Ekonomi Indonesia



PAJAK
Setelah merdeka, Indonesia mulai mengganti sistem pajak ala Belanda yang menindas rakyat sehingga muncul UU No. 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal sebagai "UU MPO dan MPS".

Metode Menghitung Pajak Sendiri (MPS) adalah wajib pajak menghitung sendiri sedangkan metode Menghitung Pajak Orang Lain (MPO) adalah wajib pajak dapat menunjuk orang/badan lain untuk menghitung pajaknya. Hal ini dilakukan karena pada zaman Belanda, pajak ditentukan oleh aparat pajak. Pada 19 September 1967, Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 ditetapkan untuk mengatur pelaksanaannya.

Setelah itu keluar UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. UU baru ini mengenalkan sistem self-assessment. Sistem pajak yang dikenal sebagai self-assessment ini berlaku juga di Amerika Serikat dan negara maju lainnya.

Setelah itu peraturan terus disempurnakan beberapa kali lewat:
UU No. 9 Tahun 1994 tentang Perubahan UU 6-1983
UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua UU 6-1983
UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU 6-1983
UU No. 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat UU 6-1983

HALUAN NEGARA
Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara.

Pada era Soekarno, haluan negara bernama Manifesto Politik (Manipol) yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969 (GBPPNSB).

Pada era Soeharto pembangunan dibagi menjadi 3 yaitu jangka panjang 25 tahun, jangka menengah 5 tahun, dan jangka pendek 1 tahun. Orde Baru mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai sebutan untuk program pembangunan 5 tahun.

Pada era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati, UUD 1945 diamandemen 4 kali. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikeluarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Jangkauan pembangunan UU SPPN dan UU RPJPN adalah 20 tahun untuk jangka panjang dan 5 tahun untuk jangka menengah, dan 1 tahun untuk jangka pendek.

Pada 8 Januari 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagai haluan negara 5 tahun.

EKONOMI DUNIA
Pada abad 16 hingga abad 18, dunia memakai sistem ekonomi Merkantilisme. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Victor de Riqueti, marquis de Mirabeau tahun 1763. Merkantilisme sering menyebabkan perang dan ekspansi kolonial. Bapak ekonomi modern, Adam Smith, mengkritik Merkantilisme lewat bukunya, The Wealth of Nations tahun 1776.

Dasar teori merkantilisme adalah dunia memiliki keterbatasan kekayaan sehingga mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya menjadi tolak ukur utama kemakmuran suatu negara. Untuk menambah kekayaan, negara tersebut harus melakukan pertukaran kekayaan. Pertukaran ini dikemudian hari dikenal dengan istilah ekspor dan impor perdagangan. Banyak negara yang melakukan penjajahan demi perdagangan ini.

Karena banyak perbudakan, banyak yang ingin merdeka sehingga paham liberalisme mulai menyebar dan satu-persatu negara mulai merdeka sehingga merkantilisme mulai hilang dan hancur total setelah Perang Dunia I usai.

Ketika Amerika Serikat (AS) terlibat Perang Dunia I dan kekurangan dana, pemerintah menaikkan pajak. Tahun 1917 pemerintah AS menemukan cara yang lebih mudah untuk menyokong ekonomi negara. AS mengeluarkan liberty bond alias obligasi liberty. Surat obligasi itu dijual pada warganya dengan imbalan bunga tinggi. Setelah perang usai pemerintah tidak dapat membayar kepada rakyatnya sehingga obligasi baru pun dikeluarkan.

Pada 24 Oktober 1929 pasar saham hancur dan AS mengalami depresi hebat. Tahun 1932 Franklin Roosevelt terpilih menjadi Presiden AS ke-32 dan dalam 100 hari mengeluarkan program-program baru tapi tidak dapat keluar dari depresi.

Pemerintah mengeluarkan liberty bond ke-4 pada April 1934 dan menolak ditukarkan dengan emas. Pemerintah lalu mencetak uang sebanyak mungkin untuk membayar dan menyebabkan devaluasi Dolar AS dari 20,67 Dolar AS per ounce emas tahun 1918 menjadi 35 Dolar AS per ounce emas. Pemegang obligasi dirugikan 2.866 milyar Dolar AS (kurs Dolar tahun 1918) atau sekitar 220 milyar Dolar AS dengan harga 1.600 Dolar AS per ounce emas (kurs emas tahun 2012). Depresi yang melanda dunia membuat Adolf Hitler terpilih menjadi kanselir Jerman pada 30 Januari 1933 dan menyebabkan Perang Dunia II tahun 1939.

Perang Dunia II menyebabkan banyak orang mendapat pekerjaan. Ketika AS ikut perang tahun 1941, depresi hebat pun berakhir total di AS. Pada 1 Juli 1944 diadakan konferensi di Bretton Woods, New Hampshire, AS. Konferensi ini menghasilkan International Monetary Fund (IMF) dan the International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang kini menjadi bagian dari World Bank Group (WBG).

Sistem ini membuat semua negara bergantung pada Dolar AS karena punya nilai pasti: 35 Dolar AS per ounce emas. Pada awalnya sistem ini berjalan lancar. Negara-negara peserta perang dunia belum pulih dan ingin Dolar AS agar dapat membeli barang-barang buatan AS. Saat itu AS memiliki lebih dari setengah cadangan emas dunia sebesar 574 juta ounces pada akhir Perang Dunia II.

Pada tahun 1950-1969 Jepang dan Jerman mulai pulih, sehingga sumbangsih AS pada perekonomian dunia turun dari 35% menjadi 27%. Belum lagi neraca pembayaran negatif, meningkatnya hutang karena Perang Vietnam, dan inflasi moneter oleh bank sentral AS membuat Dolar AS dinilai terlalu tinggi tahun 1960-an.

Pada Februari 1965 Presiden Charles de Gaulle menyatakan ingin menukar Dolar AS nya pada emas dengan kurs resmi. Tahun 1966 bank sentral negara-negara pengikut Bretton Woods selain AS, memiliki 14 milyar Dolar AS sementara bank sentral AS hanya memiliki 13,2 milyar Dolar AS. Itupun 10 milyar Dolar AS untuk kepentingan domestik, sehingga yang bisa ditukar oleh bank di luar AS hanya 3,2 milyar Dolar AS.

Tahun 1971 stok Dolar meningkat 10%. Pada Mei 1971 Jerman Barat meninggalkan sistem Bretton Woods dan hanya dalam 3 bulan membuat ekonominya membaik. Bahkan nilai Dolar AS turun 7,5% terhadap Deutsche Mark. Negara lain pun ikut menukar Dolar mereka dengan emas. Pada 5 Agustus 1971 AS mendevaluasi nilai Dolar AS. Meski pada 9 Agustus nilai Dolar terus turun terhadap mata uang negara Eropa, Swiss meninggalkan sistem Bretton Woods.

Pada 15 Agustus 1971 presiden AS, Richard Nixon, menghentikan konversi Dolar AS ke emas karena cadangan emas AS menipis. Peristiwa yang lebih dikenal sebagai Nixon Shock ini membuat nilai tukar Dolar tetap. Dolar AS menjadi mata uang cadangan dan membuat nilai mata uang lain seperti Poundsterling menjadi mengambang.

Pada Maret 1973 sistem mata uang tetap berganti menjadi sistem mata uang mengambang yang dipakai hingga kini. Pada 8 Januari 1976 sistem Bretton Woods dihentikan lewat Kesepakatan Jamaika. Sebuah perubahan dilakukan tahun 1978 untuk membuat Special Drawing Rights untuk kredit bagi negara berkembang.

