Tirto Utomo (Kwa Sien Biauw)
lahir 9 Maret 1930 di Wonosobo
meninggal 16 Maret 1994
istri: Lisa (Kwee Gwat Kien)
GOSIPNYA
Karena di Wonosobo tidak ada SMP maka Tirto harus bersekolah di Magelang yang berjarak sekitar 60 kilometer, yang ditempuh dengan sepeda. Orangtuanya pengusaha susu sapi dan pedagang ternak. Setelah lulus SMP Tirto melanjutkan sekolah ke HBS di Semarang dan SMAK St. Albertus di Malang. Di Malang ia bertemu dengan Lisa, calon istrinya. Sekolah Katolik pada waktu itu memisahkan murid laki-laki dan perempuan sehingga mereka hanya sempat bertemu di lapangan sekolah.
Setelah lulus SMA ia kuliah di Universitas Gajah Mada, Surabaya selama dua tahun. Sambil kuliah ia menjadi wartawan Jawa Pos dengan tugas khusus meliput berita-berita pengadilan. Namun karena kuliah tidak menentu, ia pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta. Sambil kuliah ia bekerja sebagai Pimpinan Redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna.
Pada tahun 1954 Lisa masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sambil kuliah Lisa bekerja di British American Tobacco (BAT Indonesia). Pada Maret 1955 Lisa gagal mengikuti ujian kenaikan tingkat dan memutuskan berhenti kuliah. Lisa lalu mengajar bahasa Inggris di Batu Ceper, menjadi guru SD Regina Pacis, dan menerima jasa penerjemahan dan pengetikan. Lisa dinikahi Tirto pada 21 Desember 1957 di Malang.
Tahun 1959 Tirto diberhentikan sebagai pemimpin redaksi Sin Po. Akibat itulah tekadnya bulat untuk menyelesaikan kuliahnya. Lisa berperan sebagai pencari nafkah dengan mengajar dan membuka usaha katering yang dibantu Tirto. Pada Oktober 1960 Tirto lulus kuliah. Setelah lulus, ia melamar ke Permina (Perusahaan Minyak Nasional) yang merupakan cikal bakal Pertamina. Ia ditempatkan di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara.
Karirnya naik sehingga diberi kepercayaan sebagai ujung tombak pemasaran minyak. Jabatannya sebagai Deputy Head Legal and Foreign Marketing membuatnya banyak berhubungan dengan warga negara asing (WNA). Meski bukan jabatan penting, perannya banyak menentukan keberhasilan kontrak dengan perusahaan asing.
Tahun 1970 Michael Todd (GOSIP lain bilang Reimond Todd), ketua delegasi sebuah perusahaan minyak asal AS, membatalkan rapat dengannya karena istrinya sakit perut. Menurut dokter yang memeriksanya, hal itu karena minum air tidak bersih. GOSIPNYA istrinya menganggap dapat minum langsung air keran. GOSIP lain bilang istrinya sakit perut meski minum air rebusan tanah.
Hal itu bukan yang pertama bagi Tirto. Ia mengamati bahwa di luar negeri sudah banyak sekali air mineral yang dijual dalam botol. Ia lalu memutuskan belajar cara membuat air minum dalam kemasan (AMDK) ke pabrik Polaris di Bangkok, Thailand karena saat itu di Indonesia tidak ada. Direktur Utama Pertamina saat itu, Ibnu Sutowo, menertawakannya karena air bersih sangat melimpah di Indonesia dan bisa dikonsumsi gratis.
Bersama adik iparnya, Slamet Utomo, ia mendirikan PT Aqua Golden Mississippi di Bekasi pada 23 Februari 1973 dengan modal Rp. 150 juta. Ide awal untuk mereknya adalah Puritas (dari kata purity), tapi desainer logo asal Indonesia yang tinggal di Singapura, Eulindra Lim, mengusulkan nama Aqua. Alasannya adalah Aqua mudah diucapkan dan mudah diingat. Aqua juga bermakna ‘air’. Aqua juga bukan nama asing bagi Tirto, yang memang sering dipanggil dengan nama kecil ‘A Kwa’. Selain itu, nama Tirto pun berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna 'air'.
