Kevin Mintaraga

Kevin Mintaraga
lahir 19 Januari 1985

istri: Nastassya Saputra

PENGHARGAAN
-Wira Muda Kreatif Indonesia 2012
-Finalis International Young Creative Entrepreneur 2010
-Finalis International Young Creative Entrepreneur 2012
-Entrepreneur of The Year 2013 dari Ernst and Young’s

GOSIPNYA
Terlahir dari keluarga kaya, sejak kecil Kevin tidak pernah masuk ranking 10 besar di sekolah. Ketika kelas 2 SMA ia langsung masuk kuliah sehingga tidak punya ijazah SMA karena terus bermain Counter Strike. Kegiatannya ini ia teruskan di saat kuliah computer science di Australia. Ia memenangi banyak kompetisi nasional maupun internasional saat kuliah.

Tahun 2006 ayahnya sakit jadi ia harus berhenti kuliah. Ia baru sadar ia bukan menjadi programmer tapi malah menjadi pro-gamer. Saat mencari berbagai referensi bisnis, tahun 2007 ia membaca buku berjudul: Blue Ocean Strategy: How to Create Uncontested Market Space and Make Competition Irrelevant. Blue ocean adalah pasar tanpa kompetisi sedangkan red ocean adalah pasar kompetisi seperti pasar umumnya sekarang.

Ketika itu temannya yang bekerja sebagai marketing manager di Nokia bertanya padanya apakah ia mengerti internet marketing karena temannya harus membelanjakan 5% anggaran iklannya tahun 2008 dalam bentuk digital. GOSIPNYA anggarannya saat itu adalah 50 juta Euro.

Ia lalu menemukan data bahwa total belanja media tahun 2008 adalah 45 trilyun Rupiah dimana pengeluaran iklan digitalnya hanya 200 milyar alias 0,4%. Suatu jumlah yang sangat kecil dibandingkan Amerika Serikat yang sudah mencapai 15%, Korea Selatan 19%, Jepang 12%, maupun Tiongkok 10%. Sebagai mantan gamer, ia sangat paham tentang kecepatan koneksi internet yang disediakan provider dan ia melihat mereka akan segera berinvestasi besar pada layanan data internet. Ia memprediksi pengeluaran iklan digital Indonesia akan naik dari 0,4% jadi 5% pada tahun 2013.

Ia segera menyadari pasar blue ocean yang akan ia jalani dan mempelajari digital marketing dari Wikipedia. Setelah seminggu belajar, ia tahu bahwa ia butuh tim yang terdiri dari programmer, designer dan project manager, sedangkan ia menjadi pemimpinnya. Ia lalu bekerjasama dengan Octodesign Interactive milik Bernhard Soebiakto dan mendirikan Magnivate yang terdiri dari 6 orang.

Ia mengincar anggaran 5% milik Nokia. Ia memulainya dengan sebuah visi, mengerjakan rencananya, dan banyak bertanya untuk mendapat nasihat. Menurutnya visi sangat penting, karena jika pendirinya tidak punya visi yang jelas tentang perusahaan, kebanyakan karyawan hanya bekerja untuk uang dan pindah ketika mendapat tawaran yang lebih baik dari perusahaan lain.

Menurutnya tujuan mendirikan perusahaan ada 3:
-Untuk dijadikan perusahaan dividen
-Untuk dijual ke perusahaan lain
-Untuk initial public offering (IPO)

Sejak awal ia merancang agar bisa diakuisisi oleh investor. Karena Magnivate adalah perusahaan baru, maka tim tidak memiliki apa-apa untuk dipamerkan kepada calon pelanggan yang potensial. Strateginya adalah mencari peluang dari berbagai merek mapan di Indonesia, jadi ia membutuhkan sesuatu untuk ditunjukkan kepada klien potensial, sekaligus untuk membangun portfolio secepatnya. Jadi mereka butuh situs yang menarik. Ia tahu bahwa itulah satu-satunya hal yang dapat digunakan oleh klien dan partner potensial untuk menilai Magnivate.

Ia memutuskan untuk menjaring koneksi dan pergi ke ad:tech conference di Singapura pada 26 Juni 2008. Ia memilih ad:tech dibanding Echelon karena lebih banyak digital agency, publisher, dan teknologi baru disana, sedangkan Echelon lebih banyak startup.

