Robert Tantular (Tan Heng Keng)
lahir 12 September 1962 di Jakarta
ayah: Hashim Tantular (Tan Tiong Sim)
ibu: Furniati Onggo Widjaya
istri: Sofie Tanudjaja (Tan Chi Fang)
kakak ke 1: Hovert Tantular (Tan Hing Ho)
kakak ke 2: Theresia Tantular
kakak ke 3: Theresia Huniwati Tantular (Tan Khe Hun)
kakak ke 4: Theresia Dewi Tantular
adik: Anton Tantular (Tan Hing An)
GOSIPNYA
Robert Tantular adalah anak ke 5 dari 6 bersaudara dari seorang pedagang batik di Tanah Abang, Hashim Tantular. Bisnis batik ayahnya terbilang sukses sehingga Hashim mendirikan Bank Central Dagang (BCD) tahun 1965. Robert belajar di SD dan SMP Kristen Karunia, Pasar Baru, Jakarta. Ia melanjutkan pendidikan di SMA Kristen I BPK Penabur, Pintu Air, Jakarta. GOSIPNYA Robert bercita-cita menjadi dokter tapi tidak diterima di fakultas kedokteran UI. Ia lalu mengambil jurusan civil engineering di Universitas Carleton, Kanada dan lulus tahun 1985. Ia lalu melanjutkan studi di Universitas George Washington, AS dan meraih gelar MBA tahun 1988.
Tahun 1989, Hashim mengubah perusahaan penukaran uang Century Intervest Corporation (CIC) menjadi bank CIC International. Hal itu disebabkan adanya kebijakan pemerintah berupa paket ekonomi Oktober 1988 (Pakto 88) yang mengizinkan siapapun untuk mendirikan bank jika memiliki modal awal 10 milyar Rupiah. Hashim memiliki 6 anak yang GOSIPNYA semuanya bermasalah dengan korupsi. Ketika Hashim meninggal tahun 1995, BCD dikendalikan anak sulungnya, Hovert sedangkan Robert mengelola Bank CIC. Kedua bank itu berkembang sehingga pada Juni 1997 aset BCD mencapai Rp. 1 trilyun sedangkan aset CIC mencapai Rp. 673 milyar.
Ketika krisis ekonomi terjadi, BCD ambruk. Pemerintah memberi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp. 1,9 trilyun tapi tetap tak mampu bertahan dan dilikuidasi. Hovert diduga membawa kabur uang itu ke Singapura. Kasusnya tidak jelas dan menghilang hingga kini. Meski BCD hancur, Bank CIC malah meningkat setelah menjadi PT tahun 1997. Pada Juni 1998 aset CIC mencapai Rp. 1,9 trilyun dan tahun 2000 mencapai 3,5 trilyun. Bank CIC merupakan bank yang berfokus dalam bisnis valuta asing. Robert memutar dana secara agresif ke berbagai investasi. GOSIPNYA pada tahun 1998 Robert memakai dana nasabah hingga 25 juta Dolar AS. Tahun 1999 Bank CIC menjadi bank berpredikat A tapi Robert tak lulus uji kelayakan dan kepatutan sebagai direktur utama karena terkait dengan kakaknya Hovert.
Tahun 1999-2003 Budi Mulya menjadi direktur Bank Ekspor Indonesia. Sebagai salah satu bank devisa, CIC kerap bekerja sama dengan Bank Ekspor Indonesia untuk membiayai perdagangan internasional. Pada Mei 2001, Robert mendatangi kantor Budi Mulya di gedung Bursa Efek Indonesia, kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan. Robert berkeluh-kesah tentang pemeriksaan Bank Indonesia yang memberatkan dirinya dan bank miliknya. Saat itu, CIC dalam pengawasan khusus bank sentral dengan status cease and desist order, tanda dibatasinya kegiatan usaha suatu bank. Setiap keputusan perseroan harus mendapat persetujuan tim bentukan Bank Indonesia.
