Robby Tjahjadi


Robby Tjahjadi (Sie Tjie It)
lahir 1943 di Solo

GOSIPNYA
Setelah Indonesia merdeka, kondisi politik belum stabil sehingga perekonomian terus melemah. Sanering pertama kali dilakukan 19 Maret 1950, nilai uang dipangkas 50%. Sanering berikutnya terjadi pada 25 Agustus 1959, nilai uang dipangkas 90%.

Pada 13 Desember 1965 redenominasi dilakukan dengan menerbitkan uang pecahan desain baru Rp. 1 yang nilainya setara Rp. 1.000.  Kebijakan yang disusul dengan inflasi yang mencapai 635,5% tahun 1966 membuat banyak orang depresi. Tahun 1968 ekonomi masih terpuruk tapi di beberapa kota besar di Jawa banyak mobil mewah built-up yang ternyata dilakukan oleh seorang anak muda bernama Robby Tjahjadi.

Robby adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang mendapat tugas di luar negeri selama dua tahun. Tapi, baru 18 bulan bekerja, ia sudah dipanggil pulang ke Indonesia. Padahal jika genap dua tahun bekerja di luar negeri, ia akan mendapat fasilitas bea dan cukai.

Saat kembali ke Indonesia, ia merasa belum mengumpulkan cukup harta. Ia hanya punya sebuah mobil yang dibeli di luar negeri. Sebenarnya ia ingin mobilnya ikut bersamanya ke Indonesia agar bisa dijadikan uang tapi karena terbentur peraturan bea dan cukai, ia sulit membawanya.

Ia lalu mengajukan surat permohonan kepada atasannya dan diperbolehkan membawa barang pindahan, lengkap dengan daftar barang-barang yang akan dibawa, yang diverifikasi oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Kebijakan yang dikeluarkan ini ternyata diketahui PNS lainnya yang memiliki masalah serupa yang akhirnya juga mendapatkan izin. Izin bebas bea hanya diberikan satu kali kepada PNS. Untuk mobil yang dibawa kedua kalinya harus membayar bea masuk.

Modus Robby biasa saja, bukan pionir, bukan juga pemain tunggal. Robby mencari paspor orang Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri, baik itu mahasiswa ataupun pegawai negeri. Paspor mahasiswa yang pernah belajar di negara sosialis dihargai 350.000 Rupiah, paspor biasa yang belajar dengan biaya sendiri di Jerman Barat dihargai 4000 Deutsche Mark, paspor mahasiswa eks pampasan perang Jepang 1.000 Dolar Amerika, sedangkan paspor pegawai negeri 250.000 Rupiah.

Paspor didapat dengan memanfaatkan para calo yang sudah menjadi mitra mereka. Setelah mendapat paspor, Robby membeli mobil di luar negeri dengan nama sesuai paspor. Mobil lalu dikirim ke Indonesia dengan status sebagai barang penumpang, pindahan dan kiriman. Dengan begitu, tidak perlu membayar bea masuk, PPN, dan MPO.

Jika melalui prosedur resmi, mengimpor mobil tidak mudah. kelengkapan mobil akan diperiksa otoritas pelabuhan, di gudang akan diperiksa dokumennya oleh bea cukai, lalu diperiksa oleh kepala dinas impor. Setelah lulus, dokumen akan disahkan oleh kepala dinas bea cukai dan baru mobil bisa keluar pelabuhan.

Setelah itu baru mengurus BBN, MPO, PPN, STNK di inspektorat pajak dan kepolisian. Robby melewati semua itu dengan suap sedangkan petugas bea cukai di lapangan ia beri Rp. 50.000 untuk tiap mobil yang diselundupkan.


Hoegeng

Kapolri Hoegeng diberitahu beberapa rekannya di bea cukai dan kepolisian bahwa ada penyelundupan mobil mewah. Meski berhasil menjerat pelaku, kejaksaan tinggi Jakarta membebaskan pelaku.

Tahun 1969 polisi memergoki Robby Tjahjadi dan kakaknya Sigit Wahyudi sedang mengeluarkan 8 Mercedes selundupan dari Tanjung Priok. Hanya beberapa jam setelah ditahan di Komdak VII, seseorang menjamin mereka sehingga mereka pun bebas.

Setahun kemudian, adik ipar Robby, Iriawan Chandra dan Auw Tjun Liang hanya dihukum setahun penjara dengan tuduhan memakai paspor palsu, sedangkan Agus Warsono bebas. GOSIPNYA karena kasus Robby menimbulkan perhatian publik, Soeharto mencopot Hoegeng sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971.