Tahun 1969 konsep Pembangunan Lima Tahun (Pelita) mulai dijalankan oleh Soeharto. Ekonomi dan politik Indonesia mulai stabil. Para menteri keuangan era Orde Baru berhati-hati dalam berhutang karena selain mengacu pada GBHN juga mempertimbangkan negara belum siap bermain dengan Surat Berharga Negara (SBN).

Dulu para menteri keuangan (menkeu) berpikir unit eselon II di Direktorat Jenderal Anggaran cukup karena mengacu pada GBHN dan utang negara hanya bersifat pelengkap dan sementara. Para kreditur untuk Indonesia dikoordinasikan oleh World Bank dengan nama Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang lalu berganti nama menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI). Pada era Orde Baru utang luar negeri ini dikenal sebagai Penerimaan Pembangunan.

Utang luar negeri dari CGI itu mempunyai ciri-ciri umum:
1. Berjangka panjang dan lunak
2. Digunakan tidak untuk anggaran rutin tetapi untuk pembangunan yaitu pinjaman untuk proyek-proyek yang sudah disepakati bersama antara kreditur dan pemerintah Indonesia dan ada porsi yang harus ditanggung APBN. Hanya bagian kecil saja dari pinjaman luar negeri tersebut yang dapat digunakan untuk program diluar kesepakatan.
3. Pinjaman luar negeri itu terbatas sehingga saldonya per 1 Juli 2017 hanya Rp. 721 trilyun, terhitung dari rezim Orde Lama hingga kini.
4. Pinjaman luar negeri ini tidak dalam bentuk SBN sehingga tidak dapat diperdagangkan atau diperjualbelikan di pasar, yang sewaktu-waktu dapat menggoyahkan pasar dan kurs rupiah terhadap valas.
5. Pinjaman luar negeri jenis CGI ini tidak bisa digunakan untuk membayar bunga utang ataupun pokok utang yang jatuh tempo karena penggunaannya sudah ditentukan sebelumnya.

Direktur Eksekutif IMF, Michel Camdessus melihat Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF Tahun 1998

Ketika Indonesia mengalami krisis moneter (krismon) tahun 1997 pemerintah belum mempunyai utang dalam bentuk SBN. Saat krismon yang bermasalah adalah utang pihak swasta dalam valuta asing / valas (forex) yang terlalu besar dan tidak terkontrol oleh pemerintah. Atas saran IMF, pemerintah menutup 16 bank kecil yang bermasalah. Begitu bank kecil ditutup rakyat tidak percaya dengan semua bank, terutama bank swasta sehingga pemerintah menyelamatkan 48 bank melalui Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dengan mengucurkan dana pada Desember 1998 sebesar 147,7 trilyun Rupiah yang malah banyak dikorupsi oleh banyak penerima dana dan membuat negara rugi 138,4 trilyun Rupiah. Hal ini merupakan bagian dari perjanjian Letter of Intent antara IMF yang dengan terpaksa ditandatangani oleh Soeharto sehingga negara wajib memberi BLBI sebesar 670 trilyun Rupiah.

Pada Desember 2005 SBY merombak kabinet dan mengganti menkeu Jusuf Anwar menjadi Sri Mulyani. Sri Mulyani membentuk direktorat jenderal (ditjen) untuk mengelola utang negara menggantikan unit eselon II di Direktorat Jenderal Anggaran.

Sejak Ditjen Pengelolaan Utang didirikan, SBN diperkenalkan baik dalam valas maupun rupiah, utang negara dalam bentuk SBN melesat, sehingga saldo SBN per 1 Juli 2017 adalah Rp. 2.979,5 trilyun atau 4,13 kali lipat pinjaman luar negeri jenis multilateral/bilateral yang hanya Rp. 712 trilyun. Hampir dapat dipastikan angka perbandingan tersebut akan terus menaik tajam karena utang SBN yang terus meningkat tajam, sementara utang luar negeri multilateral/bilateral relatif stagnan.

Hanya dalam waktu 10 tahun (sejak Sri Mulyani jilid I/SBY sampai dengan Sri Mulyani Jilid II/Jokowi), utang SBN telah melebihi Rp. 3.000 trilyun sementara pinjaman luar negeri yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad hanya bersaldo Rp. 721 trilyun.

Kementerian Keuangan mencatat, pada 15 Agustus 2017 SBN yang bisa diperdagangkan adalah Rp. 1.988,33 trilyun. Dari jumlah itu kepemilikan asing mencapai 39,25% (Rp. 780,44 trilyun). Jika ditambah dengan kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral negara lain, maka porsi asing mencapai 46,01%.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, tren peningkatan dana asing di SBN terjadi karena mulai akhir tahun lalu, muncul ekspektasi bahwa utang jangka panjang Indonesia bakal memperoleh peringkat layak investasi (investment grade) dari lembaga peringkat internasional, Standard and Poor’s (S&P). Perkiraan tersebut jadi kenyataan pada Mei 2017.

Idealnya, porsi asing maksimal 30%. Hal ini untuk mengurangi risiko di pasar SBN lantaran investor asing peka terhadap sentimen global. Investor asing bisa saja menarik keluar dananya secara tiba-tiba sehingga menekan pasar SBN. Di Malaysia dan Thailand pun porsi asing di surat utang pemerintah hanya berkisar 20-30%.

Dalam RAPBN 2018 maupun yang sedang direvisi, pada prinsipnya sekitar 40% dari pendapatan perpajakan akan terserap untuk pembayaran utang dan bunganya, sehingga hanya tersisa 60% untuk anggaran rutin dan belanja modal. Karena tidak cukup, pemerintah akan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) baru yang lebih besar lagi sehingga saldo utang terus bertambah. SUN adalah bagian dari SBN.

Pada akhir tahun 2016 rasio utang negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah mencapai 27,5%. Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara batas maksimal memang 60% dan defisit APBN tidak melebihi 3%, tapi para pengamat ekonomi mengkhawatirkan negara tidak mampu membayar utang itu karena pemerintah berencana membuat rasio menjadi 29,3% tahun 2017. Banyak pihak khawatir rasio utang menjadi 32% tahun 2019 dan terus meningkat di tahun berikutnya karena pembangunan infrastruktur yang sangat besar secepat mungkin. Padahal, efek dari pembangunan infrastruktur tidak bisa instan seperti Cina yang ekonominya lebih stabil.


Masalahnya terletak pada keseimbangan ekonomi. Infrastruktur bisa berdampak lebih cepat jika industri tumbuh sedangkan industri saat ini lesu karena konsumsi masyarakat menurun. Banyak yang berpendapat masyarakat sekarang lebih senang menabung untuk traveling ke luar negeri karena daya tarik dan gengsi yang lebih tinggi dibanding dalam negeri. Selain itu, agresifnya pajak pada berbagai sektor, UMK/UMP yang sangat tinggi, rumitnya birokrasi di lapangan, dan mulai terasanya teknologi online, membuat daya beli masyarakat menurun yang salah satunya disebabkan banyaknya PHK.

Dalam penutupan rapat koordinasi dengan Kamar Dagang Industri (Kadin), Jokowi sempat mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat tidak menurun. Jasa kurir yang melonjak hingga 130% dan PPN yang meningkat hingga 12,14% menjadi buktinya.

Presiden Direktur JNE Mohamad Feriadi mengakui adanya peningkatan volume pengiriman, namun jumlahnya tak sebesar yang dinyatakan Jokowi. "Kami mengalami peningkatan tapi tidak sebesar yang disebutkan Beliau. Saya ceritakan, peningkatan kami sebesar 30% dalam beberapa tahun terakhir," kata Feriadi kepada wartawan di Kantor JNE, Jakarta, 16 Oktober 2017.