Pengawasan khusus itu dilatarbelakangi pemeriksaan Bank Indonesia yang menunjukkan CIC tak menjalankan prinsip kehati-hatian. Rasio kecukupan modalnya minus 83,06% dan ada kekurangan modal Rp. 2,67 trilyun. Ada juga pelanggaran batas maksimum pemberian kredit sebesar 852,18% kepada 15 debitor tak terafiliasi dan 639,44% kepada lima debitor terafiliasi. GOSIPNYA Robert juga memakai dana Bank CIC untuk kepentingan pribadi, salah satunya adalah penggunaan dana dari program Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang dinamai General Sales Marketing 102. Program ini merupakan fasilitas jaminan kredit untuk mendorong ekspor komoditas pertanian dan peternakan negeri Amerika Serikat. Selama 1999-2001, Bank CIC kebagian 80%, senilai 840 juta Dolar AS, dari dana yang digelontorkan Commodity Credit Corporation, badan di bawah USDA.
Dana itu diputar ke berbagai investasi jangka panjang, sebagian besar dilakukan melalui Chinkara Capital, perusahaan Robert yang didirikan di Kepulauan Bahama tahun 1999. Robert lalu meninggalkan jabatannya di CIC dan GOSIPNYA menempatkan kakaknya, Theresia Dewi Tantular, di CIC. Pada 6 Desember 2004 Bank CIC, Bank Danpac dan Bank Pikko bergabung menjadi Bank Century.
Pada Januari-Oktober 2008 Dewi melakukan penggelapan valas. Dewi mencairkan dana deposito milik nasabah terbesarnya yang juga memiliki pabrik rokok Sampoerna, Boedi Sampoerna yang disimpan di Bank Century Kertajaya Surabaya dan memindahkannya ke Bank Century Senayan Jakarta untuk dipisah menjadi 2 sertifikat deposito masing-masing senilai Rp. 2 milyar. Setelah dana tersebut dipindahbukukan, pada 14 November 2008 Robert memerintahkan Kepala Kasir Valas Bank Century, Tan Ie Tung, untuk mendebet dana sebesar 18 juta Dolar AS untuk dimasukkan ke dalam pembukuan valas Bank Century. Hal ini dilakukan sebagai upaya menutupi penggelapan valas yang dilakukan oleh Dewi.
Menurut Robert, ia meminjam uang Boedi pada 14 November 2008 sedangkan menurut Boedi ia tak pernah meminjamkan depositonya kepada Robert dan Dewi Tantular. Sebelum masalah terjadi GOSIPNYA Boedi sudah mengantisipasinya dengan meminta depositonya senilai 96 juta Dolar AS dipindahkan dari kantor cabang Surabaya-Kertajaya ke Kantor Pusat Operasional di Senayan Jakarta. Pemakaian uang Boedi oleh Dewi Tantular senilai 18 juta Dolar AS terjadi setelah pemindahan ini.
GOSIPNYA Boedi meminta Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Susno Duadji untuk menyelamatkan uangnya di Bank Century. Pada 7 dan 17 April 2009 Susno mengirimkan surat ke Bank Century yang intinya menyatakan 18 juta Dolar AS milik Boedi Sampoerna tak ada masalah.
Berdasarkan surat dari Susno itu, pada 29 Mei 2009 dana milik Boedi Sampoerna diganti oleh manajemen Bank Century dengan cara menerbitkan deposito atas nama PT LSB dan dibukukan sebagai kerugian Bank Century. Transaksi itu membebani Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar 18 juta Dolar AS. Padahal Robert telah menyatakan pencairan dana milik Boedi itu merupakan pinjaman Robert kepada Boedi untuk mengembalikan dana Bank Century yang digunakan oleh Dewi. Hal itu dikuatkan Robert dan Dewi dengan membuat surat pengakuan utang kepada Boedi pada 14 November 2008. GOSIPNYA Susno meminta uang sebesar Rp. 10 milyar atas jasanya itu dan hal inilah yang membuat Susno terkait dengan kasus Bank Century.
Berdasarkan penelusuran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diketahui bahwa kasus tersebut telah diputuskan oleh PN Jakarta Utara No. 413/PSdr.DT.G/2009/JKT.UT tanggal 10 Juni 2010 yang menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Bank Mutiara (dulu Bank Century) sebesar 18 juta Dolar AS. “Seharusnya penggantian deposito Boedi Sampoerna di Bank Century yang digunakan Dewi Tantular untuk menutup kerugian kas valas sebesar US$18 juta seharusnya tak menjadi beban PMS, tetapi diganti oleh Dewi Tantular atau Robert Tantular,” tulis dokumen BPK.
