham Concern (OTHC). Perusahaannya itu adalah konglomerasi terbesar di Hindia Belanda pada awal abad 20. Konglomerasi ini dimulai dari Kian Gwan Kongsi yang ia warisi dari ayahnya pada tahun 1890 dan diubah menjadi PT tahun 1893. Aktivitas utama perusahaan adalah perdagangan hasil bumi khususnya karet, kapuk, gambir, tapioka, dan kopi. Perusahaannya juga bergerak di bidang pegadaian, jasa pos dan opium.

Tidak seperti pengusaha Tionghoa lainnya, semua transaksi, perjanjian dan perdagangan sudah melalui kontrak-kontrak tertulis. Pada tahun 1890-an ia adalah pemegang saham terbesar atas kepemilikan pabrik-pabrik gula di Jawa Timur. Karena krisis gula di tahun 1880-an, banyak pabrik-pabrik gula yang tidak bisa membayar kembali pinjamannya. Dia berhasil mendapatkan kontrak tertulis untuk mengalihkan saham-saham atas pabrik-pabrik gula tersebut dan semua itu diperolehnya secara legal. Dia memberikan jaminan atas pinjaman-pinjaman dari 5 pabrik gula tersebut untuk diperpanjang. Kelima pabrik gula tersebut adalah Rejoagung, Krebet, Tanggulangin, Pakies dan Ponen. Pada akhir abad 19, produksi Rejoagung mencapai 35.000 ton/tahun, Krebet 21.000 ton, Tanggulangin 20.500 ton, Pakies 13.000 ton, Ponen 12.000 ton.

Dia mendatangkan mesin-mesin yang lebih modern dari Jerman. Pabrik-pabrik gula tersebut kemudian menjadi tulang punggung OTHC. Ia telah menjelma menjadi pengusaha gula tersukses di Hindia Belanda dan sejak itulah dia dijuluki Raja Gula dari Jawa. Ia juga mempekerjakan sejumlah ahli dari Eropa maupun orang Tionghoa.

Untuk menjamin suplai tebu bagai pabrik gulanya ia mengontrak tanah seluas 7.082 hektare dan melakukan kontrak dengan beberapa pihak yang bersedia memasok tebu bagi pabrik-pabriknya. Untuk mengelola pabrik-pabrik gula tersebut ia mendirikan Naamloze Vennootschap Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken (PT Masyarakat Umum untuk Operasi Gula Oei Tiong Ham).

Oei Tiong Ham meluaskan usahanya ke bidang keuangan, khususnya bisnis asuransi dan perbankan. Kian Gwan menjadi agen dari berbagai perusahaan asuransi besar seperti Union Insurance Society of Canton Ltd.; Reliance Marine Insurance Co. Ltd.; Guardian Eastern Insurance Co. Ltd. dan masih banyak lagi.

Tahun 1906, Oei Tiong Ham mendirikan N.V. Bank Vereeniging Oei Tiong Ham dengan modal 4 juta Gulden di Semarang dan Surabaya. Kegiatan Bank ini awalnya hanya memberi kredit hipotik dan dagang tapi lama-kelamaan bank ini meluaskan usahanya ke perbankan umum serta melakukan perdagangan saham dan surat-surat berharga lainnya.

Ia juga mendirikan N.V. Bouw Maatschapij Randusari yang bergerak dibidang real estate dan berfokus membangun rumah, gedung dan perkantoran untuk dijual atau disewakan. Perusahaan ini berada dibawah administrasi N.V. Bank Vereeniging Oei Tiong Ham.

Pada tahun 1890 hingga 1920-an, OTHC berekspansi ke luar negeri. Pada tahun 1912 Kian Gwan Kongsi - sebuah cabang perusahaan dari OTHC - menjual sahamnya ke publik (GOSIPNYA hal ini adalah ide dari Oei Tiong Ham, bukan dari anggota OTHC) dan mendapatkan 15 juta Gulden.