Tercatat, 35% dari pendapatan JNE berasal dari konsumen retail toko online, 35% lagi dari konsumen retail biasa. Sementara, 30% sisanya merupakan pengiriman barang milik korporasi. "E-commerce ini pertumbuhannya sangat dahsyat walaupun baru 1% dari porsi penjualan retail secara keseluruhan," ujar Feriadi.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapkan hal senada. Enny mengatakan bahwa aktivitas kurir memang mengalami peningkatan tetapi porsi dari penjualan melalui online sebagai mitra dari ekspedisi masih kurang dari 2%. Dia pun kemudian membenarkan memang ada penurunan daya beli sampai di bawah 40%.

"Indikasinya porsi kontribusi pengeluaran untuk makanan itu tinggi sekali, yang tadinya 26% sudah mencapai 38%. Sehingga menggerus pengeluaran lain yang non-makanan," kata Enny, dalam Metro Pagi Primetime, 5 Oktober 2017.

Hal kedua yang mengonfirmasi bahwa adanya penurunan daya beli adalah pertumbuhan sektor riil dalam negeri seperti berada di titik nadir. Melihat industri kreatif hanya tumbuh 2,5% bahkan manufaktur yang lebih besar hanya mampu mencapai angka pertumbuhan 4%. Yang menjadi kekhawatiran adalah konsumsi dan produksi yang mestinya stabil justru tidak seimbang.

Dalam ekonomi, ketika konsumsi ditopang oleh produksi dengan pola yang seimbang maka akan menghasilkan kesempatan kerja yang kemudian bisa dijadikan sebagai sumber untuk konsumsi kembali karena menghasilkan pendapatan. Tetapi jika produksi turun walaupun konsumsi masih tinggi bukan tidak mungkin pasar dalam negeri akan dibanjiri barang impor yang sangat murah hanya untuk memenuhi permintaan. Ketika hal ini terjadi, akan menimbulkan masalah yang lebih besar.

"Makanya yang kita lihat sekarang bukan perdebatan penurunan daya beli atau tidak, karena penurunan itu terminologinya kalau minus buat dunia usaha. Misalnya yang tadinya untung 10% menjadi hanya 8%, menurut pemerintah itu masih positif hanya jumlahnya saja yang berkurang," jelas Enny.

Mengenai banyaknya toko retail seperti Ramayana, Matahari, 7-Eleven, Lotus, dan Debenhams yang tutup Jokowi menjawabnya, "Contoh isu daya beli. Pak ini turun. Saya berikan angka. Ini ada pergeseran dari offline ke online. Jadi kalau ada toko tutup itu ya karena ini," ujarnya dalam Rakornas Kadin di Jakarta, 3 Oktober 2017. "Kalau mereka tutup ya salah mereka nggak ikutin jaman," tandasnya.

Jokowi menjelaskan kembali pernyataannya, "Di Tiongkok 30%-35% toko tutup, mal tutup, karena ada shifting pergeseran offline ke online. Terutama karena ada Alibaba yang sudah punya logistik platform, digital platform, yang merambah ke mana-mana," ujarnya dalam acara Rembuk Nasional 2017 di JIExpo Kemayoran, 23 Oktober 2017.

Sebenarnya hal tersebut adalah hal umum karena bahkan gedung Lord and Taylor seluas 650.000 kaki persegi di kawasan Fifth Avenue, Manhattan, New York yang dikenal sebagai ikon ritel terbesar di AS pun dijual seharga 850 juta Dolar AS oleh Hudson's Bay Co ke WeWork Cos Inc karena lesunya penjualan. Tetapi, apakah benar masalahnya karena pergeseran dari offline ke online? Perlu diingat AS adalah salah satu negara pelopor dalam teknologi online.

Toko yang ditutup tahun 2017 (IHL)

Toko yang dibuka tahun 2017 (IHL)

Jumlah dan tipe toko yang dibuka/ditutup tahun 2017 (IHL)

Laporan penelitian dari IHL Group menjawabnya. Tahun 2017 ternyata lebih banyak toko fisik (offline) dibuka di AS dibanding yang ditutup. Jenis toko yang dibuka ternyata berbeda. Data grafik menunjukkan toko yang berhubungan dengan dunia fashion adalah yang paling banyak ditutup.

Dari data diatas dapat dilihat bahwa toko yang dibuka didominasi oleh mass merchandiser store alias toko diskon dan convenience store alias toko kelontong. Menurut data diatas dapat disimpulkan bahwa masalahnya bukanlah munculnya teknologi online yang dianggap hal yang sedang booming di Indonesia tapi hanya dunia fashion saja yang tergerus oleh teknologi online.

Toko yang ditutup tahun 2017 dan Tidak Mengajukan Bangkrut (JLL)

Toko yang ditutup tahun 2017 dan Mengajukan Bangkrut (JLL)

Persentase Toko yang Mengajukan Bangkrut (JLL)

Persentase dan Tipe Toko yang ditutup tahun 2017 (JLL)

Toko yang dibuka tahun 2017 (JLL)

Jumlah dan tipe toko yang dibuka/ditutup tahun 2017 (JLL)

Data yang sama didapat dari lembaga penelitian JLL seperti grafik diatas.

Restoran yang dibuka tahun 2017 (IHL)

Restoran yang ditutup tahun 2017 (IHL)

Begitu pula dengan restoran. Meski banyak toko fisik yang ditutup, tapi jumlah yang dibuka baru tidak kalah banyak. Kehadiran GO-FOOD dianggap belum dapat menyingkirkan toko fisik restoran melainkan malah membantu penjualan. Teknologi online hanyalah suatu metode cara penjualan yang lebih canggih. Banyak yang melihat barang secara online tapi membeli secara offline contohnya baju, sepatu, tas, TV, ponsel bekas, dan lainnya, karena masih banyak konsumen yang takut barangnya rusak atau tidak sesuai harapan seperti ukuran yang tidak sesuai, warna yang berbeda, barang lecet, barang palsu/tiruan maupun pertimbangan lama dan mahalnya pengiriman barang.

Hal itu dikatakan pula oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin. Pria yang juga menjabat sebagai Corporate Affairs Director PT Sumber Alfaria Trijaya tersebut menyebutkan bahwa untuk pasar ritel ataupun grosir, penjualan lewat online sangat kecil dampaknya. “Saya kan punya (lini bisnis) online juga, Alfacart. Itu cuma nol koma sekian persen,” ungkap Solihin di Museum Nasional, 4 Oktober 2017.

Senada dengan pernyataan Solihin, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani juga berpendapat bahwa pertumbuhan perdagangan online memang bertumbuh pesat, akan tetapi tidak mencerminkan laju yang absolut.

“Nilainya cukup besar dari transaksi konvensional. Makanya perlu dilihat juga, produk yang bertumbuh itu apa saja. Kalau seperti industri makanan dan minuman nggak mungkin bertumbuh di online. Untuk online itu lebih ke yang terkait gaya hidup atau pakaian,” jelas Hariyadi pada Tirto.id via telepon pada 6 Oktober 2017 sore.

Mungkin yang harus lebih diperhatikan bukanlah munculnya teknologi online saja, tapi mulai dipakainya robot oleh beberapa perusahaan besar seperti Tao Cafe, Wal-Mart, Amazon, Nike, dan KFC Cina yang mulai memakai Alipay. Robot mulai mengambil alih pekerjaan manusia dan berpotensi menambah pengangguran.