Masalah dengan ribuan nasabah dimulai ketika pada Agustus 2008 PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia yang juga sebagian sahamnya dimiliki Robert Tantular memasarkan produk investasi discretionary fund. Discretionary fund adalah kontrak pengelolaan dana antara nasabah dan manager investasi. Customer Service Bank Century menawarkan pada para nasabah pengalihan dana rekening untuk diinvestasikan ke salah satu produk Antaboga dengan iming-iming bunga 13% dalam tiga bulan. GOSIPNYA nasabah menyangka produk itu adalah reksadana terproteksi sehingga nasabah yakin bahwa modal awal pasti akan kembali ditambah dengan hasil bunganya. Sebagai bukti investasi, para nasabah hanya diberi selembar kertas sertifikat berwarna coklat, berlabelkan tulisan discretionary fund di pojok kanan atas, meski telah dilarang oleh Bank Indonesia pada tahun 2005. Produk tersebut tidak dilaporkan atau dicatatkan di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Setelah meraup Rp. 1,4 trilyun dari sekitar 5.000 nasabah, pada pertengahan November 2008 direksi Antaboga mengeluarkan surat edaran tentang waktu jatuh tempo redemption. Direksi Antaboga meminta para nasabah memperpanjang redemption seluruh produk investasi hingga beberapa bulan lagi dengan rincian 10% akan dibayar pada bulan pertama, 40% bulan ketiga, dan sisanya akan dibayarkan enam bulan kemudian. Sebenarnya nasabah Antaboga sudah resah ketika investasi mereka tak bisa dicairkan meski sudah jatuh tempo sejak bulan September 2008 dan pengumuman itu menimbulkan kecurigaan para nasabah bahwa discretionary fund Antaboga tidak beres sehingga redemption besar-besaran pun tak terhindarkan dan akhirnya gagal bayar.
Para nasabah pun ramai-ramai menuntut Bank Century, tapi Century tidak memenuhi tuntutan nasabah karena alasannya produk Antaboga bukan diterbitkan oleh Century. Sejak itu, kepercayaan nasabah runtuh dan mereka ramai-ramai menarik dana dari Bank Century sehingga bank tersebut kolaps, gagal kliring dan diambil alih oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 21 November 2008. Nasabah Antaboga lalu menuntut pemerintah mengganti kerugian mereka yang totalnya mencapai Rp. 1,4 trilyun. Robert sudah ditahan kepolisian. Namun total aset Antaboga yang telah diblokir pemerintah hingga 19 Februari 2009 hanya Rp. 23 milyar.
Antaboga mendapat izin usaha sebagai perantara pedagang efek dan manajer investasi sejak 21 Maret 1992. Sebanyak 82,18% saham Antaboga dimiliki PT Aditya Rekautama dan sisanya 17,82% dimiliki PT Mitrasejati Makmurabadi. PT Aditya Rekautama sendiri sebanyak 12,5% sahamnya dimiliki Robert Tantular, Hartawan Aluwi dan Budi PV Tanudjaja. Robert dan Hartawan merupakan menantu Sukanta Tanudjaja, mantan pemilik Great River. Budi merupakan kerabat Sukanta. Sedangkan PT Mitrasejati Makmurabadi dimiliki Harry Sutomo Raharjo dan Hendro Wiyanto. Hendro kini menjabat sebagai direktur utama Antaboga. Perusahaan didirikan dengan modal dasar Rp. 60 milyar dan modal disetor Rp. 55 milyar. Antaboga sendiri merupakan pemilik Bank Century dengan andil saham 7,44%. Di Century selain lewat Antaboga, keluarga Tantular juga memiliki saham lewat PT Century Mega Investindo yang menguasai 9% saham bank dan PT Century Super Investindo yang memegang 5,64% saham.