Dalam menjalankan bisnisnya, hampir semua posisi puncak dikelola oleh tenaga profesional. Tapi posisi teratas tetap dipegang oleh orang-orang kepercayaannya atau anggota keluarganya sendiri. Pada peralihan abad ke-20, ia telah menjadi orang terkaya di Asia Tenggara. Usahanya mempunyai cabang di London (dibuka tahun 1910), Singapura (1911), Calcutta (1925), Mumbay (1926), Karachi (1928), Bangkok (1932), Hong Kong (1934), Shanghai (1934), Amsterdam dan New York. Ia juga menguasai sebuah Bank yang cukup besar, membuka usaha saham di London dan armada kapal angkutan di Singapura.

Ia seringkali mengandalkan intuisinya dalam menilai dan menempatkan pembantu-pembantu kepercayaannya dalam posisi yang sangat strategis. Sikapnya kepada bawahan dingin dan selalu serius. Kebiasaan dan kegemarannya berjudi sangat mempengaruhinya dalam pengambilan keputusan yang sering kali sangat spekulatif, sebagai contoh keputusannya untuk menimbun gula ketika harga gula jatuh akibat Perang Dunia I. Hal ini telah memberinya keuntungan yang luar biasa besar sampai-sampai ia membayar inkomsten belasting (Pajak Penghasilan) sebesar 2 juta Gulden.

Ia sangat percaya pada Hokkie (keberuntungan) dan Hong Shui (keharmonisan dan keselarasan berdasar unsur angin dan air). Alam menentukan lokasi dan bentuk bangunan tempat usahanya, rumah tinggalnya sampai tempat pemakamannya.

Ia juga adalah pemeluk agama Kong Hu Cu yang taat. Ia berusaha mendapat banyak keturunan (GOSIPNYA sih ia tergila-gila pada wanita). Ia mempunyai 8 istri dan 26 anak – 13 Lelaki dan 13 Perempuan.

Di Semarang ia ikut mendirikan Tiong Hoa Shang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) dan selama beberapa tahun ikut aktif didalamnya. Ia juga menjadi pengurus Hoa Ing Chung Shie (Chinese English School) yang didirikan pada 15 Maret 1916 di Semarang. Sekolah ini didirikan untuk menampung lulusan dari Tiong Hoa Hwee Kwan yang ingin melanjutkan sekolahnya sampai universitas. Hoa Ing Chung Shie ini ketika pertama didirikan berlokasi di Jln. Gang Tengah kemudian pindah ke Jln. Bojong / Jln. Pemuda di dekat sekolah HBS.

Susunan organisasi pada sekolah itu adalah Oei Tiong Ham sebagai Pelindung pertama, Gan Kang Sioe menjadi Pelindung kedua, Kwik Djoen Ing sebagai ketua, The Pik Hong sebagai wakil ketuanya, Han Hie Kie sebagai penasehat, Oei Ik Tjoe sebagai bendahara dan Hoo Tjiang sebagai sekretaris.

Dalam kehidupan pribadinya, Oei Tiong Ham menerapkan tradisi Tiongkok. Pada 1884 saat dia berusia 18 tahun, ayahnya mengawinkannya dengan Goei Bing Nio, putri dari salah satu keluarga kaya di Semarang. Keluarga Goei adalah keluarga opsir Tionghoa dan juga adalah keluarga pemegang Pachter Pajak yang bergengsi. (GOSIPNYA keluarga ini datang ke Jawa sekitar tahun 1700-an dan pada saat pernikahan tersebut berlangsung keluarga Goei sudah bisa dibilang peranakan). Dibandingkan dengan Keluarga Goei, Keluarga Oei Tjie Sien masih termasuk baru dan masih bisa disebut sebagai Totok dalam masyarakat peranakan tetapi Oei Tjie Sien berhasil memupus hambatan itu dan diterima dalam pergaulan elit masyarakat Tionghoa peranakan. GOSIP lain bilang bahwa Keluarga Goei dengan senang hati menerima lamaran Keluarga Oei karena puluhan kali lipat lebih kaya daripada Keluarga Goei.

