Krisna

Gusti Ngurah Anom
lahir 5 Maret 1971 di Desa Tangguwisia, Seririt, Bali
ayah: Gusti Putu Raka
ibu: Made Taman
kakek: Gelgel
kakak: Gusti Ayu Erawati
Gusti Ayu Mareni
Gusti Ngurah Darmawan
Gusti Ayu Kusumawati
Gusti Ngurah Triawan
Gusti Ayu Kumudawati

Gusti Putu Raka

Made Taman

Kakak Anom

Anom bersama istri

Anom bersama istri dan anak

istri: Ketut Mastrining
anak: Gusti Ngurah Berlin Bramantara lahir 8 Februari 1992 di Denpasar
Gusti Ayu Diah Candra lahir 12 April 1997 di Denpasar
Gusti Ngurah Anom Krisna Putra lahir 25 Oktober 2000 di Denpasar
Gusti Ngurah Rama Ksatria Putra lahir 1 November 2009 di Denpasar

USAHA SUVENIR
-Krisna Nusa Indah: Jl. Nusa Indah 77 Denpasar telp. (0361) 264-780
-Krisna Nusa Kambangan: Jl. Nusa Kambangan 160 A Denpasar telp. (0361) 474-5641
-Krisna Sunset Road: Jl. Sunset Road 88 Kuta telp. (0361) 750-031
-Rama Krisna Tuban 24 jam: Jl. Raya Tuban 2X telp. (0361) 764-532
-Krisna Samasta: Jl. Wanagiri, Jimbaran, Kuta telp. (0361) 446-8600
-Krisna Ubud: Jl. Monkey Forest 15, Ubud telp. (0366) 976-427
-Krisna Bali Souvenir Center: Jl. Raya Blangsinga, Saba, Blahbatuh telp. 0812-3757-2266
-Krisna 5 Singaraja: Jl. Seririt-Singaraja, Temukus telp. 0812-5270-9959
-Krisna Surabaya: Jl. Darmokali 5-H, Darmo, Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur telp. 0853-3937-4808
-Krisna Kota Tua: Jl. Lada 1, Kota Tua, Jakarta Barat telp. (021) 2269-2746

USAHA RESTORAN
-Krisna Gallery & Resto: Jl. Diponegoro 146, Dauh Puri Klod, Denpasar Barat telp. (0361) 251-273
-Krisna Wisata Kuliner Bali: Jl. Raya Tuban, Kuta telp. (0361) 768-077
-Krisna Resto and Spa: Jl. Batu Belig 77, Kerobokan Kelod, Kuta Utara telp. (0361) 474-1432
-Paon Mektut: Jl. Sunset Road 88 Kuta telp. (0361) 750-031
-Krisna Wisata Kuliner Singaraja: Jl. Raya Seririt, Temukus telp. 0878-6217-4626
-Bebek Tepi Sawah Singaraja: Jl. Raya Seririt, Temukus telp. (0362) 343-7205
-La Costa Beach Lounge: Jl. Raya Seririt, Temukus telp. 0878-6304-8979
-Dungki: Jl. Raya Seririt, Temukus
-Krisna Beach Street Bar & Resto: Jl. Yeh Mumbul, Baktiseraga telp. (0362) 330-1872

USAHA WISATA
-Krisna Osea Park: Jl. Raya Seririt, Temukus
-Krisna Funtasticland: Jl. Raya Seririt, Temukus telp. 0811-3887-709
-Krisna Waterpark: Jl. Raya Seririt, Temukus telp. 0811-3973-311
-Krisna Adventures Aling-Aling Waterfall: Desa Sambangan, Sukasada
-Krisna Eco Edu Village: Desa Tangguwisia, Seririt telp. 0878-6000-6844

USAHA LAINNYA
-Krisna Bali Wisata: Jl. Diponegoro 146, Sesetan, Denpasar Selatan telp. (0361) 251-265
-Krisna Property: Jl. Pidada VII no. 17 Denpasar Barat telp. (0361) 409-2477
-Krisna Moda Boutique: Jl. Hayam Wuruk 60, Sumerta Kauh, Denpasar Timur telp. (0361) 256-146
-Cok Konfeksi: Jl. Nusa Indah 79 Denpasar telp. (0361) 226-597