Willy Sidharta
Banyak peran penting dari seorang bekas pedagang roti dan supervisor pengemasan (GOSIP lain bilang buruh berpangkat rendah) pabrik biskuit Nissin bernama Willy Sidharta dalam memajukan Aqua selain Tirto sendiri. Willy membangun sistem pengantaran door to door, konsep pengiriman kardus serta galon dengan truk khusus. Setelah mengundurkan diri dari Nissin, Willy adalah karyawan pertama Aqua pada 19 Juni 1973. GOSIPNYA gaji pertama Willy di Aqua adalah 25.000 Rupiah. GOSIPNYA lagi dengan gaji sekian, Willy dikabarkan tidak sanggup membeli susu untuk anaknya yang saat itu masih berupa susu segar, padahal harganya kurang dari Rp. 10 per liter.
Salah satu tugas pertama Willy adalah mencari lokasi pabrik. Ia menemukan lahan kosong di Jalan Sultan Agung, Bekasi. Setelah membeli mesin, mereka kehabisan dana, sehingga tak ada teknisi untuk memasangnya. Dibantu oleh seorang teknisi, Edy Sutejo, Willy, yang kuliah di Jurusan Teknik Mesin Universitas Katolik Atma Jaya, Pasuruan, memasang sendiri mesin itu. Modalnya hanya buku panduan dari pabrik. Selama tiga bulan, siang-malam Willy dan Edy memasang mesin itu.
Karyawan pabrik saat itu berjumlah 38 orang. Mereka menggali sumur di pabrik pertama yang dibangun di atas tanah seluas 7.110 meter persegi di Bekasi. Setelah bekerja keras lebih dari setahun, produk pertama Aqua diluncurkan pada 1 Oktober 1974 dengan kapasitas produksi 6 juta liter setahun.
Produk pertamanya adalah Aqua botol kaca 950 ml yang kemudian disusul dengan kemasan Aqua 5 galon yang pada waktu itu juga masih terbuat dari kaca. Aqua 950 ml itu dijual Rp. 75 sedangkan seliter bensin saat itu hanya Rp. 46. Produknya ditolak semua orang. Bahkan, diberikan gratis saja orang tidak mau. Saat itu minuman ringan berkarbonasi seperti Cola-Cola, Sprite, 7 Up, dan Green Spot sedang naik daun. Dalam seminggu mesin hanya jalan tiga jam. Di gudang pabrik, botol-botol air menumpuk tak terjual.
Karena rugi terus, ia berencana menutup bisnis Aqua pada Januari 1978. Sebelum ditutup ia mencoba cara terakhir: menaikkan harga 3 kali lipat agar dipandang sebagai produk berkualitas. Cara ini ternyata berhasil. Pasar Aqua ketika itu masih terbatas orang asing atau ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Contohnya kontraktor Hyundai yang mengerjakan proyek tol Jagorawi. Kebiasaan minum air mineral mereka menular kepada rekan kerja pribumi hingga akhirnya AMDK diterima di masyarakat.
Setelah itu, tahun 1978 ia segera pensiun dini untuk menangani beberapa perusahaan pribadinya yakni PT Aqua Golden Mississippi, PT Baja Putih, dan restoran Oasis. Tahun 1982 bahan baku yang semula dari sumur bor diganti jadi mata air pegunungan. Konsumen menganggap mata air alami sangat sehat dan mengandung banyak mineral bernutrisi. GOSIPNYA hingga kini Aqua tidak pernah memakai mata air alami, tapi membuat sumur bor di sekitar mata air pegunungan. Pada 16 November 1982 PT Varia Industri Tirta memproduksi AMDK bernama VIT.