Sebelum pergi kesana, ia membuat daftar 100 orang potensial dari 1000 hadirin. Ia memperkenalkan dirinya dan berhasil menemui 52 orang dari daftarnya, dimana salah satunya adalah Paul Soon, CEO XM Asia Pacific. Setelah pulang, ia mengirimi mereka e-mail dan ternyata dibalas oleh Paul. Paul memberinya tawaran bisnis untuk membuat sebuah situs kecil seharga 5 juta Rupiah (GOSIPNYA untuk HSBC dan Hewlett Packard). Ia tidak berpikir mengambil untung besar karena membuatnya untuk memperbanyak portofolio.

Setelah mengerjakan banyak proyek kecil, ia mendatangi temannya di Nokia dan membuahkan hasil. Magnivate ditunjuk menjadi agen pemasaran digital Nokia. Setelah resmi bekerjasama dengan Nokia, Magnivate mendadak dicari dan dipakai oleh banyak perusahaan besar seperti Unilever, XL Axiata, Singapore Tourism Board, Nestle, Frisian Flag, Pocari Sweat dan Johnson & Johnson.

Magnivate bisa begitu cepat tumbuh karena dibangun untuk memfasilitasi other people’s passion. Setiap calon karyawan diwawancara dengan detil oleh Kevin. Ia ingin memastikan deskripsi pekerjaan mereka sejalan dengan passion mereka. Ia menempatkan ID unik di meja tiap orang yang berisi tes DISC sehingga ia bisa menyatukan mereka berdasar karakter.

Menurutnya banyak orang mengetahui hobi mereka tapi tidak tahu apa passion mereka. Hobi adalah hal yang disenangi seseorang dan dikerjakan tanpa paksaan tapi tidak berdampak pada orang sekitar mereka. Passion mirip dengan hobi tapi membawa dampak pada orang sekitar mereka. Setelah orang menemukan passion, mereka dapat mencapai tahap tertinggi yaitu holy discontent. Pada tahap ini orang merasa melakukan passion mereka sebagai panggilan hidup dan lebih mengutamakan memecahkan masalah yang dapat membantu lebih banyak orang sehingga berdampak sangat besar.

Tahun 2011 Magnivate melaksanakan pelatihan 3A: Aware, Accept, Adaptation. Pelatihan ini membuat orang mengerti dirinya sendiri maupun orang lain sehingga menciptakan suasana harmonis di kantor. Contohnya, orang yang tadinya kesal dengan karakter seseorang dapat memaklumi setelah melihat tes DISC yang tertera di tiap meja kerja.

Ia ingin memastikan orang-orang di dalam perusahaannya bahagia agar dapat membuat klien mereka bahagia. Karena itulah Magnivate sering mengadakan acara liburan ke luar negeri untuk merayakan bertumbuhnya perusahaan bersama-sama.

Dengan mengimplementasikan cara ini, Magnivate bertumbuh sangat cepat dari 6 orang di 2008 menjadi 100 orang di 2011 dan 140 orang di 2012. Keberhasilan Magnivate selama 4 tahun sejak berdiri membuatnya diakuisisi oleh XM Asia Pacific pada Maret 2012. Nama Magnivate pun berganti menjadi XM Gravity. XM Asia Pacific adalah anak perusahaan WPP, salah satu perusahaan digital marketing terbesar dunia asal Inggris. Ketika diakuisisi, laporan keuangan tahun 2011 menyebutkan pendapatan tahunan Magnivate mencapai 1,6 juta Dolar AS.

Untuk menanyakan kondisi kebahagiaan para karyawan menghabiskan waktu cukup lama. Menyadari hal ini, dibuatlah aplikasi bernama XM Gravity Happiness App. Semua karyawan dapat melihat skor kebahagiaan mereka di aplikasi ini. Selain menjalankan XM Gravity, ia juga mendedikasikan sebagian waktunya untuk berbicara dan memberikan pelatihan di berbagai event startup.