GOSIPNYA
Gusti Ngurah Anom lahir di rumah bidan Ibu Restu pada 5 Maret 1971 pukul 1 siang. Ia adalah anak bungsu dari 7 bersaudara dan hidup dalam kemiskinan. Sejak bayi hingga kelas 4 SD, ia lebih sering tinggal di rumah kakeknya karena rumah orangtuanya terlalu kecil. Ketika ia kelas 4 SD, orangtuanya mengirim kakak-kakaknya yang lain untuk tinggal di rumah keluarga ayahnya di Gianyar. Hanya kakaknya yang ke-5 dan 6 yang masih tinggal di Desa Tangguwisia.

Di rumah kakeknya terdapat banyak buah-buahan. Kakeknya mempunyai usaha membuat bata merah. Ia sering membantu kakeknya mengangkut kayu bakar dengan upah Rp. 200 per hari. Selain membantu membuat bata merah, ia juga sering membantu kakeknya memetik buah jambu. Jambu yang dipetik lalu dijual ke pasar yang berjarak 3 kilometer dari rumah kakeknya. Upahnya menjual jambu adalah Rp. 500.

Keluarganya adalah yang termiskin di Desa Tangguwisia. Rumahnya berukuran 6 kali 8 meter. Dindingnya tidak disemen dan terbuat dari tanah sedangkan atapnya dari anyaman daun kelapa. Tempat tidur dan dapur menjadi satu ruangan. Makanannya sehari-hari adalah ubi kayu dicampur nasi dan jagung. Biasanya sayurnya adalah plecing (sayur bumbu pedas) daun labu. Ia hanya makan dua kali sehari. Untuk mandi, ia pergi ke sungai berjarak 500 meter dari rumah. Rumahnya pun pernah kebakaran.

Ayahnya seorang petani padi dan anggur. Penghasilan yang diperoleh ayahnya tidak pasti. Ia jarang membantu ayahnya di sawah karena lumpurnya sering membuat kakinya gatal. Ibunya mulai membuat kue pada pukul 6 sore hingga malam hari. Usai membuat kue, ibunya pergi ke pasar untuk menjual kue itu pada pukul 3 subuh. Semuanya dilakukan ibunya sendirian. Ia suka membantu ibunya membuat dan menjual kue sejak kelas 3 SD dengan upah Rp. 100-Rp. 200. Kuenya dijual ke Pasar Tenten di Desa Tangguwisia. Ia dan ibunya pergi ke pasar dengan obor dari danyuh (daun kelapa) yang sudah kering. Pasar Tenten berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya.

Selain itu ia sering diajak ibunya berjualan buah ke Pasar Kumbasari, Denpasar. Jarak Pasar Kumbasari dari rumahnya sekitar 85 kilometer. Ia mengaku lebih dekat dengan memek (sebutan ibu dalam bahasa Bali) daripada dengan ajik (sebutan ayah dalam bahasa Bali).

Sejak kelas 1 SD ia sudah sering bolos sekolah. Selain karena keasyikan memetik jambu, ia juga hobi memancing ikan dari jam 4 pagi. Tidak seperti kakak-kakaknya, ia sangat aktif, bandel, keras kepala. Ketika SD ia sering mencuri buah mangga di halaman sekolah dan membuat rujak bersama teman-temannya. Ia juga sering mencuri makanan di kantin sekolah.

Saat bersekolah di SDN 1 Tangguwisia ia tidak pernah mengerjakan PR dan tidak pernah belajar. Tidak heran hingga kelas 5 SD ia belum bisa membaca dan menulis. Hal itu diketahui orangtuanya ketika menerima laporan dari sekolah. Ayahnya yang biasanya pendiam tidak sanggup lagi menahan emosi.

Ia dibawa ke sungai dan direndam di sana. Setelah direndam di sungai, ayahnya mengatakan bahwa ia harus segera bisa membaca. Semenjak itu ayah dan ibunya yang sebelumnya kurang perhatian terhadap kegiatan belajar anaknya mulai menyisihkan waktu untuk menemaninya belajar membaca dan menulis.

