(Tjio Wie Tay - berdiri keempat dari kanan) ketika duduk di kelas V sekolah HCZS di Bogor tahun 1941
Thay San Kongsie
Tjio Wie Tay (tengah) bersama Khaiman Suciadi (Tjio Kim Hap) dan kawan, dengan bangga diatas motor Harley Davidson B3221 miliknya di depan Thay San Kongsie, Kramat Bunder, April 1947
Tjio Wie Tay menikahi Cheng Hian Nio (Ida Ayu Agung), 13 Mei 1951
Tjio Wie Tay
lahir 8 September 1927 di Jakarta
meninggal 24 September 1990 di Jakarta
istri: Cheng Hian Nio (Ida Ayu Agung)
ayah: Tjio Koan An
ibu: Tjoa Poppi Nio
CABANG GUNUNG AGUNG
-Jakarta (9)
*Jl. Kwitang Raya 38 Jakarta Pusat Phone (021) 310 2004, 310 2007
*Jl. Kwitang Raya 6 Jakarta Pusat Phone (021) 391 9555
*Atrium Plaza Lt. 3 Jl. Senen Raya 135 Jakarta Pusat Phone (021) 386 2911
*Senayan City Lt. 5 Jl. Asia Afrika Lot 19 Jakarta Selatan Phone (021) 7278 1427, 7278 1428
*Blok M Plaza Lt. 5 Jl. Bulungan 76 Jakarta Selatan Phone (021) 720 9344
*Lippo Kramat Jati Lt. 2 Jl. Raya Bogor KM 19 Kramat Jati Jakarta Timur Phone (021) 8087 5310
*Mall Arion Lt. 2 Jl. Pemuda Kav. 3-4, Jakarta Timur Phone (021) 471 3078, 471 3157
*Tamini Square Lt. 1 Jl. Taman Mini Raya Pinang Ranti Phone (021) 8778 2777
*Universitas Trisakti Jl. Kyai Tapa 1 Jakarta Barat Phone (021) 566 2741
-Tangerang (3)
*BSD Plaza Lt. 1 Jl. Serpong Sektor IV Phone (021) 538 6047
*CBD Ciledug Lt. GF Blok C Jl. Hos Cokroaminoto 93 Phone (021) 7344 8953
*Tang City Mall Lt. 1 Jl. Jend. Sudirman 1 Cikokol Phone (021) 2930 9919
-Bekasi (2)
*Bekasi Cyber Park Lt. GF Jl. K.H. Noer Ali 177 Phone (021) 8885 6633
*Plaza Pondok Gede 1 Lt. 1 Jl. Pondok Gede Raya 1 Phone (021) 8499 4875
-Semarang (2)
*Mall Ciputra Lt. 1 Jl. Simpang Lima Phone (024) 841 5973
*Mal Paragon Lt. 2 Jl. Pemuda 118 Phone (024) 8657 9201
-Surabaya (2)
*Mall Galaxy Lt. 3 Jl. Dharmahusada Indah Timur 35-37 Phone (031) 591 5353
*Plaza Surabaya Lt. 3 Jl. Pemuda 31-37 Phone (031) 531 1765
-Bogor: Plaza Jembatan Merah Jl. Veteran Bogor Phone (0251) 316 303, 316 305
-Depok: Margo City Jl. Margonda Raya 358 Phone (021) 7887 1013
-Denpasar: Libbi Plaza Jl. Teuku Umar 104-110, Denpasar Phone (0361) 263 387
GOSIPNYA
Tjio Wie Tay merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari seorang ahli listrik lulusan Belanda, sedangkan kakeknya adalah seorang pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor. Ketika ia masih berusia empat tahun ayahnya meninggal, sejak saat itu kehidupan ekonomi keluarga mereka menjadi sangat sulit. Ia tumbuh menjadi anak nakal yang suka berkelahi. Ia juga punya kebiasaan suka mencuri buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di pasar Senen guna mendapatkan uang saku. Karena kenakalan ini, ia tidak bisa menyelesaikan sekolah, meski sudah dikirim sampai ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda. Ia hanya bersekolah hingga kelas lima SD.