Masalahnya kembali pada keseimbangan ekonomi yang menciptakan daya beli. Daya beli yang lesu sering dikaitkan dengan lapangan pekerjaan yang anehnya malah tergerus oleh infrastruktur.

Konsep dasar infrastruktur adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Contohnya proyek Marshall Plan yang merupakan bantuan keuangan untuk negara-negara Eropa usai Perang Dunia II melalui pembangunan infrastruktur, efektif mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Contoh lain adalah John Maynard Keynes, ekonom asal Inggris yang merekomendasikan kepada pemerintah AS untuk menggenjot pembangunan infrastruktur agar segera pulih dari depresi hebat 1929.

Dihitung pakai rumus ekonomi apa pun, seharusnya ketika infrastruktur dibangun, permintaan tenaga kerja naik, industri besi dan baja lokal maupun semen ikut terdongkrak. Anehnya
menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 menyebutkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi justru turun 230.000 orang.

Data kemiskinan per Maret 2017 justru mencatat adanya tambahan penduduk miskin sebesar 6.900 orang dan rasio Gini (rasio kesenjangan) stagnan di 0,39%. Upah riil buruh bangunan, yakni upah yang diterima buruh bangunan setelah dikurangi oleh inflasi juga menurun sebesar -1,9% di bulan Juni 2017. Hal ini disebabkan proyek infrastruktur banyak dikuasai oleh kontraktor besar. Pembangunan infrastruktur tidak membuat penduduk lokal makmur.

Konsumsi semen secara nasional periode Januari-Juni 2017 juga tercatat menurun 1,3% dari 29,4 juta ton menjadi 28,9 juta ton. Kondisi pabrik semen sekarang mengalami kelebihan kapasitas karena tidak terserap oleh pasar. Proyek infrastruktur terbukti tidak mendongkrak konsumsi semen.


Selain itu, pada Oktober 2017 tarif operasi Jalan Tol Balikpapan-Samarinda (Balsam) menuai kontroversi. Syafruddin, anggota Komisi III DPRD Kalimantan Timur mengatakan, dengan tarif terendah Rp. 1.000 dan tertinggi Rp. 3.000 per kilometer, dia yakin masyarakat akan memilih menggunakan jalan yang lama, yakni melewati Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.

Menurutnya tujuan utama dibangunnya tol Balsam adalah mempermudah masyarakat mengakses dua kota utama di Kalimantan Timur (Kaltim). Pengguna tol akan berasal dari kalangan yang terbatas, yakni orang yang mampu membayar biaya tersebut, serta orang yang dalam keadaan terpaksa untuk mengejar waktu.

Menurutnya, legislatif tak pernah diikutsertakan dalam pembahasan. "Kalau ditanya pendapat DPRD, pastinya protes," ujarnya pada 18 Oktober 2017. Politikus PKB itu meneruskan, terlalu dini bagi pemerintah membicarakan soal tarif. Terlebih, infrastrukturnya belum jadi. Sebaiknya, kata dia, memastikan proyek fisik selesai, baru bicara soal tarif. "Jangan ribut-ribut soal tarif, tapi fisik belum selesai," ujarnya.

Dia berani berkata demikian lantaran meyakini proyek multiyears contract (MYC) itu tak akan selesai tepat waktu. "Dari tinjauan lapangan, diketahui masih banyak masalah di lapangan yang belum selesai," terangnya. Tak hanya tol, dia memprediksi beberapa proyek MYC lain akan molor pengerjaannya. Dia mencontohkan, sudah ada kontraktor yang membangun salah satu proyek MYC meminta perpanjangan waktu.

Senada, anggota Komisi III DPRD Kaltim lainnya, Baharuddin Demmu, mengatakan, ketimbang berbicara tarif, lebih baik pekerjaan fisik di lapangan diselesaikan. Terutama masalah lahan. Bahkan, muncul kesangsian pekerjaan bisa selesai tepat waktu. Seperti di Seksi V (Km 13 Balikpapan-Sepinggan) yang dibiayai pinjaman lunak dari Tiongkok. "Dari panjang 11 kilometer, yang terbangun baru 100 meter," ucapnya.

Dia lalu memerincikan bila pergi-pulang melintas tol pertama di Kalimantan tersebut. Dengan kendaraan golongan I, tarif penuh 99,35 kilometer, masing-masing membayar Rp. 99.350, artinya total membayar Rp. 198.700.

Biaya itu belum termasuk ongkos bahan bakar minyak pulang dan pergi sebesar Rp. 300 ribu. "Sudah hampir Rp. 500 ribu. Naik pesawat paling Rp. 400 ribu sampai Rp. 700 ribu, 20 menit sudah sampai," katanya. "Bisa jadi, sedikit yang menggunakan tol kalau tarifnya kemahalan," sambungnya.

Sebagai perbandingan, Tol Cikopo-Palimanan yang memiliki panjang 116,75 kilometer, tarifnya untuk golongan I sebesar Rp. 96.000 dan golongan V Rp. 288.500. Sedangkan Tol Jakarta-Cikampek sepanjang 83 kilometer tarif terendah golongan I sebesar Rp. 15.000 dan golongan V Rp. 44.000.

Saat penawaran lelang investasi Tol Balsam Seksi II (Samboja-Palaran I), III (Samboja-Palaran II), dan IV (Palaran-Jembatan Mahkota II), Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hanya menetapkan tarif pertama kali operasi untuk kendaraan golongan I, yakni Rp. 1.000 per kilometer.

Adapun, golongan I, yakni sedan, jip, pikap atau truk kecil, dan bus. Penetapan tarif itu ditentukan berdasar kemampuan bayar masyarakat Kaltim yang ditarik dari dasar pokok, yakni upah minimum provinsi. Dari data yang didapat Kaltim Post menyebut, Tol Balsam yang memiliki panjang 99,35 kilometer untuk golongan I, bila ditotal, tarifnya mencapai Rp. 99.350. Sedangkan termahal adalah golongan V sebesar Rp. 298.050. Golongan V untuk truk dengan lima gandar.

Kini, setelah ketiga seksi dimenangkan Konsorsium PT Jasa Marga, PT Wijaya Karya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Bangun Tjipta Sarana, tarif hingga golongan V sudah ditentukan. Konsorsium itu membentuk anak perusahaan PT Jasa Marga Balikpapan Samarinda (JMBS).

Direktur Utama PT JMBS Arie Irianto mengatakan, berdasar PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, setiap dua tahun akan dilakukan penyesuaian tarif tol terhadap besaran inflasi atau deflasi. "Skema dalam rencana bisnis tersebut agar kelayakan investasi terjamin," ujarnya pada 17 Oktober 2017.

Apindo Kaltim memberi pandangan mengenai tarif yang telah ditetapkan tersebut. Melalui ketuanya, Slamet Brotosiswoyo, menuturkan, dari segi waktu, adanya jalan tol tersebut memang akan memberi dampak efisiensi. "Nah, tarif tol itu yang masih menjadi hal yang mengganjal," terangnya.

Dia berpendapat, sebaiknya pemerintah mengevaluasi mengenai tarif tersebut. Sebab, lagi-lagi yang terkena dampak adalah masyarakat. Dia khawatir, masyarakat dan pengusaha lebih memilih jalur lama (lewat Bukit Soeharto) karena lebih murah. Dari kacamata pengusaha, terang dia, lebih lama sejam bakal lebih baik dibanding mesti mengeluarkan biaya tiga kali lipat.