Goei Bing Nio adalah putri tercantik dari 16 anak keluarga Goei. Ketika itu Oei Tjie Sien sedang mencari anak gadis yang akan dikawinkan dengan putranya, agar putranya yang doyan berfoya-foya dan berjudi itu bisa berubah perangainya. Setelah mendengar tentang gadis dari keluarga Goei tersebut ia segera melamarnya untuk dikawinkan dengan Oei Tiong Ham.

Perkawinannya dengan Goei Bing Nio kurang bahagia karena terlalu banyak perbedaan antara keduanya (GOSIPNYA sih Oei Tiong Ham bershio harimau dan Goei Bing Nio bershio naga sehingga mereka tidak akur). Istrinya hanya bisa memberi 2 orang putri sehingga membuat kehidupan rumah tangganya menjadi kurang harmonis. Istrinya lebih dekat pada putri pertamanya Oei Tjong Lan sedangkan putri keduanya Oei Hui Lan lebih dekat pada ayahnya.

Pada tahun 1920, Oei Tiong Ham meninggalkan Semarang dan menetap di Singapura. Dia pindah karena dia tidak setuju dengan aturan Pajak Ganda dan Undang-undang mengenai Warisan (GOSIPNYA sih dia ingin menghindari membayar pajak 30% dikenakan pada keuntungan dalam semua bisnisnya yang diperoleh selama Perang Dunia Pertama. Ia juga tidak setuju dengan hukum Belanda yang tidak lazim tentang warisan berupa 'legitieme portie' atau 'hak mutlak' yang membuatnya tidak dapat mengatur harta bendanya sendiri setelah ia meninggal).

Sesuai dengan hukum yang berlaku dari penguasa Belanda waktu itu, pada tahun 1910 semua warga negara harus melapor ke Konsulat Belanda dalam waktu 3 bulan setelah kedatangan dari luar negeri, bila tidak melapor maka kewarganegaraan mereka akan dicabut. Oei Tiong Ham memilih untuk tidak melakukannya dan dengan sengaja membiarkan Kewarganegaraan Belanda-nya dibatalkan.

Pada tahun 1920, Singapura sudah menjadi dasar penting bagi OTHC. Kian Gwan Kongsi sebelumnya sudah mendirikan kantor cabang di Singapura pada tahun 1914. Sebelumnya pada tahun 1912, ia sudah membeli The Heap Eng Moh Company Limited, sebuah perusahaan perkapalan di Singapura. Di Singapura, ia juga memberi sumbangan 150 ribu Dolar AS untuk pembangunan Raffles College.

Setelah kematiannya yang mendadak pada tahun 1924, OTHC terus tumbuh. Pada tahun 1961 OTHC diambil alih oleh pemerintah Indonesia melalui keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang No. 32/1561 EK.S tanggal 10 Juli 1961 yang lalu diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No.5/Kr/K/1963 tanggal 27 April 1963. Perusahaan dan pemilik perusahaan telah didakwa dengan kejahatan ekonomi terhadap negara. OTHC kemudian dinasionalisasi dan berganti nama pada tanggal 12 Oktober 1964 menjadi PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia. Namun, anak perusahaan di luar negeri tetap dikuasai oleh keluarga Oei. Tahun 1971 berubah lagi menjadi PIE Rajawali Nusindo dan menjadi PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) pada tahun 2001 (GOSIPNYA salah satu anak perusahaan RNI adalah PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) yang diketuai oleh Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin tewas ditembak oleh sekelompok orang pada 14 Maret 2009 setelah bermain golf di Wonderland).

"Dari keuntungan di PG Rejoagung ini saja, kami bisa membangun PG Krebet 2 di Malang dan membangun kantor pusat PT RNI di Kuningan, Jakarta," tutur Zainal Arifin, General Manager Pabrik Gula Rejoagung, saat ditemui di kantornya di Madiun, Jawa Timur, 19 Oktober 2018.

Zainal pun menambahkan, begitu banyaknya aset OTH Concern sehingga pendataannya pun belum selesai sampai saat ini. "Aset Oei Tiong Ham Concern aslinya jauh lebih luas daripada aset pabrik gula ini. Namun sebagian saat ini sudah berubah menjadi lahan pemukiman penduduk dan alih fungsi lain," tuturnya.