Karena kenakalannya, ia tumbuh menjadi anak pemberani. Ia tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten (GOSIPNYA bahkan dari tentara Jepang ia mendapatkan satu sepeda). Modal keberanian inilah yang ia pakai dalam dunia bisnis dan menjadi salah satu andalannya dalam menggerakkan roda bisnisnya.
Setelah diusir pamannya dari Bogor dan harus kembali ke Jakarta saat berusia 13 tahun, keadaan ekonomi ibunya belum juga membaik. Ia harus mencari uang sendiri. Awalnya, ia kembali ke kebiasaan lama mencuri buku pelajaran kakaknya untuk dijual guna mendapatkan 50 sen. Setelah tidak ada lagi buku pelajaran yang bisa dijual, ia mencoba menjadi manusia karet di panggung pertunjukkan senam dan aerobatik, walaupun penghasilannya ternyata tidak banyak.
Ia lalu banting setir menjadi pedagang rokok keliling di Glodok. Ia mulai rajin menabung karena sudah merasakan betapa susah mencari uang. Hasil tabungannya kemudian dibelikan sebuah meja sebagai tempat berjualan. Karena belum memiliki kios sendiri, meja tersebut dititipkan pada sebuah toko onderdil di Glodok sampai akhirnya ia mampu membuka kios di Senen bersama Lie Tay San, seorang saudagar rokok besar kala itu yang kebetulan pacarnya bersaudara dengan istri Lie Tay San.
Menjadi pedagang rokok keliling membuka matanya bahwa ada tempat partai rokok besar selain Lie Tay San yaitu di Pasar Pagi. Setelah membuka kios, ia mulai membeli rokok di Pasar Pagi. Ia juga berkenalan dengan The Kie Hoat yang bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu. The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San.
Suatu hari, The Kie Hoat ditawari relasinya untuk memperluas pemasaran. Kie Hoat lalu merundingkan dengan Wie Tay dan Lie Tay San. Saat Lie Tay San masih ragu, Wie Tay malah langsung setuju. Ia yakin bisa cepat dijual dan mendatangkan keuntungan besar. Ternyata benar, namun sayangnya The Kie Hoat akhirnya dipecat dari Perola karena dinilai melanggar aturan perusahaan, menjual rokok ke pihak luar yang bukan distributor.
Mereka lalu bergabung dan mendirikan usaha bersama pada tahun 1945 bernama Thay San Kongsie. Selain menjual rokok, mereka menjadi agen bir cap Burung Kenari dan juga mulai serius berbisnis buku. Dengan bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku yang dijual mereka ternyata laku keras. Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Setelah itu mereka membuka toko 3x3 meter persegi, kemudian diperluas menjadi 6x9 meter persegi. Karena keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi menjual buku dan alat tulis.
Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Thay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (40%), Wie Tay (33%) dan The Kie Hoat (27%). Wie Tay ditunjuk memimpin perusahaan ini. Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, ia mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah.
Pada 13 Mei 1951 ia menikahi Cheng Hian Nio. Ia lalu mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal namun Lie Tay San keberatan dan memutuskan mundur. Lie Tay San tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder (kini menjadi Toko Buku Kramat Bundar) sementara Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jalan Kwitang No. 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu Kwitang masih sepi, baru ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta. Tjio Wie Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar dan ia mengubah nama tokonya menjadi Gunung Agung. GOSIPNYA nama Gunung Agung adalah pemberian Herlina, yang bertemu dengannya di Irian Barat (kini Irian Jaya) pada masa Trikora dan memanggilnya Masagung.
Toko buku mereka berkembang pesat. Pesanan dari luar Jakarta berdatangan, tidak hanya buku tapi juga kertas stensil, kertas tik dan tinta. Melihat perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah pengusaha kaya. Tidak aneh buku-buku yang diterbitkan pada awal berdirinya adalah buku-buku sastra tulisan tangan para orang tersebut. Bentuk usaha firma lalu diubah menjadi NV alias Naamloze Vennootschap (kini PT).