Hingga 31 Agustus 2017 Jokowi sudah mengeluarkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi untuk menumbuhkan ekonomi tapi tidak berdampak besar. 16 Paket itu adalah:
Paket I: daya saing industri nasional, PSN, investasi properti
Paket II: perizinan investasi, tax holiday
Paket III: tarif listrik
Paket IV: kesejahteraan pekerja
Paket V: revaluasi aset, pajak berganda, dan bank syariah
Paket VI: kawasan ekonomi khusus
Paket VII: industri padat karya
Paket VIII: satu peta, kilang minyak, bea suku cadang pesawat
Paket IX: infrastruktur ketenagakelistrikan, stabilisasi harga daging
Paket X: UMKM
Paket XI: kredit usaha, farmasi
Paket XII: kemudahan berusaha di Indonesia
Paket XIII: rumah murah
Paket XIV: e-commerce
Paket XV: usaha dan daya saing penyedia logistik
Paket XVI: percepatan izin usaha

Paket ke-16 dikeluarkan karena kenyataan di lapangan, izin usaha masih rumit. Dalam sebuah diskusi di Bandung, Jawa Barat, 30 September 2017, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian, Edy Putra Irawady mengatakan, "Dari survey yang dilakukan kantor Menteri Ekonomi kebanyakan masalah pelayanan," kata Edy.

Meski ada layanan investasi 3 jam, lanjut Edy, ternyata belum cukup membuat pemodal gampang dalam memperoleh kemudahan investasi. Lantaran, pelayanan dan informasi yang kurang jelas. "Investor sudah datang ke layanan 3 jam, tapi dia disuruh ke ESDM lah, kementerian lain lain, izin sana izin sini, jadinya muter-muter," kata Edy.

Alhasil, kata Edy, banyak dari investor yang mengadu ke kantornya untuk meminta penjelasan terkait proses investasinya. "Kantor kita itu kaya loket, udah banyak yang menanyakan," kata Edy. Dengan situasi ini, kata anak buah Menteri Ekonomi Darmin Nasution ini banyak investor yang mengurungkan niatnya berinvestasi di dalam negeri, sehingga ada potential lost investasi yang hilang. "Yah potential lost, PMA (Penyertaan Modal Asing) itu hilang 63% sementara untuk PMDN (Penyertaan Modal Dalam Negeri) itu hilang 69%. Karena pelayanan yang kurang baik. Ini yang sekarang kita terus benahi," kata Edy.

Kekhawatiran utama ekonomi sekarang adalah utang SBN terletak pada waktu yang relatif singkat, suku bunga tinggi, infrastruktur yang mengandalkan utang sangat besar dan dikhawatirkan tidak semuanya memberi benefit instan sehingga berisiko gagal bayar seperti Yunani.

Dalam perayaan Hari Oeang ke-71 tahun di Aula Dhanapala Kemenkeu, Jakarta Pusat, 24 Oktober 2017, Sri Mulyani menjelaskan bahwa hasil dari infrastruktur baru bisa dirasakan minimal dalam jangka waktu 5 tahun, bahkan biasanya baru terasa 10-30 tahun. Tentu saja pernyataan itu semakin membuat publik khawatir mengenai keadaan ekonomi. Semakin lesunya ekonomi membuat deposan mengamankan investasi di deposito kendati bunga rendah.

Dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai Agustus 2017 pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan menanjak 9,59% menjadi Rp. 5.052 trilyun dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu. Bila dibandingkan dengan akhir tahun lalu, pertumbuhan DPK sudah naik 4,46%.

Persentase pertumbuhan DPK itu pun sudah melampaui kenaikan kredit yang naik 8,25% menjadi Rp. 4.448 trilyun dibandingkan dengan Agustus 2016. Jika dibandingkan dengan Desember 2016, pertumbuhan kredit baru naik 2,54%.

Untuk instrumen DPK yang mencatatkan kenaikan paling tinggi adalah deposito sebesar 10,84% secara year on year (YoY) atau 9,04% secara year to date (YtD). Tren pertumbuhan deposito itu jauh lebih tinggi ketimbang giro dan tabungan. Giro hanya mencatatkan kenaikan 8,6% secara YoY atau naik 2,46% secara YtD. Malah, untuk instrumen tabungan mencatatkan pertumbuhan 8,4% secara YoY, tetapi turun 0,47% secara YtD.

Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP, Parwati Surjaudaja mengatakan, selaras dengan data industri, perseroan pun mencatat pertumbuhan DPK juga lebih tinggi ketimbang kredit. Parwati menuturkan, bagi perseroan pun saat ini sedang tidak memiliki kebutuhan DPK dalam jumlah besar juga. "Kami pun secara berangsur-angsur akan turunkan suku bunga dana dan selanjutnya turut turunkan bunga kredit," tuturnya.

Selaras dengan Parwati, Presiden Direktur PT Bank Central Asia, Jahja Setiaatmadja mengatakan, saat ini perseroan pun ingin pertumbuhan DPK tidak terlalu melejit. "Soalnya, saat ini jumlah DPK sudah lebih dari cukup. Untuk itu, kami pun usahakan juga dengan menurunkan bunga deposito secara bertahap," ujarnya.

Pendorongnya antara lain, tingkat bunga DPK yang masih menarik bagi para deposan dan peningkatan pelayanan jasa bank. Padahal, kalau dilihat data OJK sampai Agustus 2017, suku bunga deposito semua tenor rata-rata sudah turun ke level 6% atau lebih rendah dibandingkan Agustus 2016 yang masih berada pada level 7%.

Mengenai masalah Gross Domestic Product (GDP), pada 2 Maret 2012, 25 dari 27 negara Uni Eropa menandatangani perjanjian disiplin fiskal agar tidak ada negara Uni Eropa yang defisit anggarannya lebih dari 3% dari GDP. Hanya Britania Raya dan Republik Ceko yang menolak. Sebenarnya hal itu bukan hal baru karena pada 7 Februari 1992 peraturan yang sama sudah disepakati oleh Uni Eropa lewat Perjanjian Maastricht yang kelak melahirkan mata uang Euro. Pada 1 Januari 1999 28 negara Uni Eropa menyepakati perjanjian Stability and Growth Pact (SGP).

Beberapa negara melanggar perjanjian itu, termasuk Yunani yang sebenarnya tidak memenuhi syarat bergabung dengan Euro. Yunani merekayasa laporan keuangan yang sebenarnya defisit 8,3% menjadi 1,5% sehingga diterima bergabung pada 1 Januari 2001. Tidak hanya itu, negara-negara Uni Eropa juga tidak boleh memiliki utang total melebihi 60% dari GDP. Prancis dan Jerman melanggar perjanjian itu dengan meminta kelonggaran peraturan pada Maret 2005. Jerman masih butuh dana besar untuk menutupi kekurangan dana akibat bergabung dengan Jerman Timur.

Pada 22 Februari 2017 Jokowi mengatakan, "Pertumbuhan ekonomi kita itu nomor ketiga tertinggi di dunia," saat memberikan sambutan di acara pelantikan pengurus Partai Hanura di Gedung Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat. Hal itu berdasar laporan keuangan yang menyatakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% selama tahun 2016 dibawah India 7% dan Cina 6,7%.

Pernyataan ini mengulang apa yang pernah ia sampaikan pada 13 November 2016, "Kita termasuk ketiga tertinggi dunia, setelah China, India, dan kita," ujarnya dalam sambutan silaturahmi dengan peserta Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Amanat Nasional (PAN) di Hotel Bidakara Pancoran Jakarta Selatan, seperti dikutip Antara.