Meski bodoh, ia selalu naik kelas. Ketika kelas 6, ia seharusnya tidak lulus sekolah tapi karena ia sering menginap di rumah Wakil Kepala Sekolah bernama Ibu kadek dan menemani anak Ibu Kadek bermain, ia diluluskan oleh Ibu Kadek.

Ia lalu mendaftar ke SMPN 1 Seririt dan SMP Saraswati Seririt. Ia diterima di bangku cadangan SMPN 1 Seririt. Ia lalu masuk kelas G, kelas yang menampung siswa baru dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) terkecil di sekolah itu. Pamannya yang saat itu bekerja di Hotel Bali Beach, Nyoman Singarata, membantu membayar uang sekolahnya tiap bulan.

Meski sudah SMP, uang sakunya masih sama seperti saat ia SD yaitu hanya Rp. 100 per hari. Uang itu hanya cukup untuk ongkos naik bemo atau angkot dari rumahnya ke sekolah Rp. 50 untuk sekali jalan.

Ia memutuskan untuk berjalan kaki 3 kilometer ke sekolahnya. Ia berangkat pukul 11.00, tiba di sekolah pukul 12.30, pulang sekolah pukul 17.00, dan tiba di rumah pukul 19.00. Ia berjalan kaki ke sekolah sejak SD. Butuh 1,5 jam untuk pergi ke sekolah sedangkan pulangnya butuh 2 jam karena jalan lebih ramai.

Ia punya teman yang sering diajak jalan kaki ke sekolah yakni Reno, Putu Armini, dan Putu Sukerta. Sementara teman-temannya yang lain lebih banyak naik sepeda ke sekolah. Karena harus berjalan kaki, setiba di sekolah ia merasa lelah dan mengantuk. Akibatnya ia tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran di kelas dan nilainya selalu jelek. Selain itu karena tidak sanggup membeli sepatu, ia memakai sendal ke sekolah.

Ketika SMP, ia juga tidak bisa membeli buku tulis, alat tulis, maupun buku pelajaran. Pamannya hanya membiayai uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) bulanan. Uang hasil kerja orangtuanya habis untuk biaya makan sehari-hari.

Karena tidak pernah belajar di rumah, ia selalu menyontek saat sedang ujian di kelas tapi ia tidak bisa menyontek jika ujian lisan. Ujian lisan dilakukan guru dengan memanggil para siswa satu per satu ke depan kelas. Karena tidak bisa menjawab, ia dihukum mengangkat satu kaki di depan kelas.

Saat itu ia punya seorang sahabat bernama Tedi. Tedi adalah anak orang kaya di Seririt. Ketika murid lain naik sepeda ke sekolah, Tedi diantar dengan mobil Suzuki Carry Pick Up ke sekolah. Tedi sering memberinya makan di sekolah. Tedi juga sering menjemputnya ke rumah. Ia pun mulai jarang jalan kaki ke sekolah. Jika tidak dijemput Tedi, ia menumpang dibonceng dengan sepeda temannya. Salah satu teman yang sering ia tumpangi sepedanya adalah Putu Sukerta.

Karena tidak bisa membeli buku tulis, ia sering mencuri halaman tengah buku tulis milik temannya. Ia melakukannya 2 kali sehari saat jam istirahat. Hal ini sudah ia lakukan sejak SD. Sedangkan buku pelajaran ia curi dari perpustakaan sekolah.

Ia juga suka mengambil isi pulpen teman sekelasnya. Isi pulpen digulung dengan kertas dan dipakai mencatat pelajaran sekolah. Saat mencuri ia sering tertangkap basah tapi teman-temannya tidak ada yang berani berbuat apa-apa karena ia punya geng yang terdiri dari kumpulan anak-anak bandel di sekolahnya.

Perbuatannya mencuri ketika SMP juga sering diketahui teman-temannya dan membuat beberapa guru sekolahnya sempat melarangnya mengikuti kegiatan belajar di kelas. Guru matematika melarangnya belajar di kelas karena ia tidak mau ikut les. Ia beralasan tidak bisa ikut les karena membantu kakeknya di rumah. Sedangkan guru Bahasa Inggris melarangnya belajar di kelas karena ia sama sekali tidak mengerti pelajaran yang diberikan di kelas. Selain itu, ia juga pernah ketahuan main panco sebelum kelas bahasa Inggris mulai sehingga membuat gaduh.

