Tjong A Fie / Tjong Yiauw Hian / Tjong Fung Nam / Zhang Yao Xuan (张耀轩)
lahir 1860 di Sungkow Village, Meixian, Guangdong, Cina.
meninggal 4 Februari 1921 di Medan
Tjong A Fie & Lim Koei Yap
FAMILI
istri ke 1: Nona Lie
istri ke 2: Nona Chew
anak:
-Tjong Kong Liong
-Tjong Song Jin
-Tjong Kwei Jin
istri ke 3: Lim Koei Yap (1880-1972)
anak:
Tjong Foek Yin (Queeny)
Tjong Fa Liong
Tjong Khian Liong
Tjong Kaet Liong (Munchung)
Tjong Lie Liong (Kocik)
Tjong See Yin (Noni)
Tjong Tsoeng Liong (Adek).
GOSIPNYA
Tjong A Fie berasal dari suku Hakka sederhana pemilik sebuah toko kelontong. Bersama kakaknya Tjong Yong Hian, mereka harus meninggalkan bangku sekolah dan membantu mengurus toko ayahnya. Meski tokonya maju dan telah memiliki istri bernama Nona Lie, ia memiliki cita-cita mengembara ke luar negeri. Tahun 1878 (GOSIP lain bilang 1875) dengan berbekal 10 Dolar perak uang Manchu yang diikatkan ke ikat pinggangnya, ia pergi menyusul kakaknya Tjong Yong Hian yang sudah lima tahun menetap di Sumatera dan sudah menjadi Kapten Tionghoa di Medan. Setelah sekian lama berlayar dengan kapal Junk, pada tahun 1880 ia tiba di Labuhan Deli.
Tjong A Fie bekerja di toko milik teman kakaknya yang bernama Tjong Sui Fo. Di toko tersebut ia menangani buku, melayani pelanggan, menagih utang serta tugas-tugas lainnya. Ia dikenal pandai bergaul, tidak hanya dengan orang Tionghoa, namun juga dengan orang Melayu, Arab, India, dan Belanda. Ia mulai belajar bahasa Melayu yang menjadi bahasa perantara di Deli. Ia menjauhi narkotika, perjudian, mabuk-mabukan dan pelacuran.
Ia sering menjadi penengah jika terjadi pertengkaran antara etnis Tionghoa dengan etnis lain. Di daerah perkebunan milik Belanda sering terjadi keributan di kalangan buruh yang menimbulkan kekacauan dan karena kemampuannya, Tjong A Fie sering diminta Belanda untuk membantu mengatasi masalah-masalah tersebut. Ia lalu diminta Belanda untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan dan diangkat menjadi Letnan Tionghoa. Karena pekerjaannya tersebut ia pindah ke kota Medan.
Bersama Tjong Yong Hian, Tjong A Fie bekerjasama dengan Chang Pi Shih, paman sekaligus konsul Cina di Singapura untuk mendirikan perusahaan kereta api The Chow-Chow & Swatow Railyway Co. Ltd. di Cina Selatan. Karena jasa tersebut mereka berkesempatan bertemu muka dengan Ibu Suri Cixi di Beijing.
Ketika kakaknya meninggal tahun 1911 ia naik pangkat menjadi Kapten Tionghoa (Majoor der Chineezen) untuk memimpin komunitas Tionghoa di Medan menggantikan kakaknya. Dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie menjadi anggota gemeenteraad (dewan kota) dan cultuurraad (dewan kebudayaan) selain menjabat sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Cina.
Di Deli ia membina hubungan yang baik dengan Sultan Deli, Makmoen Al Rasjid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Muda. Sultan lalu memberinya konsesi penyediaan atap daun nipah untuk keperluan perkebunan tembakau untuk pembuatan bangsal. Ia menjadi orang Tionghoa pertama yang memiliki perkebunan tembakau. Ia juga memiliki perkebunan teh di Bandar Baroe, perkebunan karet si Bulan, perkebunan kelapa yang sangat luas, dan perkebunan tebu. Di Sumatera Barat ia menanamkan modalnya di bidang pertambangan di Bukit Tinggi. GOSIPNYA karyawannya saat itu berjumlah lebih dari 10 ribu orang dan semua orang dengan senang hati menjadi karyawannya karena dalam menjalankan bisnisnya, Tjong A Fie memiliki 3 pedoman yakni jujur, setia dan bersatu dan ia juga membagikan lima persen keuntungannya kepada para pekerjanya. Motto hidupnya yang terkenal adalah, "Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Kesuksesan dan kejayaan bukan terletak pada apa yang aku miliki tetapi terletak pada apa yang telah aku berikan."
Tjong A Fie adalah sosok penting di Medan. Sepanjang hidupnya ia banyak menyumbangkan hartanya untuk kepentingan sosial dengan membangun sarana-sarana untuk kepentingan umum dan menolong orang miskin tanpa membedakan jenis kelamin, agama maupun ras. Beberapa peninggalannya adalah titi berlian (jembatan di kampung madras) yang dibangun untuk menghormati kakaknya Tjong Yong Hian, kelenteng di Jalan Klingenstraat (kini Jalan Kling), tempat pemakaman Pulo Brayan, rumah sakit khusus lepra di Pulau Sicanang, menara lonceng, Istana Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di Brayan, Kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Bank Kesawan, Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin serta mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan bernama Tjie On Jie Jan. Sebagai rasa hormatnya kepada Sultan Deli, Makmun Al Rasjid dan penduduk Islam Medan, ia mendirikan Masjid Raya Medan dengan menyumbang sepertiga dari seluruh biaya pembangunannya dan juga Masjid Raya Al-Mashum serta Masjid Lama (Gang Bengkok). Ia juga membangun transportasi kereta api pertama di Sumatera Utara, yakni Kereta Api Deli (DSM), yang menghubungkan kota Medan dengan pelabuhan Belawan.