Pada 8 September 1953, saat peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay membuat gebrakan dengan menggelar pameran buku. Dengan modal 500 ribu Rupiah yang ia dapatkan dari 100 pemegang saham seperti Bung Hatta, Adinegoro, Sumanang, H.B. Jassin dan beberapa mitranya semasa di Thay San Kongsie, Gunung Agung berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko Gunung Agung yang uniknya juga menjadi hari kelahirannya sendiri.
Tahun 1954, Wie Tay mengadakan lagi pameran buku tingkat nasional berjudul Pekan Buku Indonesia 1954. Pada acara ini ia bertemu dan berkenalan dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Selain merupakan presiden, Bung Karno adalah tokoh yang sangat dikaguminya sejak ia kecil.
Sukses menyelenggarakan Pekan Buku Indonesia dan kedekatannya dengan Bung Karno, membuat Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan Pameran Buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia pada tahun yang sama. Tahun 1955 Cabang Gunung Agung di Yogyakarta dibuka. Tahun 1956 Gunung Agung kembali diminta pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Malaka dan Singapura. Tahun 1963 Toko Gunung Agung sudah memiliki sebuah gedung megah berlantai tiga di Jalan Kwitang 6. Acara ulang tahun ke-10 tersebut diikuti dengan peresmian gedung tersebut dihadiri langsung oleh Bung Karno. Pada 26 Agustus 1963, Wie Tay berganti nama menjadi Masagung.
Ia selalu teringat akan pesan Bung Karno padanya, "Masagung, saya ingin saudara meneruskan kegiatan penerbitan. Ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa, jadi jangan ditinggalkan.". Seraya memeluk Masagung, Bung Karno mempercayainya untuk menerbitkan dan memasarkan buku-buku Bung Karno seperti Di Bawah Bendera Revolusi, Biografi Bung Karno tulisan wartawan AS, Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung Karno, dan lainnya. Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak.
Bung Karno juga meminta Gunung Agung mengisi kebutuhan buku bagi masyarakat Irian Barat saat Trikora. Masagung lalu mengadakan pesta buku di Biak, Marauke, Serui, Fak Fak, Sorong, dan Manokwari. Tugas yang sama kembali diemban untuk masyarakat Riau dalam rangka Dwikora. Bukan cuma di Indonesia, Masagung juga agresif membangun jaringan di luar negeri. Tahun 1965, ia membuka cabang di Tokyo, Jepang, lalu mengadakan pameran buku Indonesia di Malaysia awal 1970-an.
GOSIPNYA menjelang usia 50 tahun, ia masuk Islam karena sebagai orang dagang, sejak kecil ia hanya memikirkan uang, kedudukan, kehidupan yang nyaman sehingga ia takut masuk ke dunia maksiat. Ia memilih Islam karena Kun Faya Kun. Istrinya pun lalu mengubah namanya menjadi Ida Ayu Agung. Setelah pulang dari ibadah haji, 5 tahun setelah menjadi mualaf, ia mendirikan Yayasan Masagung.
Ia juga merambah bisnis lain seperti bisnis ritel yang bekerjasama dengan Department Store Sarinah di Jalan MH Thamrin, juga berbisnis Duty Free Shop, Money Changer, perhotelan, agen pena Parker, rokok Dunhill, rokok Rothmans, majalah Time, dan komputer Honeywell. Dengan modal Rp. 250 juta ia mendirikan sebuah perusahaan pariwisata bernama PT Jaya Bali Agung. Ia juga pernah menjadi Direktur PT Jaya Mandarin Agung yang mengelola Hotel Mandarin di Jakarta.
Tahun 1989 keluarga Masagung menyerahkan pengelolaan Gunung Agung kepada profesional, dan mencatatkan diri ke Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia) pada tahun 1991. Kini, cucu Masagung, Ryan, mulai dipercaya untuk membantu pengelolaan Gunung Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.