Guru Sejarahnya sering memarahinya dan melarangnya ikut kelas sejarah karena ia sering pindah-pindah tempat duduk saat pelajaran berlangsung. Ia juga sering duduk di bawah bangku dan sering ketiduran saat pelajaran sedang berlangsung. Selain tiga guru tersebut, hampir semua guru di SMPN 1 Seririt mencapnya sebagai murid yang bandel dan bodoh.

Ketika SMP ia punya geng yang terdiri dari anak-anak nakal dari kelas A hingga G. Geng itu lalu membuat geng sepeda bernama Street Bicycle Club (SBC). Meski tidak punya sepeda, ia tetap bergabung di geng itu. Seorang temannya bernama Putu Agustina meminjaminya sebuah sepeda balap.

Dengan sepeda balap ini ia sering nongkrong dengan teman-teman SBC-nya. Setiap Sabtu dan Minggu mereka berkumpul di desa tempat tinggal Anom dan bersepeda ke Singaraja. Mereka mengelilingi Singaraja lalu pulang ke Seririt. Meski sudah dipinjami sepeda, ia ingin punya sepeda sendiri. Ia sering marah di rumah minta dibelikan sepeda. Ibunya lalu membelikan sebuah sepeda bekas merk Phoenix seharga Rp. 15.000.

Sepeda dibeli dengan kondisi rusak di beberapa bagian dan ban berlubang. Sepeda itu lalu diperbaiki sendiri. Ia lalu ikut lomba sepeda dan menjadi juara satu kategori tercepat dan standing (mengangkat roda depan sepeda terlama). Namanya dan klubnya SBC mulai dikenal di kalangan penggemar sepeda di Seririt.

Karena punya banyak teman, ia lebih sering tinggal di rumah temannya di Seririt dan jarang pulang ke rumah orangtuanya. Hal ini tidak pernah dipermasalahkan oleh orangtuanya karena sudah pasrah dengan kenakalannya.

Setelah lulus SMP ia mendaftar di Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata (SMIP) di Seririt. Untuk bisa mendaftar di sana, ia terpaksa menjual sepeda Phoenix kesayangannya. Sepeda itu dijual Rp. 35.000 lalu dibelikan sepatu serta pakaian sekolah untuk masuk SMIP.

Setiap hari ia harus jalan kaki 3,5 killometer untuk mencapai SMIP. Ia hanya sempat bersekolah di sana 4 bulan. Ayahnya lalu memanggilnya dan berkata bahwa ia sudah tidak bisa bekerja seperti dulu lagi. Ayahnya bilang Anom harus membantu di sawah dan tidak bisa membantu biaya sekolahnya lagi. Semua kakaknya meski sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga tidak bisa membantu karena kondisi masih pas-pasan.

Ia kecewa dan marah, merasa diperlakukan berbeda dengan kakaknya. Esoknya ia pergi pukul 7 pagi tanpa tujuan maupun bekal. Belum jauh pergi dari rumahnya, ia bertemu dengan pamannya, Nyoman Singarata, yang ketika itu bekerja sebagai supir truk angkutan barang. Pamannya sedang mempersiapkan truk merk Kusdha-nya. Anom ikut pergi menumpang pamannya menuju Denpasar. Pamannya tidak bertanya apa-apa.

Di Denpasar, mereka berhenti di daerah Pupuan Tabanan untuk beristirahat. Ia dibelikan makanan dan minuman oleh pamannya. Sekitar pukul 10 pagi mereka berhenti di terminal Ubung. Ia lalu berjalan tanpa tujuan menelusuri kota itu. Ia menuju Jalan Gatot Subroto. Setibanya di Jembatan Tonja, ia memutuskan berjalan menyusuri sungai karena lebih mudah untuk mencari minum dan air untuk membersihkan badan.

Selama menyusuri sungai, ia minum air dari saluran irigasi sawah. Ketika lapar, ia mencuri buah semangka dan pepaya dari kebun milik orang yang ia lewati. Selama berjalan menyusuri sungai, ia sempat putus asa dan sempat ingin bunuh diri. Setelah menyusuri sungai selama beberapa jam, ia tiba di daerah Waribang Kesiman, Denpasar. Di sana ia mandi untuk menyegarkan badan.