Soeharto lalu mulai serius menangani penyelundup dan mengeluarkan Inpres 6 tahun 1971 tentang pemberantasan penyelundupan. Badan Koordinasi Pelaksana (Bakolak) dibentuk agar mengimplementasikannya. Bakolak lalu menangkap Robby pada 21 Oktober 1972 saat mengeluarkan mobil Rolls Royce dari Tanjung Priok. Robby mengimpor mobil itu seakan sedan Austin. Dua adik ipar Robby, Heru dan Roy Chandra dibekuk Bakolak.

Sutopo Juwono

Lucunya, kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang merupakan bagian dari Bakolak, Sutopo Juwono adalah pemakai sedan selundupan. Menurut Bakolak, di Jakarta saja ada 3.000 mobil selundupan dan kelompok Robby hanya 10%.

Robby lalu dituntut dengan UU No. 3 tahun 1971. Jaksa A.M. Palebangan menyatakan Robby bersalah karena menyelundupkan 228 mobil sehingga merugikan negara 716.243.400 Rupiah. Pada Maret 1973, majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara 7,5 tahun ditambah denda Rp. 10 juta atau 6 bulan kurungan serta menyita rumah di Jalan Tanjung senilai Rp. 100 juta dan sejumlah mobil.

Ketika itu selain mobil Eropa, mobil Jepang juga masuk ke Indonesia. Ketika Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei berkunjung ke Jakarta 14-17 Januari 1974, mahasiswa demo menolak kedatangannya yang menganggap Jepang akan menanam modal di Indonesia. Terjadilah kerusuhan Malari pada 15 Januari 1974.

Soemitro

Yoga Soegomo

Karena kerusuhan Malari, pelarangan mengimpor mobil dalam keadaan utuh alias completely built-up (CBU) diberlakukan sejak 22 Januari 1974. Larangan ini dicabut pada 1 April 1996 melalui UU No. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan. Soeharto lalu mencopot Soemitro dan mengambil alih jabatan itu. Soeharto juga mengganti kepala BAKIN yang kini telah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN), Sutopo Juwono dengan Yoga Soegomo.

Pada 16 Januari Laksus Pangkopkamtibda Jaya mengeluarkan maklumat No. 004/PK/I/1974 yang menyatakan sejak hari itu semua sekolah/perguruan mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi/Universitas di wilayah hukum Jakarta, ditutup. Maklumat itu juga melarang lebih dari lima orang berkumpul diluar rumah antara matahari terbit hingga terbenam, yang pada malam harinya disambung dengan berlakunya jam malam.

Mohammad Syafa’at Mintaredja

Pada tahun 1974 perjudian Toto KONI dihapus. Pemerintah melalui Menteri Sosial Mohammad Syafa'at Mintaredja mulai memikirkan sebuah gagasan untuk menyelenggarakan forecast Inggris sebagai bentuk undian tanpa kesan judi.

Tahun 1976 setelah meminta penilaian lagi dari Kejaksaan Agung, BAKIN dan Departemen Dalam Negeri, rencana Depsos untuk menyelenggarakan forecast tidak mendapat tantangan dan merencanakan pembagian hasil 50% untuk penyelenggara, 30% untuk pemerintah, dan 20% hadiah bagi pemenang. Karena Presiden Soeharto meminta rencana itu dipelajari lebih dalam lagi, forecast ditunda lagi.

Pada tanggal 28 Desember 1985 forecast akhirnya dilaksanakan dengan sebutan porkas. Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola diresmikan, diedarkan, dan dijual. Porkas dimaksudkan menghimpun dana masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Porkas lahir berdasarkan UU No. 22 Tahun 1954 tentang undian, yang antara lain bertujuan agar undian yang menghasilkan hadiah tidak menimbulkan berbagai keburukan sosial. GOSIPNYA saat itu porkas banyak diplesetkan menjadi Peras Otak Rencana Kaya Akhirnya Sinting.

Berbeda dari Toto KONI, Porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan M-S-K atau menang, seri, dan kalah. Perbedaan lainnya Toto KONI beredar sampai ke pelosok daerah, sedangkan Porkas hanya sampai tingkat kabupaten dan anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang menjual, mengedarkan, serta membelinya.

Kupon Porkas ini terdiri atas 14 kolom dan diundi seminggu sekali, setelah 14 tim sepak bola melakukan pertandingan. Jadwal pertandingan ditentukan oleh PSSI dari jadwal di dalam dan luar negeri. Setiap pemegang kupon yang saat itu harganya Rp. 300 menebak mana yang menang, seri, dan kalah. Penebak jitu 14 pertandingan akan mendapat hadiah Rp. 100 juta.