Pernyataan itu membuat jurnalis sekaligus analis ekonomi Jake Van der Kamp mencari tahu. Dari hasil penelitiannya, ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sebaik seperti yang diungkapkan oleh Jokowi.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan yang ketiga di dunia, setelah India dan China," kata Presiden RI Joko Widodo. Ketiga di dunia, benarkah itu? Dunia yang mana?" kata Jake.

Khusus untuk wilayah Asia dia menghitung 13 negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dibandingkan Indonesia yang hanya 5,02%. Antara lain India (7,5), Laos (7,4), Myanmar (7,3), Kamboja (7,2), Bangladesh (7,1), Filipina (6,9), China (6,7) Vietnam (6,2), Pakistan (5,7), Mongolia (5,5), Palau (5,5), Timor Leste (5,5) dan Papua Nugini (5,4).

"Tentunya Indonesia merupakan negara padat dengan 261 juta rakyatnya. Kami tidak bisa benar-benar membandingkannya dengan Timor atau Palau. Jadi mari kita tarik garis di angka 200 juta orang atau lebih," lanjutnya.

Dengan begitu hanya ada enam negara di dunia, khususnya untuk pertumbuhan ekonomi, Indonesia berada di posisi paling bawah dari keenamnya jauh di belakang India, China dan Pakistan. Coba potong lagi jadi 100 juta orang atau lebih maka anda tidak akan menemukannya. Terbawah lagi.

Jake meminta Jokowi tak mengumbar fakta yang salah. Dia menemukan, layaknya banyak politikus seluruh dunia, angka Produk Domestik Bruto (PDB / GDP) selalu dipakai untuk mengungkap pencapaian terbaik mereka, padahal belum tentu.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi tidak bisa dibandingkan dengan GDP dan tidak tepat untuk menjadikannya sejajar. "Analogi terbaik adalah dengan sebuah mobil dengan transmisi manual tiga kecepatan. Dalam istilah pertumbuhan GDP, terdapat tiga tujuan praktis (1) 0-4%, (2) 4-8% dan (3) kemungkinan omong kosong. Jangan tanya jika berjalan mundur."

GDP selama ini dijadikan usaha atau alat untuk menandingi perusahaan dunia dan melihat perputaran uang dalam suatu kinerja. Namun, fokus pada GDP menyebabkan beberapa hal tidak teraudit, GDP tidak menunjukkan neraca perusahaan berimbang atau keuntungan dan kerugian serta tidak ada catatan atas itu, yang didapat adalah sebagian pernyataan arus kas.

"Jika perusahaan membeli mobil yang diharapkan dapat terpakai selama lima tahun, itu akan mengurangi seperlima biaya mobil dari keuntungan dan kekayaan bersihnya setiap tahun. Dengan GDP, anda bisa berpura-pura kendaraan itu terus baru selamanya."

GDP selama ini juga menjadi trik yang dipakai akuntan perusahaan. Di mana angka GDP dipisahkan dari setiap komponen lalu disesuaikan dengan inflasi, sehingga bisa menunjukkan kadar pertumbuhan ekonomi. "Bekerja setiap waktu. Anda tahu itu. Cukup cek angka GDP terakhir dan anda akan melihat mereka memiliki kadar pertumbuhan sebenarnya dalam dua angka desimal; 5,02% untuk Indonesia."

Menyadari kesalahan itu, Sri Mulyani dan beberapa pejabat lain mengoreksi Jake dengan menjelaskan bahwa Jake tidak hadir saat Jokowi menjelaskan hal itu. Ekonomi Indonesia terbaik ketiga diantara negara G-20 setelah India dan China, bukan terbaik ketiga di dunia.

Karena hal-hal inilah, dicurigai adanya kegiatan intelijen ekonomi yang bertujuan menjajah perekonomian Indonesia seperti yang pernah diungkapkan oleh John Perkins pada buku yang ia tulis tahun 2004: Confession Of An Economic Hit Man. Dalam buku tersebut, Perkins membongkar semua kegiatan yang dilakukannya selama menjadi agen Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (National Security Agency / NSA). Indonesia pernah kena perangkap IMF tahun 1998 dan tentunya harus diwaspadai agar tidak terulang lagi karena per Juli 2017 utang Indonesia pada World Bank mencapai 238,49 trilyun. IMF dan World Bank memiliki tujuan yang sama dan terbukti membuat perekonomian banyak negara di dunia hancur.


Dalam tugas pertamanya, John Perkins memproyeksikan kebutuhan listrik di Pulau Jawa, yang digelembungkan lebih dari dua kali lipat. Konsekuensinya, investasi yang harus dilakukan oleh Perusahaan Listrik Negara membengkak, sedangkan pembiayaannya melalui pinjaman luar negeri.

Kala itu, pada 1971, Perkins memanipulasi data statistik, kemudian membantu Perusahaan Listrik Negara (PLN) membuat ramalan kebutuhan listrik dengan daya yang “over-optimistic”. Hal itu dilakukan untuk membuat Indonesia terjebak dalam perangkap utang, agar kebijakan ekonominya mudah dikendalikan oleh negara adikuasa.

Tak hanya itu, kontraktor proyeknya pun merupakan perusahaan multinasional yang sudah ditunjuk. Tentu sebagai bagian dari syarat peminjaman biaya. Inilah tugas Perkins sebagai perusak ekonomi atau economic hit man. Globalisasi dan mengejar pertumbuhan ekonomi menjadi kata kunci. Perkins dan jaringannya pun membuat estimasi optimis tentang perekonomian sebuah negara.

Sarana mereka adalah rekayasa laporan keuangan yang menyesatkan, praktek penyuapan, dan sederet tindakan amoral lainnya. Lembaga-lembaga riset bertaraf internasional dilibatkan. Harapannya, negara target setuju melakukan pinjaman besar-besaran, yang ujung-ujungnya tidak mampu untuk membayar kembali utangnya.

“Faktor yang paling menentukan adalah PDB. Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB,” ungkapnya.

Perkins dan timnya bekerja membawa agenda koalisi bisnis dan politik, antara pemerintah AS, dunia perbankan, dan korporasi besar - yang disebutnya korporatokrasi. Operasi intelijen ekonomi ini berlangsung bertahun-tahun, hingga meledak tahun 1998. Saat aksi spekulan memicu krismon, nilai mata uang rupiah ambruk, pembayaran utang dan bunganya otomatis meningkat berkali-kali lipat. APBN pun rontok seketika.

Mau tidak mau Indonesia harus berutang lebih besar lagi untuk menyembuhkan sakit kerasnya. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund / IMF) siap memberikan bantuan, tentu dengan segudang syarat.

Sejak awal penerbitannya, buku ini langsung menuai kontroversi. Banyak yang menentangnya, terutama pemerintah AS, lembaga-lembaga keuangan internasional, perusahaan multinasional serta media-media pendukungnya. Boleh percaya, boleh juga tidak, karena memang penuturannya sangat subjektif.

Namun, pakar ekonomi Kwik Kian Gie mengakui adanya kegiatan intelijen ekonomi - semacam yang dilakukan John Perkins. Kwik menceritakannya dalam beberapa buku yang ia tulis, salah satunya "Indonesia Menggugat" tahun 2009.

Bahkan menurut Kwik, dalam bukunya "Menggugat Mafia Barkeley" tahun 2005, yang paling mencelakakan adalah ketika menteri dan pejabat publik sudah menjadi bagian dari ekonom perusak. Fasilitas khusus tanpa alasan yang jelas bisa diberikan. Termasuk penurunan tarif bea masuk barang impor kepada pihak tertentu agar bisa mematikan usaha pesaingnya.