Setelah mandi ia melanjutkan perjalanan hingga Jalan Sedap Malam dan akhirnya tiba di Jalan Danau Buyan, Sanur. Di jalan ini setidaknya ada 5 hotel melati. Salah satunya adalah Hotel Rani. Ia menuju pos satpam dan minta izin untuk istirahat. Ia mengatakan pada satpam bahwa ia mencari pekerjaan. Untuk mengatasi rasa lapar dan haus, ia hanya meminum air keran yang ada di dekat pos satpam.

Ia lalu memungut sampah dan membersihkan halaman di sekitar pos satpam. Ia sangat beruntung kelakuannya itu dilihat oleh pemilik Hotel Rani yang menghampirinya. Ia lalu meminta izin menumpang tidur di pos satpam sambil menceritakan kisahnya kenapa ia ada disitu.

Dengan janji ikut menjaga keamanan dan kebersihan di sekitar pos satpam, ia pun diizinkan menetap di sana. Pukul 12 malam ketika satpam sudah pulang, ada sebuah mobil minibus parkir. Ia berinisiatif mencuci mobil itu hingga bersih. Setelah beres mencuci pukul 2 subuh, ia tertidur di pos satpam dan terbangun pukul 6 pagi. Ia langsung menyapu halaman parkir hotel.

Pukul 7 pagi pemilik mobil tersebut keluar hotel yang ternyata pemilik hotel. Ia ditawari bekerja di hotel tapi ia menjawab hanya mau bantu-bantu saja dan minta izin menetap di pos satpam serta diberi makan dan minum. Pemilik hotel mengizinkan.

Esoknya ia mencuci 3 buah mobil, 1 milik pemilik hotel, 2 mobil lagi milik tamu hotel. Pekerjaan ini dilakukannya mulai pukul 12 malam sampai pukul 3 pagi. Sekitar pukul 8 pagi, pemilik mobil yang ia cuci keluar hotel. Ia bergegas mengatakan bahwa ia mencuci mobilnya semalam. GOSIPNYA ia lalu diberi uang sebesar Rp. 2.000 (saat itu secangkir kopi Rp. 25 dan sebungkus nasi Rp. 50). Ia lalu menjadi tukang cuci mobil di 4 hotel daerah Sanur. Penghasilannya per hari antara Rp. 2.000 - Rp. 5.000.

Ia lalu menabung dan membeli sepeda Phoenix seharga Rp. 45.000 sehingga ia bisa berkeliling lebih jauh ke hotel-hotel yang ada di Danau Tamblingan dan Bypass Ngurah Rai. Ada sekitar 15 hotel yang menjadi langganannya. Mobil yang sudah selesai dicuci, wiper-nya diangkat sebagai kode sudah bersih dicuci.

Ternyata profesi mencuci mobil tamu hotel juga banyak dilakukan beberapa orang lainnya. Upah hasil cuci mobil tamu hotel yang dikerjakannya sering diambil oleh orang lain. Meski demikian, rezeki yang didapatnya dari mencuci mobil tamu hotel selalu ada. Ia sering diajak sesama tukang cuci mobil untuk bekerjasama mencuci mobil para tamu hotel yang menginap di kawasan Sanur dan sekitarnya.

Setelah 2 tahun, ia membeli sebuah motor bebek bekas Honda 70 warna merah seharga Rp. 150.000. Motor ini lalu diperbaiki lagi di sebuah bengkel di Pedungan, Denpasar dengan ongkos Rp. 250.000. Saat itu ia terpaksa berhenti mencuci mobil karena terkena rematik. Tangan dan kakinya sakit karena kedinginan saat terkena air. Ia memutuskan menumpang di rumah pamannya di Jalan Tukad Balian, Denpasar - Nyoman Singarata (yang kebetulan namanya sama dengan pamannya yang supir truk) - seorang pengusaha konfeksi kecil yang sempat beberapa kali ia singgahi ketika ia tinggal di pos satpam. Ia sering bolak-bali kesana karena jatuh cinta pada teman satu SMP-nya dulu yang bekerja disana. Ia punya keyakinan harus punya istri seorang tukang jahit, karena jika punya keterampilan yang sama, ia yakin bisa sukses.

