Niluh Djelantik

Niluh Putu Ary Pertami Djelantik
lahir 15 Juni 1975
ayah: Putu Djelantik
ibu: Ni Nyoman Palmi
suami: Louis Kieffer menikah tahun 2013
anak: Niluh Putu Ines Saraswati Djelantik

Ni Nyoman Palmi lahir 18 September 1948

bersama Cedric Cador

bersama Louis Kieffer dan Ines Saraswati Djelantik

GOSIPNYA
Ketika Niluh baru berumur setahun, orangtuanya bercerai. Sebagai orangtua tunggal, ibunya berjuang agar bisa menyekolahkan putrinya di tempat terbaik. Ia harus tinggal berdesakan dengan saudara-saudaranya di kamar kontrakan berukuran 3 x 4 meter di dekat Pasar Kintamani.

Sejak kecil minat bacanya sangat besar, bahkan kertas koran pembungkus baju dagangan pun sering menjadi rebutan karena ia ingin membacanya dulu. Beruntung, tak jauh dari kios tempat ibunya menggelar dagangan, ada sebuah toko buku. Ketika ia bisa membaca, ia dititipkan di toko itu. Sambil bekerja menjaga kios buku, ia bisa membaca buku sebanyak mungkin.

Ia selalu menaruh perhatian lebih pada alas kaki karena ia tak pernah mendapat sepatu yang pas. Ibunya lebih mementingkan pendidikan, jadi sepatunya harus diganjal dengan kain karena ukurannya lebih besar dua hingga tiga dari ukuran seharusnya. Kadang sepatunya terlanjur rusak atau berlubang saat ukuran mulai pas di kaki. Hal itulah yang membuatnya berangan-angan untuk memiliki sepatu yang pas di kaki.

Setelah lulus SMA, ia meneruskan pendidikan di Jakarta sesuai dengan keinginan ibunya. Tahun 1994 ia kuliah di Universitas Gunadarma jurusan manajemen keuangan. Setelah setahun di Jakarta, ia bekerja sebagai operator telepon di sebuah perusahaan tekstil asal Swiss. Gaji pertamanya dipakai untuk membeli sepatu seharga Rp. 15.000 di kawasan Blok M. Sepatu bertumit tinggi menjadi pilihan karena ia bekerja kantoran. Sepatu pertamanya yang pas di kaki ternyata tidak nyaman dipakai. Setelah sekian lama menabung, ia lalu mendapatkan sepatu impiannya.

GOSIPNYA pada akhir tahun 2001 ia menjadi korban kriminalitas di kawasan Senen dan hal itu membuatnya kembali ke Bali. Ia lalu bekerja sebagai Direktur Marketing di perusahaan mode milik pengusaha Amerika Serikat, Paul Ropp. Pada tahun pertama ia bekerja, ia berhasil menaikkan angka penjualan hingga 330% dan memperbanyak cabang toko hingga 10 lokasi.

Pada awal tahun 2003 ia terpaksa berhenti bekerja karena ia jatuh sakit saat berada di New York. Dokter menyarankannya untuk tidak berpergian jauh dalam enam bulan. Ia lalu kembali ke Bali dan bertemu dengan Cedric Cador yang terbiasa memasarkan produk Indonesia di Eropa.

Ia berprinsip bahwa tiap perempuan seharusnya bisa memakai sepatu dengan tumit setinggi 12 cm dengan nyaman. Dengan modal Rp. 75 juta untuk tempat kerja dan menyewa ruko untuk butik, ia lalu mendirikan CV Talenta Putra Dewata dan memproduksi sepatu bernama Nilou, yang merupakan cara pengucapan Niluh di lidah orang asing. Ia membuat sepatu berbahan dasar kulit dengan tangan agar kualitas tetap terjaga.

Ia menggunakan aneka bahan, mulai dari kulit, suede, katun, bahkan dengan aksesoris berlian. Ia membanderol sepatu boot hak tinggi, balerina, stiletto, aneka sandal dengan harga Rp. 1 juta sampai Rp. 15 juta per pasang. Untuk pesanan khusus harganya bisa mencapai Rp. 50 juta.

Awalnya ia membutuhkan waktu hingga 2 bulan untuk menyelesaikan satu desain sepatu. Sebagian besar waktunya habis untuk berdiskusi dengan dua orang pengrajinnya. Ia sering menunjukkan koleksi sepatu mahalnya. “Saya tanya ke mereka, bisa nggak bikin yang lebih bagus dari ini,” kata penggemar alas kaki Manolo Blahnik dan Christian Louboutin ini.

Menurutnya, sepatu tumit tinggi yang baik adalah sepatu yang tetap nyaman dipakai meski sudah dipakai selama 8 jam. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan proses pembuatan. Satu tukang bertanggung jawab menyelesaikan sepasang sepatu mulai dari memotong bahan, menjahit, hingga membentuk hak sepatu. Ia tidak peduli jika perusahaannya hanya bisa membuat sepasang sepatu dalam sehari karena menurutnya kualitas lebih penting dibanding kuantitas.

Koleksi pertamanya langsung terkenal di Prancis dan ia langsung mendapat pesanan sebanyak 4.000 pasang. Tahun 2004 ia mendapat kontrak dari jaringan ritel Topshop yang berpusat di Inggris. Pada tahun yang sama, seorang perempuan asal Australia bernama Sally Power berkunjung ke gerainya di kawasan Seminyak, Bali. Sally mengaku terkesan dengan sepatu Nilou dan menawarkan diri untuk menjadi distributor di Australia.

Pada saat itu para desainer internasional yang berproduksi atau mencari inspirasi di Bali ikut memakai produk Nilou. Sejak itu ia memulai hubungan profesional mendesain sepatu untuk perancang-perancang busana dunia seperti Nicola Finetti, Shakuhachi, Tristan Blair, dan Jessie Hill.

Beberapa selebriti seperti Uma Thurman, Gisele Bundchen, Tara Reid, Julia Robert, Paris Hilton, Robyn Gibson (mantan istri Mel Gibson) merupakan sebagian perempuan yang gemar memakai sepatu Nilou. “Kalau Uma beli sepatu Nilou di Saint Barth.” selorohnya, merujuk ke sebuah pulau kecil di Kepulauan Karibia.

Tahun 2007 ia mendapat tawaran dari agen di Australia dan Prancis untuk memperbesar bisnisnya. Nilou akan diproduksi secara massal di Cina dengan iming-iming sejumlah besar saham. Ia menolaknya dan ternyata Nilou sudah dipatenkan oleh pihak lain sehingga kerjasama pun berakhir. Nilou lalu diproduksi secara massal di Cina.

Tahun 2008 ia mematenkan merek Niluh Djelantik dan setahun kemudian sepatunya sudah kembali beredar di dunia. Atas kerja kerasnya, pada tahun 2010 ia meraih Best Fashion Brand & Designer The Yak Awards. Kini, ia dapat memproduksi hingga 200 pasang sepatu per bulan yang dikerjakan oleh 22 karyawan dan 3 asisten kepercayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.