Kini istilah ekonom perusak muncul kembali dari mulut Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Budi Gunawan. Dia mengakui bahwa sekarang sedang berlangsung operasi intelijen ekonomi yang bertujuan menggoyang Indonesia. Menurut Budi, instrumennya adalah perang mata uang (currency war) dua raksasa ekonomi, antara China dengan Yuan-nya versus AS dengan Dolar-nya.

"Currency war (dimanfaatkan) untuk melemahkan mata uang kita," kata Budi di acara Halaqah Nasional Alim Ulama se-Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, 13 Juli 2017. Perang dagang dan perang mata uang itu memang bukan perang Indonesia. Namun beberapa ekonom percaya bahwa itu sifatnya akan destruktif ke semua negara, termasuk Indonesia. Saat kerusakan itu mencapai puncak, Indonesia bisa menjadi sasaran empuk - kembali di bawah ketiak kreditur, lantas mudah diatur. "Operasi economic hit man," kata Budi.

Intervensi para perusak ekonomi bisa samar bahkan nyaris tak terlihat. Ini pula yang diutarakan John Perkins dan diamini Kwik Kian Gie. Instrumen intervensinya bisa pendekatan World to Government; oleh IMF atau World Bank dengan alasan globalisasi. Business to Government; dengan alasan membuka iklim investasi, dan Intelectual to Government; melalui konsultan, akademisi dan pakar yang memberikan prediksi bahwa kondisi fiskal negara bisa lebih sehat, misalnya dengan privatisasi BUMN-BUMN, dll.

Perkins mengatakan bahwa dirinya kerap mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya, pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat untuk rakyatnya.

"Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi,” tulis John. Kondisi inilah yang sekarang sedang dikritisi sebagian kalangan ekonomi di Indonesia. PDB tumbuh, namun daya beli menurun, termasuk sektor manufakturnya yang tak tumbuh.

Belum selesai masalah itu, Indonesia punya masalah baru: listrik. Sri Mulyani menyurati Menteri ESDM, Ignasius Jonan dan Menteri BUMN, Rini Soemarno, soal utang PLN. Dalam suratnya itu, Sri Mulyani khawatir kondisi keuangan PLN akibat kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman. PLN dibebani investasi proyek listrik 35.000 megawatt (MW) dari pemerintah. Rizal Ramli pernah memperingatkan hal yang sama saat menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya di Kabinet Kerja Presiden Jokowi tahun 2015 lalu.

Menurut Rizal, berdasarkan hitungannya dalam 5 tahun ke depan, Indonesia hanya butuh pembangkit listrik dengan kapasitas total 16.000 MW, bukan 35.000 MW. Kelebihan 21.000 MW yang dibangun swasta atau Independent Power Producer (IPP), PLN tetap wajib membayar biaya listrik ke perusahaan swasta berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik atau Power Purchase Agreement (PPA), antara PLN dengan IPP. Dipakai tidak dipakai, listrik PLN tetap wajib bayar ke perusahaan swasta.

"Maka PLN harus bayar 72% listrik dari listrik yang tidak terpakai," kata Rizal. PLN telah menghitung perkiraan listrik yang akan dibayarkan dari 72% atau 21.000 MW yang tidak terpakai mencapai 10,763 milyar Dolar AS per tahun atau sekitar Rp. 150,6 trilyun. Kekhawatiran itu akibat besarnya kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang tidak didukung oleh pertumbuhan kas bersih operasi. Ada potensi terjadinya gagal bayar.

Rencana membebankan tagihan ini kepada rakyat dengan menaikkan listrik tidak terlaksana karena surat itu telah bocor ke publik. Jokowi tentu tidak ingin popularitasnya turun dengan membuat kebijakan tidak populer menjelang Pilpres 2019.

Karena itu pula BBM kembali disubsidi, sebuah kebijakan populer. Padahal Jokowi memprioritaskan program yang lebih produktif ketimbang yang kurang produktif. Hal ini bertentangan dengan komitmen yang digembar-gemborkan sejak awal yaitu menghilangkan subsidi premium yang dianggap sebagai anggaran yang kurang produktif. Berdasar data BPH Migas, rata-rata harga keekonomian premium pada Januari 2017 adalah Rp 7.371,5 per liter, sementara harga premium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 6.450 per liter.

Lesunya perekonomian dan turunnya daya beli membuat pemerintah mensubsidi premium karena jika harga premium dinaikkan, maka akan memicu inflasi dan kontraksi pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat juga akan terpukul. Bahkan berdasarkan RAPBN 2018, subsidi BBM akan ditingkatkan lagi menjadi Rp. 51,1 trilyun dari sebelumnya Rp. 44,5 trilyun tahun 2017 dan Rp. 43,7 trilyun tahun 2016.


Sedangkan masalah utang ke IMF, Jokowi pernah dianggap menyatakan Indonesia masih berutang ke IMF dan SBY menjawab utang ke IMF sudah lunas sejak 2006. IMF pun angkat suara melalui Kepala Kantor Perwakilan IMF untuk Indonesia, Benedict Bingham pada 29 April 2015. Bingham menyatakan saat itu Indonesia tak memiliki kewajiban apapun kepada lembaga itu selain dana iuran wajib (special drawing rights / SDR) yang disetorkan ke seluruh anggota IMF. Saat itu Indonesia memiliki dana iuran sebesar 2,8 milyar Dolar AS.

"Selama tidak digunakan, SDR itu sebagai aset luar negeri Bank Indonesia. Jadi saat SDR dialokasikan, tidak ada hubungannya dengan utang anggota kepada IMF. Indonesia sudah bersih dari utang," kata Bingham.


Hingga 30 September 2017 Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) defisit 2,92%, sebuah sinyal bahwa ekonomi negara sedang dalam kondisi mencemaskan. Hal ini dikatakan langsung oleh Sri Mulyani pada 1 Agustus 2017 di kantor Tempo, bahwa batas defisit APBN 3% merupakan rumusan populer di dunia. APBN-P merupakan revisi dari APBN sebelumnya.


Perlu diingat pada tahun 2015, pemerintah menargetkan defisit hanya sebesar 1,9%, tetapi realisasinya mencapai 2,8%. Pada 2012 penerimaan pajak masih tumbuh 12,2%, kemudian menurun tahun 2013 jadi 9,9% dan 2014 menjadi 6,4%. Meski sempat tumbuh 8,1% pada 2015, pertumbuhan pajak tahun 2016 hanya 3,1%.


Januari-September 2017 realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp. 770,7 trilyun atau 60% dari target penerimaan pajak 2017 Rp. 1.283,6 trilyun. Masih ada Rp. 513 trilyun yang harus didapat hingga akhir tahun. Ditjen Pajak terkesan panik karena selain memungut pajak dari emas batangan ANTAM, segera membuat aturan pajak untuk e-commerce dan medsos, menaikkan cukai rokok 10%, hingga membuat selebaran karikatur "Yesus juga bayar pajak".

Kemampuan perbankan untuk melakukan pembiayaan infrastruktur sangat terbatas. Dari data Bank Dunia tahun 2015, pembiayaan dari sektor perbankan di Indonesia hanya mencapai 46,7% dari PDB, jauh jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah melebihi 100% dari PDB.