Ia ikhlas membantu pamannya tanpa upah karena boleh tinggal dan bisa makan. Sebenarnya dekat dengan gadis itu saja sudah membuatnya bahagia. Ia sering meletakkan surat cinta di kamar mandi tapi tidak ada satupun yang dibalas karena gadis itu tahu sifat dan kelakuannya ketika SMP.

Made Sidharta

Ia geram merasa direndahkan. Ia lalu menemui Made Sidharta, pemilik konfeksi yang selalu memberi pekerjaan jahitan di konfeksi pamannya di Jalan Waturenggong 48, Denpasar. Sidharta memberi kesempatan menjadi pegawainya dengan tugas pertama sebagai karyawan lapangan mengambil dan mengantar keperluan jahitan. Ia diperlakukan sangat baik oleh Sidharta dan ia pun bekerja sebaik mungkin. Ia bekerja dari pukul 8 pagi hingga 5 sore. Setelah selesai bekerja, ia belajar menjahit, memotong kain, menyablon dan dalam 6 bulan menguasai semuanya. Untuk berhemat, ia meminta izin tinggal di rak tempat menyimpan kain atau tidur di meja potong. Ia diizinkan sekaligus mendapat makan gratis.

Dalam waktu setahun ia naik pangkat menjadi karyawan senior sedangkan seniornya malah ada yang turun pangkat. Sebagai karyawan senior, ia mendapat kepercayaan mengurus gaji pegawai, membeli kain, dan juga mendapat ilmu dagang dari Sidharta.

Sidharta sering memberi nasihat sehingga perlahan-lahan pemikirannya menjadi dewasa melebihi umurnya. Selain sering mengirim surat cinta, ia juga sering mengirim coklat. Ketika ada waktu luang, mereka sering janjian bertemu di sekitar bundaran Renon. Mereka akhirnya resmi berpacaran saat lari pagi di Renon. Setelah pacaran, mereka jarang bertemu karena kesibukan di tempat kerja masing-masing. Melihat kepribadiannya yang makin dewasa, gadis bernama Mastrining itu pun menerima lamarannya dan menjadi istrinya. Mereka menikah bulan Maret 1991.

Pamannya merasa keberatan karena ia dinilai terlalu muda untuk menikah. Selain itu, ia malah membawa pergi pegawai andalannya, Ketut Mastrining, sehingga pamannya merasa kekurangan tenaga ahli di perusahaannya dan merasa dikhianati. Untungnya hal ini tidak berlangsung lama dan pamannya memahaminya.

Ia lalu mengontrak rumah di Jalan Tukad Irawadi, Denpasar sambil memulai usaha konfeksi bermodalkan 1 mesin overdeck, 1 mesin obras, serta 2 buah mesin jahit yang semuanya tidak terpakai oleh Sidharta karena sulit mengoperasikannya. Sambil mengembangkan usahanya, ia masih membantu Sidharta hingga tahun 2000. Jika pesanan di Konfeksi Sidharta sedang penuh, ia diminta untuk membantu mengurus. Ia juga sering diminta untuk mencarikan tenaga tukang jahit jika sedang ramai pesanan pakaian jadi.

Tahun 1992 ia membuka toko baju kaos di Jalan Nusa Indah, Denpasar berukuran 6 kali 7 meter dengan nama Cok Konfeksi yang tak jauh dari Gedung Art Centre yang merupakan pusat kegiatan pesta seni dan budaya Bali. Ia menyewanya Rp. 1.250.000 setahun. Ia membuka usahanya tanpa izin Sidharta dan sempat dimarahi karena dianggap belum mampu usaha sendiri, selain itu ia sudah diandalkan untuk Konfeksi Sidharta.

Tahun 1994 ia menyewa tanah seluas 100 m² di Jalan Pakis Aji, Denpasar. Ia mendirikan bangunan untuk usaha sekaligus tempat tinggal untuk keluarganya. Sidharta akhirnya setuju melepas Anom berusaha sendiri dengan syarat semua aset Cok Konfeksi senilai Rp. 60 juta dibagi dua. Ia menyetujuinya sedangkan bagian Sidharta Rp. 30 juta ia pinjam sebagai modal tambahan dan baru ia lunasi tahun 2000. GOSIPNYA sejak itulah ia mendapat panggilan Ajik Cok dari anak buahnya.