Megain Widjaja

Natali Ardianto

Nuniek Tirta Ardianto

Pada 17 Mei 2011 partner Kevin di Jardin Tech yang juga cucu konglomerat Eka Tjipta Widjaja, Megain Widjaja mengatakan pada Kevin bahwa ia punya lahan kosong 500 meter di kawasan Menteng, Jakarta. Kevin lalu teringat gagasan Project Eden yang dikemukakan oleh pendiri Tiket.com, Natali Ardianto dan istrinya Nuniek Tirta Ardianto.

Bernhard Soebiakto

 Aulia Halimatussadiah
  
 Calvin Kizana

Andi Sadha

Pada 18 Mei 2011 Kevin menghubungi pasangan Ardianto dan mereka semua setuju dengan gagasan itu sehingga bersama pendiri Octovate Group, Bernhard Soebiakto; pendiri NulisBuku.com, Aulia Halimatussadiah; pencipta PicMix, Calvin Kizana; serta pendiri Activate Media, Andi Sadha; mereka mendirikan Project Eden.

Project Eden adalah program inkubator bisnis dimana dana investasi pre-seed ditujukan untuk para teknopreneur Indonesia agar startup mereka bisa diluncurkan. Salah satu startup yang ia berikan mentoring secara langsung adalah Telunjuk.com, situs perbandingan harga buatan Indonesia.

Emile Etienne

Doni Hanafi

Belum lama menjadi pimpinan XM Gravity, ia malah mundur dan merintis bisnis baru di bidang pernikahan bernama BrideStory. Idenya bermula dari kesulitannya dalam merencanakan pernikahannya sendiri. Meski menemukannya di Pinterest, ia tidak mendapat banyak informasi tentang penjualnya. Kebetulan istrinya berprofesi sebagai wedding planner, maka BrideStory pun didirikan bersama Emile Etienne dan Doni Hanafi pada April 2014.

BrideStory mengusung konsep situs direktori pernikahan di mana para calon pengantin bisa memperoleh referensi unik seputar konsep pernikahan. Sejumlah referensi tersebut biasanya berasal dari Pinterest dan bisa dipilih sesuai dengan kategori atau inspirasi warna yang diminati. Setelah puas menelusuri informasi mengenai referensi yang menarik, maka selanjutnya calon pengantin bisa memperoleh informasi mengenai vendor jasa pernikahan yang menyediakan jasa dengan pilihan tema yang menarik.

Hanya beberapa bulan setelah diluncurkan, BrideStory segera mendapat uang dari subscription plan. Ketika vendor mendaftar, mereka akan mendapat 5 kredit. Kredit dapat digunakan untuk mengecek kebutuhan atau mengirim pesan pada calon pelanggan potensial. Setiap kali vendor mendapat pesanan dari pelanggan, kredit mereka berkurang. Ketika vendor kehabisan kredit, mereka dapat membeli subscription plan berupa silver plan atau gold plan. Ketika vendor membeli subscription plan, mereka mendapat kredit tak terbatas selama setahun dan profil mereka akan tercantum di BrideStory. Harga subscription plan dimulai dari 5-50 juta Rupiah per tahun.

Pada Maret 2015 BrideStory menerima pendanaan Seri A dari Rocket Internet Group. Selain Rocket Internet Group beberapa investor lain turut terlibat, diantaranya Sovereign’s Capital, East Ventures, Skystar Capital, Lippo Digital Ventures, dan Fenox Venture Capital yang menambah porsi investasinya. Enam bulan sebelumnya mereka sudah mendapat pendanaan awal dari Fenox Venture Capital, Venturra Capital, Global Founders Capital, Beenos Partners, Midplaza Group.

Dengan dana segar itu, BrideStory berekspansi ke Singapura dan Filipina untuk terjun ke pasar pernikahan Asia Tenggara yang diyakini bernilai sekitar 18 milyar Dolar AS. Total pertumbuhan BrideStory sekitar 8 juta pengguna per tahun dengan rata-rata usia 20-35 tahun.

Pada 7 Maret 2016 BrideStory merilis laporan tren pernikahan 2016 di Indonesia









Pada 19 Januari 2017 BrideStory merilis laporan tren pernikahan 2017 di Indonesia












Pada 11 Maret 2018 BrideStory merilis laporan industri pernikahan 2017 di Indonesia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.