Oyo Saryo

Oyo Saryo bersama istri

Oyo Saryo dan Dedy Hikmat

CABANG USAHA
-Bandung
*Jl. Sulanjana 30
*Jl. H. Wasid 4
*Jl. Kliningan 18
*Jl. Soekarno Hatta 100 M
*Jl. Soekarno Hatta 735 (Rumah Makan Ampera Metro)
*Jl. Arcamanik Endah 77
*Jl. Venus Raya 4
*Jl. A. H. Nasution 92
*Jl. Panatayuda (tutup)
*Jl. Gelap Nyawang sebrang villa merah ITB (tutup)
*Jl. Surya Sumantri (tutup)
*Jl. Pasteur samping Giant (tutup)
*Jl. Surapati 63 (tutup)
*Jl. Ir. H. Juanda 37 (Kampung Aceh) (tutup)
*Jl. Tubagus Ismail 45 (tutup)
*Jl. Pahlawan 213 (tutup)
*Jl. Batik Kumeli 5 Sukaluyu (tutup)
*Jl. Burangrang 42 (tutup)
*Jl. Pangkur 3 (tutup)
*Kota Baru Parahyangan Ruko No. 6 (tutup)

-Yogyakarta: Jl. Godean Km 5 Modinan (tutup)

GOSIPNYA
Oyo Saryo adalah seorang anak petani miskin dari desa Salawangi, Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka. Di pagi hari ia menggembalakan kerbau, sedangkan siang sampai sore hari ia membantu ayahnya jadi kuli pacul (buruh tani) di kebun orang. Ia biasa dipanggil P3: Pasukan Pacul Pendek. Dijuluki demikian karena ia dan ayahnya bertubuh kecil dan pendek.

Hidupnya diwarnai kemiskinan. Saat beras tinggal secangkir, ibunya membuatnya menjadi bubur. Ketika di rumah ia biasa membantu ibunya di dapur. Hal ini membuatnya pandai memasak.

GOSIPNYA pada umur 11 tahun, ia baru masuk SD. Tahun 1958 rumahnya terbakar dan ijazah SD-nya hangus. Ia menjadi kuli pacul di kampungnya. Ia lalu merantau ke Sumedang tapi karena tidak ada keahlian lain, lagi-lagi menjadi kuli pacul. Ia lalu pindah ke kota Bandung pada tahun 1964.

Di Bandung, ia pernah melamar ke pabrik daging, tetapi tidak diterima karena tidak punya ijazah apapun. Ia lalu berjualan minyak tanah keliling tapi merasa tidak cocok. Ia lalu membantu kakak sepupunya berjualan berjualan bubur sumsum/lemu dan pacar cina dengan memakai pikulan. Ia berjualan bubur lemu dari tahun 1965 sampai 1980 tapi penghasilannya masih pas-pasan karena pembeli bubur lemu dan pacar kebanyakan hanya anak-anak.

Tahun 1980 Presiden Soeharto menghadiri Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) di Stadion Madya Senayan, Jakarta. Saat itu, Soeharto melihat para pelari dari Kupang tampil tanpa sepatu, Soeharto bertanya pada Asisten Menpora Bidang Olahraga Mangombar Ferdinand Siregar, "Pak Siregar, itu atlet-atlet dari Kupang kenapa tidak pakai sepatu?".

"Di sana sudah biasa, pak. Jangankan sepatu untuk olahraga, mereka juga tidak pakai sepatu saat sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari," jawab Siregar.

"O, jadi itu sebabnya. Berarti mereka sudah terbiasa jalan dan lari tanpa sepatu. Secara tidak langsung, kegiatan lari sudah memasyarakat di sana, ya?" tanya Soeharto lagi.

"Betul, pak. Jadi olahraga pada tahap awal memang harus memasyarakat," ungkap Siregar.