Ia tidak pernah bolos bekerja, liburan, atau tidur siang kecuali sedang sakit. Setiap hari istrinya bangun pukul 5 pagi untuk menyiapkan kebutuhan karyawan seperti memotong kain, menyortir, hingga menyetrika baju yang sudah jadi. Pukul 06.30 pagi ia mengantar anak ke sekolah. Pukul 8 pagi hingga 2 subuh ia terus bekerja. Ia dan istrinya hanya tidur 3-4 jam sehari.

Tahun 2000 ia membeli rumah seluas 500 m² di Jalan SMA 3, Denpasar dengan meminjam dari Bank Dagang Bali dan juga dari Sidharta. Tahun 2001 ia membeli lahan 650 m² senilai Rp. 1,2 milyar di Jalan Nusa Indah 79.

Pada tahun 2001 Cok Konfeksi adalah yang terbesar di Bali dan urutan berikutnya adalah Konfeksi Sidharta. Menurut pengalamannya dalam bisnis konfeksi sejak tahun 1990, penjualannya sudah mentok. Ia dan istrinya ingin mengembangkan usaha butik. Istrinya lalu ikut kursus di LPTB Susan Budihardjo. Selama 3 bulan, istrinya menjadi murid terbaik. Meski begitu, mereka akhirnya batal membuka butik setelah mempertimbangkan cukup lama.

Mereka lalu berkeliling ke Denpasar dan Gianyar di waktu senggang untuk mencari ide baru. Setelah melakukan survei selama sebulan di Pasar Sukawati, mereka tahu suvenir paling laku adalah kaos. Pada 16 Mei 2007 ia membuka pusat suvenir Bali seluas 2.000 m² bernama Krisna di Jalan Nusa Indah 77. Ia mengontrak tempat itu seharga Rp. 1 milyar untuk 15 tahun. Omzet penjualan hari pertama mencapai 4 juta Rupiah.

Ia lalu memutuskan kos di Jembrana dan mengedarkan brosur selama 2 bulan di Pelabuhan Gilimanuk. Usahanya berhasil dan baju kaos khas Balinya sangat disukai turis, begitu pula dengan beragam suvenir lainnya. Pada 28 Mei 2008 ia membuka toko cabang seluas 3.500 m² di Jalan Nusa Kambangan, Denpasar.

Dalam waktu singkat, tokonya populer dan mendapat dukungan dari Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) serta para supir taksi, tur travel, ojek, sehingga tokonya tak pernah sepi pengunjung. Ia lalu membuka toko yang lebih besar pada 16 Mei 2009 di Jalan Sunset Road 88, Kuta. Melihat toko barunya itu sangat laku, ia memperluasnya menjadi 5.000 m² dan hanya dalam setahun berkembang menjadi 1,4 hektare sehingga menjadikannya pusat suvenir terbesar di Bali.

Pada 1 November 2010 ia membuka toko lagi seluas 4.500 m² dengan nama Rama Krisna di Tuban yang buka 24 jam, dekat bandara Ngurah Rai. Pada 18 Juli 2018 pagi ia membuka dengan megah Krisna Bali Souvenir Center yang luasnya mencapai 3 hektare. Undangan mencapai 4 ribu orang yang diakhiri dengan penampilan Syahrini.

Siangnya ia membuka Krisna Eco Edu Village serta Krisna Waterpark yang dibangun di atas lahan seluas 3,5 hektare di Buleleng. Waterpark ini menjadi wisata air satu-satunya di Bali yang memiliki kolam ombak. Total karyawannya saat ini mencapai sekitar 3.000 orang.

Kerja keras dan inovatif menjadi kunci keberhasilannya. Selain itu, ia sering meditasi yang membuat pikirannya harmonis dan positif sehingga ia selalu optimis dan memiliki banyak solusi. Faktor  sukses lainnya adalah pemasok. Jika ada kendala, ia mengungkapkannya secara terbuka. Total pemasok yang tergabung di Krisna ada 475 dan hanya 10% saja yang berasal dari luar Bali.