Pada tanggal 11 Januari 1986, penarikan pertama Porkas dilakukan. Sampai dengan akhir Februari tahun yang sama, dana bersih yang dikumpulkan mencapai 1 milyar. Pertengahan tahun 1986, pengedaran Porkas dilakukan melalui sistem loket. Para distributor, agen, sub-agen yang terbukti melakukan penyimpangan dipecat oleh Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) selaku penyelenggara. YDBKS diketuai oleh anak Soeharto, Sigit Harjojudanto. Selain Sigit, Robby Sumampouw dan Robby Tjahjadi juga ikut mengelola Porkas.

Bulan Oktober 1986, dana Porkas yang terkumpul sudah mencapai Rp. 21 milyar, melebihi target Rp. 13 milyar hingga akhir tahun. Dari jumlah ini, KONI Pusat mendapat Rp. 1,5 milyar, KONI daerah Rp. 4,5 milyar, PSSI Pusat Rp. 1,5 milyar, Kantor Menpora Rp. 250 juta, Asian Games X Seoul Rp. 250 juta, administrasi Rp. 9 milyar, dan Rp. 4 milyar didepositokan sebagai "dana abadi".

Pada akhir tahun 1987, Porkas berubah nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan menambahkan tebakan skor pertandingan sehingga peluang petaruh untuk menang menjadi lebih besar.

Setelah Porkas bubar, tahun 1989 ia mendirikan Kanindotex yang bergerak di bidang benang ikat di Semarang. Pada Oktober 1990 dia mulai mengekspor benang ikat ke Eropa. Tahun 1991 ia mendirikan pabrik benang ikat yang membutuhkan biaya 380 milyar Rupiah. Grup Kanindo menyumbang 130 milyar sedangkan sisanya berasal dari Bank Pembangunan Indonesia dan Bank Bumi Daya.

Johannes Budi Sutrisno Kotjo

GOSIPNYA salah satu rekan bisnisnya adalah Jenderal Soemitro yang ditunjuk menjadi presiden komisaris Grup Kanindo. Tahun 1993, Grup Kanindo mendirikan pusat belanja Century Center dan membayar artis terkenal Taiwan saat itu, Lin Qingxia untuk mempromosikannya. Bulan September 1994 Grup Kanindo bangkrut dan pemerintah mengambil alih manajemen serta memberikan tambahan modal Rp. 80 milyar. Kanindotex diserahkan pada Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dan sejak 2 Oktober 1995 diakuisisi PT Apac Inti Corpora (AIC) hingga kini. Komposisi kepemilikan saham PT AIC adalah 10% saham milik Johannes Budi Sutrisno Kotjo, 10% Bambang Riyadi Yoga Sugama, 10% Wisnu Suhardono, dan 70% Bambang Trihatmodjo.

Pada 21 Desember 1999 Robby menggugat PT AIC. Ia menuntut hak-haknya atas PT Kanindotex yang selama hampir enam tahun dikuasai oleh PT AIC yang manajemennya di bawah kendali Johannes Kotjo. Berdasarkan akta 141 tanggal 12 Mei 1995 ketika Kotjo menawarkan menyelamatkan Kanindotex, Robby mempunyai hak memiliki 36,6% saham Kanindotex, dan tagihan 70 juta Dolar AS yang belum ia terima. Menurutnya, Kotjo ingkar janji. Kotjo dituduh menerapkan manajemen tertutup sehingga Kanindotex mempunyai utang Rp. 3 trilyun. Karena itu, ia meminta audit investigasi untuk mengetahui pengeluaran dan pemasukan uang yang menyebabkan penumpukan utang. Audit lalu dilakukan oleh lembaga independen dan tuntutannya ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 23 Januari 2001.

Pada 13 Maret 2001 Robby malah balik ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) karena diduga merugikan negara 300 milyar Rupiah karena menaikkan harga pembelian mesin-mesin tenun dari Taiwan oleh PT Kanindotex dan penyimpangan penggunaan fasilitas Letter of Credit (L/C) oleh PT Apac Century (Acen). Kejagung menemukan kejanggalan karena mesin yang dibeli ternyata bukan dari Taiwan, tapi milik Kanindotex. Kejanggalan lainnya adalah tambahan modal 80 milyar Rupiah yang ternyata saat itu Kanindotex masih dimiliki Robby sepenuhnya dan kredit belum dinyatakan macet.

Windy Trihandayani

Entah siapa yang benar dan bagaimana kelanjutan kasusnya hingga pada tahun 2009 berhembus GOSIP salah satu istri simpanan Robby, Windy Trihandayani, dikabarkan hendak menikah dengan Anang Hermansyah yang ketika itu baru cerai dengan Krisdayanti.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.