Kata-kata dari Soeharto itu lantas dituangkan sebagai usulan dalam riset yang dilakukan Siregar sebanyak 10 halaman bertajuk: Peranan Olahraga dalam Pembangunan Pedesaan sebagai Satu Sumbangan Pemikiran untuk Presiden RI. Setelah ditindaklanjuti dalam Musyawarah Olahraga KONI Pusat, Siregar juga mengkomunikasikannya dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Menteri Daoed lantas sedikit memberi ralat. "Mestinya olahraga dimasyarakatkan dulu tentang arti dan fungsinya, baru setelah masyarakat sadar mengenai hal tersebut, mereka bisa berolahraga," kenang Siregar.

Maka sejak itulah, slogan 'memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat' dijadikan panji olahraga nasional dan ditetapkan dalam amanat Presiden Soeharto di Sidang MPR/DPR pada 15 Agustus 1981 sebagai Gagasan Keolahragaan Nasional. Hari Olahraga Nasional (Haornas) sendiri ditetapkan pada 9 September 1983, diperkuat dengan Keppres Nomor 67 Tahun 1985 tentang Hari Olahraga Nasional.

Slogan itu membuat Oyo berpikir, "Bila warga selesai berolahraga, pasti mereka mencari santapan", dan muncullah ide bisnis untuk berjualan bubur ayam. Bubur ayam dipilih karena disukai segala kalangan, dari anak-anak sampai orang tua. Mulanya ia berjualan di lingkungan kantor dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat. Pada awalnya, menu bubur ayam yang disajikannya hanya berupa bubur encer polos dengan taburan seledri, kacang dan kerupuk. Makin lama saran pelanggan bermunculan, sehingga ia menambahkan irisan daging ayam, cakue dan lain-lain.

Ia berpikir tentang buburnya yang encer. Jika jualan dari pukul 6 pagi bubur akan menjadi air dan tak layak jual. Tahun 1989 ia mengubahnya menjadi bubur kental dan beratraksi membalikkan mangkuk sehingga pembeli merasa takjub karena tidak tumpah saking kentalnya. Pasokan beras didapatkan dari sawahnya sendiri seluas 2 hektar di Majalengka. GOSIPNYA beras dari Majalengka membuat buburnya lebih kental.

Ia juga membuat strategi memakai singkatan dan nama unik seperti kuping (kurupuk emping), ampel (ati ampela), atel (ayam telor), atelpin (ayam telor pindang), apel (ati ampela), ayat (ayam ati), acak (ayam cakue), ganja (seledri), dan krikil (kacang kedelai). 

Meski pembeli mulai berdatangan, setelah 3 bulan, kantin soto di sebelahnya iri. Ia diusir. Beberapa kali pindah tempat malah membuatnya makin dikenal banyak orang. Pelanggan yang bertambah banyak memaksanya untuk mencari tempat usaha yang lebih luas, yaitu di Jalan Panatayuda.

Bubur ayamnya sangat laris manis tapi dipermasalahkan oleh warga sekitar. Kendaraan pembeli yang parkir memenuhi sebagian besar area membuat warga setempat protes sehingga ia kembali pindah ke Jalan Sulanjana 30 yang dijadikan markas utamanya hingga kini. Pelanggan makin banyak dan membuatnya naik Haji tahun 1994. Meski sempat bermasalah tahun 2003 karena persaingan, perlahan ia mampu bangkit kembali.

Ia memiliki prinsip yaitu APIK. 'Alus' dalam bahasa Sunda berarti cakap atau terampil dan 'Pinter' artinya pintar dalam mengambil keputusan serta meraih peluang usaha yang ada. Dan ditambah dengan satu syarat lagi, yakni kreatif membuat 'Inovasi' untuk menarik 'Konsumen'. 

Oyo juga memahami hak paten, karena itu ia mendaftarkan "Bubur Ayam Mang Haji Oyo Tea" kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual dan Departemen Kesehatan. Selain itu, ia juga sudah mendapatkan pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia berupa setifikat halal. Untuk kata "Tea" artinya semacam penegasan dalam bahasa Sunda. Kata "Tea" yang melekat dibelakang nama Oyo dijadikan label produk asli buatan Oyo.

Saat ini usahanya dikelola oleh anaknya yang bernama Dedy Hikmat dan Ery Hendryana selaku bagian dari keluarga besar Oyo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.