Di Labuhan Deli ia menikah dengan Nona Chew dari Penang dan mempunyai tiga orang anak. Setelah Nona Chew meninggal dunia, ia menikah lagi dengan Lim Koei Yap, putri kepala mandor perkebunan tembakau di Sungai Mencirim yang mengepalai ratusan orang kuli kontrak, dan mempunyai tujuh orang anak.
Tahun 1917 ia menerima gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari Universitas Hongkong dan juga menerima banyak bintang jasa dari pemerintah Belanda. Salah satu bintang jasa yang sangat tinggi nilainya yang diberikan oleh pemerintah Belanda ialah "Rider van de Oranye Nassau". Selain itu, ia juga menerima bintang kehormatan dari Kaisar Cina. Pengaruhnya juga terasa sampai ke Amsterdam dimana ia menjadi salah seorang pendiri Institut Kolonial yang kini bernama Institut Tropis Kerajaan (Koninklijk Instituut voor de Tropen).
Pada 4 Februari 1921 Tjong A Fie meninggal dunia karena pendarahan otak di kediamannya di Jalan Kesawan, Medan (GOSIPNYA Tjong A Fie bunuh diri akibat resesi, perusahaan-perusahaannya merugi dan ia tidak bisa membayar cek sebesar 300.000 Gulden yang dikeluarkan oleh Deli Bank. Ketika berita itu tersebar, nasabah Deli Bank berlomba-lomba menarik simpanan mereka. Tjong A Fie tidak bisa melihat kenyataan ini sehingga ia mengakhiri hidupnya sendiri). Kematian Tjong A Fie membuat banyak pelayat datang berduyun-duyun bukan hanya dari kota Medan, tapi juga dari Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaysia, Singapura dan Jawa. Upacara pemakamannya berlangsung dengan megah dan penuh kebesaran sesuai dengan tradisi dan kedudukannya pada masa itu. Karena kedermawanannya, Tjong A Fie menjadi legenda dan dikenang oleh penduduk Medan dan sekitarnya.
Empat bulan sebelum meninggal dunia, ia telah membuat surat wasiat di hadapan notaris Dirk Johan Facquin den Grave yang isinya mewariskan seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada saat ia meninggal dunia. Yayasan yang berkedudukan di Medan ini diminta untuk melakukan lima hal dimana tiga diantaranya yaitu:
-memberikan bantuan finansial kepada kaum muda yang berbakat dan berkelakuan baik serta ingin menyelesaikan pendidikan tanpa membedakan kebangsaan
-membantu mereka yang tidak mampu bekerja dengan baik karena cacat tubuh, buta, atau menderita penyakit berat
-membantu para korban bencana alam tanpa memandang kebangsaan atau etnisnya
Nama Tjong A Fie pernah akan dijadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Medan, tapi dibatalkan dan jalan itu menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan. Rumah Tjong A Fie seluas 6.000 meter persegi berlantai dua dan memiliki 40 ruangan yang berada di Jalan Ahmad Yani 105, Kesawan, Medan, yang didirikan pada tahun 1900 (GOSIP lain bilang 1895), saat ini dijadikan sebagai Tjong A Fie Memorial Institute dan dikenal juga dengan nama Tjong A Fie Mansion. Rumah ini dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009 untuk memperingati ulang tahun Tjong A Fie yang ke-150. Sampai sekarang, rumah itu masih ditinggali Fon Prawira, cucu Tjong A Fie dari anak keempatnya, Ching Kweet Leong. Keluarga Tjong A Fie pindah ke Denmark pada 1921 dan baru kembali ke Indonesia pada 1930. Selama sembilan tahun itu, rumah tersebut dibiarkan kosong. Semula, anak-anak Tjong A Fie kembali mendiami rumah itu. Namun, tinggal keluarga Fon Prawira yang bertahan di sana hingga kini.
Tjong A Fie Mansion
Rumah itu mengundang banyak investor yang bermaksud membelinya. Tak sedikit yang mengajukan penawaran untuk menjadikan bangunan tersebut sebagai tempat komersial. Fon menyatakan pernah tergoda untuk menerima tawaran menggiurkan itu. Namun, setelah berpikir panjang dan bermusyawarah dengan keluarga besar Tjong A Fie, Fon tak rela melepasnya. "Saya berpikir jangka panjang mengenai kondisi bangunan itu," ungkapnya.
Fon tidak ingin terjebak pada kenikmatan sesaat dengan menerima tawaran investor, tapi kemudian bangunan peninggalan kakeknya itu rusak dan berubah fungsi. Sebab, bila investor masuk, sangat mungkin bangunan tersebut dirombak di sana sini. Padahal, dia mendapatkan amanat untuk melestarikan rumah keluarga Tjong A Fie itu. "Kalau sudah jatuh ke investor, rumah tersebut bisa kehilangan jati diri sebagai rumah pusaka. Padahal, rumah itu menyimpan sejarah penting. Tidak hanya bagi keluarga besar kami, tetapi juga kota Medan," ungkap direktur PT Mitra Nabati Nusantara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.