Menurut pihak tertentu, Bapepam-LK harus ikut bertanggung jawab atas kasus Bank Century sebab kolapsnya bank tersebut berawal dari penerbitan discretionary fund oleh Antaboga. Kesalahan Bapepam-LK adalah membiarkan perusahaan sekuritas menjual produk discretionary fund yang ternyata bodong. Selain itu, investor publik tidak memperoleh informasi memadai terkait skandal Century, padahal bank tersebut ada dibawah pengawasan Bapepam-LK.
Menurut Bapepam-LK penjualan produk investasi oleh Antaboga bukan tanggung jawab otoritas pasar modal karena produk tersebut diperjual-belikan di Bank Century, bukan di Antaboga. Selain itu, produk yang dijual Antaboga tersebut bukanlah produk reksadana melainkan discretionary fund. Produk tersebut juga bukan merupakan produk investasi yang pernah mendapat peringatan dari Bapepam-LK pada 2005 dan juga merupakan produk palsu. Bapepam-LK tidak dapat memproteksi nasabah Bank Century karena otoritas pasar modal hanya melindungi para pemegang saham perseroan. Singkat kata, siapapun yang membeli produk yang tidak berizin itu berarti menjadi korban penipuan.
Pada Mei 2010 Mahkamah Agung memutuskan Robert bersalah dan dihukum penjara 9 tahun dan denda Rp. 100 milyar tapi Robert menyatakan tidak punya uang dan akan pasang badan. Meski sudah dinyatakan bersalah, masalah nasabah Antaboga belum beres sehingga mereka ramai-ramai menggugat. Jika semua nasabah Antaboga menggugat, maka LPS sebagai pemegang saham mayoritas Bank Century harus mengeluarkan lagi dana Rp. 1,4 trilyun diluar Rp 6,7 trilyun yang telah dikeluarkannya saat menyelamatkan Bank Century pada November 2008. Tapi pemerintah menolak klaim nasabah Antaboga dengan alasan produk itu bukanlah produk yang dijamin LPS seperti tabungan/giro/deposito dan produk itu juga dijual oleh Antaboga, bukan oleh Bank Century.
Setelah klaim mereka ditolak akibat tidak memenuhi persyaratan di UU LPS, nasabah Antaboga lalu kembali menggugat Bank Century dengan memakai UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Akibatnya, pada 25 Juli 2012 Mahkamah Agung mengabulkan gugatan 27 nasabah Bank Mutiara dan menghukum Bank Mutiara cabang Solo untuk membayar uang sebesar Rp. 35 milyar pada para nasabahnya beserta Rp. 5,675 milyar sebagai denda.
Merasa dirugikan, pihak Bank Mutiara mengeluarkan alasan bahwa pada tahun 2006 Bank Century tidak lagi menjadi sub agen dalam pemasaran reksa dana sehubungan dengan berakhirnya kerjasama, yang tercantum dalam memo nomor 02/IM/D/S/06 tertanggal 16 Mei 2006. Bersamaan dengan itu berlaku SEBI nomor 7/19/DPNP tertanggal 14 Juni 2006. Setelah itu, Antaboga menerbitkan dan menjual sendiri reksadana pada pihak ketiga yang kebetulan dilakukan melalui pihak marketing dan kepala cabang Bank Century.
Karena tidak kunjung selesai, kasus rumit ini lalu dilimpahkan pada Kejaksaan Agung RI (Kejagung). Dari sana, Kejagung menduga Robert melakukan pencucian uang dengan menginvestasikan dana pada tanah seluas 5.380 meter persegi di Jalan Kebun Mawar Perumahan Central Bumi Indah, sebuah rumah di Jalan Kebun Bunga, Buaran Indah, Jakarta Timur, dan Mal Serpong atas nama PT Sinar Central Rezeki senilai Rp. 334 milyar. Polisi juga menyita uang tunai Rp. 2,1 milyar.
Dari penggantian Kabareskrim Susno oleh Komjen Pol Ito Sumardi Djunisanyoto pada 30 November 2009 hingga penunjukkan mantan Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu Sri Mulyani menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia pada 1 Juni 2010 hingga meninggalnya Boedi Sampoerna pada 8 Agustus 2011, masalah ini masih belum tuntas hingga sekarang. Begitu lamanya penyelesaian kasus ini membuat sebagian orang mulai melupakan masalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.