Menurutnya, dengan banyaknya pemasok yang bergabung, uang dari mereka saja bisa untuk membuka satu gerai Krisna. Ia mencontohkan, jika satu pemasok menyumbang Rp. 500 juta dan ada 40 pemasok yang mendukung, berarti ada Rp. 20 milyar dana terkumpul, Itu cukup untuk membuka gerai Krisna baru. Ia tidak yakin usahanya bisa sebesar ini jika dengan modal sendiri. Sebaliknya, bagi pemasok juga tidak mudah membuka gerai sendiri karena harus mengontrak toko, mengupah karyawan, belum lagi biaya promosi yang tidak murah.

Untuk membuka gerai di kota lain, ia belum bisa menerapkan strategi yang sama. GOSIPNYA di Bali saja butuh tiga tahun untuk meyakinkan pemasok agar mereka turut mendukung pengembangan bisnisnya. Menurutnya, secara bisnis lebih menguntungkan membuka usaha di luar Bali karena ia tidak keluar modal: mitranya yang menyediakan tempat, sedangkan barang dari pemasok. Seperti gerai Krisna di Surabaya, kontrak tempatnya Rp. 3,5 milyar untuk 10 tahun. Untuk gerai di Kota Tua Jakarta, ia hanya menyiapkan barang dengan nilai Rp. 10 milyar.

Banyaknya pemasok yang bergabung, menurutnya juga tidak gampang dan mulus dalam mengelolanya. "Kami harus telaten mengajarkan dan melatih mereka. Semua butuh proses. Kami ada surat peringatan jika ada yang nakal. Ada SP1, SP2, dan SP3," ungkapnya.

Pemasok yang ikut membangun Krisna sejak awal buka akan lebih diutamakan ketika membuka gerai baru daripada pemasok baru dengan barang sama. Ia akan menyampaikan ke pemasoknya, bahwa ada calon pemasok baru yang menawarkan barang yang sama dengan harga lebih murah. Jika selisih hanya Rp. 100, pemasok lama masih dipertimbangkan untuk lebih diunggulkan, tapi jika selisihnya Rp. 1.000, ia akan menanyakan alasannya, kenapa pemasok baru bisa jauh lebih murah. Pertimbangan kuantitas yang bisa dipenuhi juga menjadi salah satu pertimbangan. Jika pemasok lama tidak bisa memenuhi, ia akan mengambil dari pemasok baru untuk menambah barang.

Istrinya bertugas menyeleksi barang dan mengelola para pengrajin. Istrinya sangat berkebalikan dengannya. Ia bersifat cepat dan mengandalkan intuisi sedangkan istrinya selalu waspada, berpikir jangka panjang, serta menghitung detil untung-ruginya. Contohnya, ia selalu berpikir menambah gerai baru sedangkan istrinya mengingatkan untuk lebih hati-hati. Contoh lainnya, gajinya setiap bulan selalu habis sedangkan istrinya suka menabung.

Sejak pertengahan tahun 2018, anak pertamanya Gusti Ngurah Berlin Bramantara, mulai mengambil alih pengelolaan Krisna. Ia berpesan pada Berlin agar hubungan dengan karyawan harus tetap dijaga baik, tidak jaga jarak, bahkan bisa lebih menyejahterakan karyawan seperti dulu dirinya dengan Made Sidharta.

Ia tidak hanya menjalin hubungan baik dengan karyawan dan pemasok, tapi juga dengan agen biro perjalanan dan para sopir yang biasa membawa wisatawan mampir ke gerai Krisna. Bahkan para pebisnis lainnya di Bali pun ia anggap sebagai teman yang sama-sama ingin mengembangkan pariwisata Bali, meski bisnisnya ada yang serupa. Itu terlihat ketika menyelenggarakan pesta grand opening Krisna Bali Souvenir Center di Gianyar, ia mengundang agen perjalanan wisata, tidak hanya yang ada di Bali, tetapi juga dari daerah lain, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, serta para sopir dan pengusaha di Bali.

Meski sudah sukses ia tetap rendah hati. Jika ada temannya yang sakit, meninggal, atau dilanda musibah, ia adalah orang yang paling pertama berinisiatif menggalang bantuan. Jika datang ke Konfeksi Sidharta, ia tak canggung untuk duduk di lantai bersama karyawan Sidharta yang dulu merupakan teman-teman kerjanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.