Bekas kantor Kian Gwan di Jl. Kepodang, kini Restoran Pringsewu

Sejumlah gedung perkantoran eks OTH Concern juga masih menjadi aset PT RNI hingga saat ini, termasuk dua bekas kantor pusat OTH Concern di Jalan Kepodang, Semarang. Bekas kantor pusat lama, dimana OTH menjalankan bisnisnya, masih dimiliki PT RNI tetapi disewa oleh restoran Pringsewu.

Gedung OTHC di Jl. Kepodang, kini kantor PT Rajawali Nusindo

Sementara satu gedung kantor baru yang menjadi kantor pusat OTH Concern di bawah anak-anak OTH, kini masih menjadi kantor PT RNI divisi farmasi. Bangunan kantor yang dibangun tahun 1930 ini terlihat menonjol karena menjadi satu-satunya bangunan berarsitektur Art Deco di Jalan Kepodang tersebut.

Oei Tiong Ham dikenal sebagai "Manusia 200 Juta", ini disebabkan semua warisan yang ditinggalkannya saat itu kira-kira bernilai 200 juta Gulden (sekitar 27 trilyun Rupiah kurs 2018). Oei meninggal karena serangan jantung pada tahun 1924. Surat kabar De Locomotief waktu itu bahkan menyebutnya sebagai orang terkaya di antara Shanghai dan Melbourne.

Anak perempuannya, Oei Hui Lan, menduga bahwa ayahnya diracun oleh Lucy Hoo. Jasadnya dikirim ke Semarang untuk dimakamkan di samping makam Oei Tjie Sien.

Oei Tiong Ham menunjuk Lucy Hoo, Oei Tjong Swan, Oei Tjong Houw untuk meneruskan perusahaannya yang bernilai 200 juta Gulden. Istri pertamanya - Goei Bing Nio - mendapat 12 juta Dolar AS, sedangkan anaknya - Oei Tjong Lan - mendapat 1 juta Dolar AS dan anaknya yang lain - Oei Hui Lan - mendapat 15 juta Dolar AS.

Oei Hui Lan

Oei Hui Lan menjadi istri dari Wellington Koo - yang sempat menjadi presiden Cina untuk sementara waktu sebelum digantikan oleh Chiang Kai Sek - tapi pernikahan mereka hancur dan Wellington Koo menikahi wanita lain. Oei Hui Lan memiliki peran penting memperkenalkan Wellington kepada para politisi. Oei Hui Lan menghabiskan hari tuanya di New York dan menulis buku yang berjudul No Feast Lasts Forever (yang diambil dari pepatah Cina kuno 'Mei You Bu San De Yan Qing') yang terbit pada tahun 1975.

Di Singapura, Oei Tiong Ham dikenang sebagai nama jalan dan juga sebagai nama taman di dekat Holland Road. Keluarganya juga menjalankan praktek inses. Oei Tiong Ham menikahi keponakan dari istri pertamanya yang bernama Lucy Hoo. Salah satu anak pria hasil perkawinan Lucy Hoo dan Oei Tiong Ham juga menikahi anak wanita Oei Tjong Swan.

Istana Gergaji di Jl. Kyai Saleh, kini kantor OJK Regional 3

Di Indonesia, bekas rumah Oei Tiong Ham seluas 92 hektare (GOSIP lain 81 hektare) di Jalan Gergaji kini masih utuh dan menjadi kantor Otoritas Jasa Keuangan Regional III Jawa Tengah dan DIY di Jalan Kyai Saleh. Sementara sisa lahannya kini menjadi pusat perkantoran pemerintah di sekitar Simpang Lima Semarang, seperti bagian dari lahan milik Oei Tiong Ham kini menjadi kompleks Polda Jawa Tengah, Kantor Gubernur Jawa Tengah, DPRD Jawa Tengah, kampus Universitas Diponegoro Pleburan, pusat perkantoran di Jalan Pandanaran hingga ke dekat Kampung Kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.