Pemerintah sering membandingkan rasio utang negara terhadap PDB dengan Jepang yang sudah mencapai 227% tapi tidak menjelaskan bahwa utang Jepang berbeda karena memiliki ciri yang berlawanan dengan Indonesia:

1. Utangnya kepada rakyatnya sendiri dan kepada Bank Sentral Jepang dengan rasio masing-masing sekitar 50%.
2. Utangnya dalam mata uangnya sendiri yaitu Yen.
3. Bunganya sangat rendah hanya sedikit diatas 1%. Bandingkan dengan bunga utang Indonesia yang tertinggi di Asia dan bahkan sebagiannya masih 2 digit.
4. Kredit rating jepang A+ alias sementara rating Indonesia BBB.
5. Meskipun utang Jepang tinggi tetapi dari kaca mata riil ekonomi Jepang mempunyai Net International Investment Positions (NIIP) pada akhir tahun 2016 senilai 349.112 milyar Yen atau sekitar 2,8 trilyun Dolar AS yang berarti memiliki net external assets positif alias bangsa kreditor. Sedangkan NIIP Indonesia pada akhir tahun 2016 mencapai minus 333,782 milyar Dolar AS yang berarti memiliki net external liabilities alias bangsa debitur. NIIP Indonesia akhir tahun 2017 mencapai -340,688 milyar Dolar AS.

Selain tidak membandingkan tax ratio dengan negara lain, pemerintah juga tidak membandingkan debt service ratio Indonesia yang mencapai 40% alias yang tertinggi di Asia Tenggara, dimana batas amannya adalah 25%.

Sementara itu sekitar 41% utang negara berbentuk valas. Dengan average time to maturity 9 tahun dan jatuh tempo 5 tahun sebesar 40% nya, akan menjadi beban berat APBN dalam 5 tahun kedepan.

Kekhawatiran lain adalah membengkaknya utang pemerintah karena kurs Rupiah yang cenderung melemah sehingga diperlukan uang dari pendapatan pajak yang lebih banyak lagi untuk pembayaran utang dalam valas. Kekhawatiran lebih lanjut adalah keterbatasan valas untuk membayar utang dalam mata uang asing mengingat 5 hal:

1. Neraca perdagangan yang cenderung defisit dalam 3 bulan terakhir ini yaitu dari Desember 2017 sampai dengan Februari 2018 mengalami defisit total 1,1 milyar Dolar AS atau rata-rata defisit perbulan 364 juta Dolar AS.
2. Kenaikan cadangan devisa yang bersumber dari utang luar negeri dan uang panas yang sewaktu-waktu mudah ditarik keluar negeri.
3. Tax ratio yang rendah tetapi cenderung menurun yang mengindikasikan kedepan kemampuan pemerintah akan menurun dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.
4. Sektor industri yang merupakan penyumbang pajak sebesar 31% cenderung menciut karena terjadinya de-industrialisasi yaitu dari 28% (1997) menjadi 20% PDB (2017).
5. Kenaikan anggaran 2018 untuk subsidi seperti listrik dan BBM yang akan membebani ekstra APBN karena Jokowi ingin menjaga dukungan politik rakyat dalam menghadapi pemilu 2019.

Dengan memperhatikan berbagai variabel yang berkaitan dengan kemampuan membayar kembali utang plus bunganya, utang pemerintah memang mencemaskan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target dan perdagangan yang lesu, pihak swasta pun mulai merasakan kesulitan membayar utangnya. Kredit bermasalah di bank-bank cenderung meningkat dan restrukturisasi utang kabarnya semakin banyak untuk mengurangi status kredit macet.

Perlu diingat krisis ekonomi 1997 bermula dari ketakutan pasar bahwa swasta Indonesia akan kesulitan membayar utang-utangnya terutama utang dalam valas. Ketakutan ini mengawali melemahnya kurs rupiah. Padahal saat itu kondisi keuangan negara amat bagus dan indikator ekonomi makro pada umumnya bagus termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca perdagangan yang surplus dan cadangan devisa yang memadai. Bahkan saat itu berkali-kali pemerintah menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat.


Pemerintah telah menetapkan 245 proyek infrastruktur dan 2 program yang dikerjakan sejak 2015 memiliki estimasi total nilai investasi Rp. 4.197 trilyun. Sebanyak 13 proyek (Rp. 444 trilyun) berada di Maluku dan Papua, 27 proyek (Rp. 155 trilyun) di Sulawesi, 15 proyek (Rp. 11 trilyun) di Bali dan Nusa Tenggara, 93 proyek (Rp. 1.065 trilyun) di Jawa, dan 66 proyek (Rp. 884 trilyun) di Sumatera.

Progres per Juli 2017 yang telah selesai sebanyak 5 proyek, tahap kontruksi 130 proyek, proses pengadaan 12 proyek dan yang sedang dalam persiapan 100 proyek. 

UTANG DAN RASIO UTANG INDONESIA
Soekarno meninggalkan utang 6,3 milyar Dolar AS dengan rincian 4 milyar Dolar AS warisan Hindia Belanda dan 2,3 milyar Dolar AS utang baru. Tahun 1967 Soeharto menjadi Presiden ke-2 pada 12 Maret 1967.

Mei 1998: Rp. 551,4 trilyun (68,7 milyar Dolar AS). Rasio utang 57,7% dari PDB.

B. J. Habibie jadi Presiden ke-3 pada 21 Mei 1998
1999: Rp. 938,8 trilyun (132,2 milyar Dolar AS). Rasio utang 85,4% dari PDB.

Gus Dur jadi Presiden ke-4 pada 20 Oktober 1999
2000: Rp. 1.232,8 trilyun (129,3 milyar Dolar AS). Rasio utang 88,7% dari PDB.
2001: Rp. 1.271,4 trilyun (122,3 milyar Dolar AS). Rasio utang 77,2% dari PDB.

Megawati jadi Presiden ke-5 pada 23 Juli 2001
2002: Rp. 1.223,7 trilyun (136,9 milyar Dolar AS). Rasio utang 67,2% dari PDB.
2003: Rp. 1.230,6 trilyun (145,4 milyar Dolar AS). Rasio utang 61,1% dari PDB.
2004: Rp. 1.298 trilyun (139,7 milyar Dolar AS). Rasio utang 56,5% dari PDB.

SBY jadi Presiden ke-6 pada 20 Oktober 2004
2005: Rp. 1.311,7 trilyun (133,4 milyar Dolar AS). Rasio utang 47,3% dari PDB.
2006: Rp. 1.302,2 trilyun (144,4 milyar Dolar AS). Rasio utang 39% dari PDB.
2007: Rp. 1.389,4 trilyun (147,5 milyar Dolar AS). Rasio utang 35,2% dari PDB.
2008: Rp. 1.636,7 trilyun (149,5 milyar Dolar AS). Rasio utang 33% dari PDB.
2009: Rp. 1.590,7 trilyun (169,2 milyar Dolar AS). Rasio utang 28,3% dari PDB.
2010: Rp. 1.681,7 trilyun (187 milyar Dolar AS). Rasio utang 24,5% dari PDB.
2011: Rp. 1.809 trilyun (199,5 milyar Dolar AS). Rasio utang 23,1% dari PDB.
2012: Rp. 1.977,7 trilyun (204,5 milyar Dolar AS). Rasio utang 23% dari PDB.
2013: Rp. 2.375,5 trilyun (194,9 milyar Dolar AS). Rasio utang 24,9% dari PDB.
2014: Rp. 2.608,8 trilyun (209,7 milyar Dolar AS). Rasio utang 24,7% dari PDB.

Jokowi jadi Presiden ke-7 pada 20 Oktober 2014
2015: Rp. 3.165,2 trilyun. Rasio utang 26,9% dari PDB.
2016: Rp. 3.515,5 trilyun. Rasio utang 27,9% dari PDB.
2017: Rp. 3.995,1 trilyun. Rasio utang 28,7% dari PDB.
akhir Juni 2018: Rp. 4.253 trilyun. Rasio utang 29,74% dari PDB.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.