Pada tahun 1984 Aqua mulai masuk ke pasar lokal, namun masih sangat terbatas di toko-toko tertentu. Sudah mulai ada pelanggan tetap air galonan, namun sangat terbatas di kalangan eskpatriat. Saat itu AMDK yang laris terjual dan ada di hampir semua toko adalah Coca-Cola. Pada 15 Maret 1984, pesaing lokal kedua (GOSIP lain bilang pertama) muncul dengan merek Oasis, milik PT Santa Rosa Indonesia.
Ia lalu memberi 3 botol Aqua gratis pada tiap warung dan pedagang rokok. Hal ini dilakukan dengan alasan jika 2 botol laku, maka Aqua akan terkesan sangat laris. Ketika 3 botol habis, warung dan pedagang rokok memesan lagi Aqua, hanya saja kali ini bayar.
Untuk meyakinkan orang yang masih setia minum air tanah rebus, ia berusaha mengedukasi pasar bahwa AMDK lebih segar dan sehat daripada air rebusan. Ia memberikan banyak sponsor pada acara-acara olahraga dan anak muda termasuk Pekan Olahraga Nasional (PON). Aqua jadi identik dengan airnya atlet, airnya orang sehat, jadi kalau mau sehat, ya harus minum Aqua. Akhirnya kompetitor atau pesaing pun mulai bermunculan.
Diterimanya Aqua oleh masyarakat luas dan wilayah penjualan yang telah menjangkau seluruh pelosok Indonesia, membuat Aqua harus segera meningkatkan kapasitas produksinya. Tahun 1984 Aqua memberi lisensi produksi pada PT Tirta Jayamas Unggul di Pandaan, Jawa Timur dan Tirta Dewata Semesta di Mambal, Bali pada tahun 1987. Hal yang sama juga diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Pemberian lisensi ini disertai dengan kewajiban penerapan standar produksi dan pengendalian mutu yang prima. Upaya ekspor dirintis sejak tahun 1987 dan terus berjalan baik hingga kini. Untuk menghambat pesaing, pada 17 Juli 1987 Tirto membeli VIT, yang dianggap saingan terbesar saat itu.
Pada 4 September 1998 perusahaan asal Prancis, Danone, membeli saham Aqua. Tahun 2001 Danone menguasai saham mayoritas dengan kepemilikan 74%, sedangkan saham keluarga tinggal 26 persen. Meski demikian, Willy Sidharta, yang merupakan pegawai kepercayaan Tirto (GOSIP lain bilang menantu, sebagian lagi bilang anak kandung), memegang jabatan direktur dalam perusahaan tersebut. Tahun 1999 VIT merger dengan Aqua.
Lisa berada di peringkat 149 orang terkaya di Indonesia tahun 2007 versi Globe Asia dengan kekayaan 50 juta Dolar AS. Pada 13 Juni 2008, Willy mundur dari jabatan direktur utama dan digantikan oleh Parmaningsih. Salah satu kegagalan Willy adalah mengembalikan Aqua sepenuhnya pada keluarga, setelah terlanjur melepas 7,4% saham pada 350 orang tahun 1990 dengan harga Rp 7.500 per lembar. GOSIPNYA mereka baru bersedia melepas saham dengan harga Rp. 1 juta per lembar.
Pada 27 September 2005 Aqua meluncurkan minuman isotonik: Mizone. Pada November 2006 Mizone dilanda krisis karena tidak mencantumkan salah satu bahan pengawet (Natrium Benzoat) dalam kemasannya (GOSIPNYA Natrium Benzoat dapat menyebabkan penyakit lupus). BPOM memberikan tenggat waktu hingga Desember 2006 agar Mizone menarik produknya dari pasaran dan memperbaiki label pada kemasan. Pada saat itu, Mizone sudah beredar di 30 depo, 50 distributor dan 1 juta outlet di seluruh Indonesia. Penjualan turun drastis sedikitnya Rp. 35 milyar per hari. GOSIPNYA total kapasitas produksi dari seluruh pabrik saat ini mencapai lebih dari 1,6 milyar liter per tahun dan Aqua menguasai 40% pangsa pasar air mineral di dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.