KELUARGA KWEE DARI CILEDUG
Kwee Giok San - Oey Tjoen Nio
Anak:
1. Kwee Ban Hok
2. Kwee Boen Pien
3. Kwee Ka Tien
Cucu:
1a. Kwee Keng Eng - Tan Oen Tok Nio
1b. Kwee Keng Po - Tan Hap Nio
Tan Hok Nio dan Kwee Keng Liem
2. Kwee Keng Liem (1850-22 Januari 1924) - Tjoa Swie Lan Nio (1812-1868) & Tan Hok Nio (26 September 1870-23 Juni 1951)
Cicit:
1a. Kwee Tiauw Lie - Tjan Tjoen Jong
1a. Kwee Zwan Jam - Aw Kiok Lan Nio
1b. Kwee Zwan Leng
1b. Kwee Zwan Kioe - Sie Joe Lie
2a. Kwee Zwan Hong (1869-13 Desember 1955) - Tan Bie Nio (1839-1899) & Lim Ke Tie Nio
Kwee Der Tjie (Dora)
Han Tiauw Bing
2b. Kwee Der Tjie (Dora) (7 Juli 1894-7 Januari 1977) - Han Tiauw Bing (15 Juni 1892-20 Maret 1974)
Kwee Zwan Lwan
2c. Kwee Zwan Lwan (3 Januari 1891-1 Juli 1947) - Be Kiam Nio (Jenny) (14 Juni 1893-22 Agustus 1985)
2d. Kwee Zwan Liang (Bem) (1875-1923) - Liem Hwat Nio (Roos) (1885-1925)
Kwee Zwan Ho (Johannes)
2e. Kwee Zwan Ho (Johannes) (8 Februari 1898-18 Desember 1979) - Tan Ing Nio (Betty) (7 Oktober 1903-1 Januari 1989)
Canggah:
2a. Kwee Kiem Tian (1874-1934) - Kwee Kiong Lie
Kwee Lee Sie (Daisy)
The Sien Tjing
2a. Kwee Lee Sie (Daisy) (1888-1926) - The Sien Tjing (29 Maret 1903-18 September 1982)
2a. Kwee Kiem Hay (Wirya Kusnardi) (20 Maret 1903-1 Februari 1975) - Ie Kootjie Nio (Coos) (1875-1931) & Ie Leetje Nio (Lies / Elizabeth Irawati) (28 Februari 1915-11 Januari 2012)
Han Kioe Nio (Oes)
Tan Boen King
2b. Han Kioe Nio (Oes) (1899-1951) - Tan Boen King (Agustus 1909)
2b. Han Siok Nio (Suze) (29 September 1921-17 Maret 1993)
2b. Han Swat Nio (27 April 1927-16 Februari 2018)
Kwee Lee Nio (Helene / Lenny)
Lie Ghien Giam (Paul)
2c. Kwee Lee Nio (Helene / Lenny) (17 Januari 1915-28 September 2011) - Lie Ghien Giam (Paul) (17 Maret 1908-6 Juni 1975)
Kwee Kiem Lien (Eddy)
2c. Kwee Kiem Lien (Eddy) (16 Januari 1918-7 Februari 1945)
2d. Kwee Lie Siok Nio (Evie)
2d. Kwee Kiem Han (14 Mei 1926-24 Agustus 2020) - Liem Giok Pwan (Daisy) (27 Oktober 1925-15 Maret 2015)
2d. Kwee Kiem King
2e. Kwee Kiem Toen (20 Februari 1929-29 Januari 2014)
2e. Kwee Lee Sioe Nio (Irene) (1926-?) - Tan Soei Tjing
2e. Kwee Lee Giok Nio (1930-1990) - Tan Swie Siang
Guru, Kwee Zwan Lwan, Kwee Der Tjie, Kwee Zwan Ho (duduk di depan), Kwee Zwan Liang (berdiri), anonim
Kwee Lie Siok Nio (kiri atas), Kwee Kiem Han (kanan atas), Liem Hwat Nio (kiri bawah), Kwee Kiem King (tengah bawah), Kwee Zwan Liang (kanan bawah)
GOSIP KELUARGA KWEE DARI CILEDUG
Opium pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok oleh pedagang Turki dan Arab pada akhir abad ke-6. Opium dipakai dalam jumlah terbatas untuk mengurangi rasa sakit hingga abad ke-17. Tahun 1700-an para pedagang opium menjual opium ke Tiongkok dan memperkenalkan cara menghisapnya dengan pipa tembakau.
Pada tahun 1729 pengiriman opium ke Tiongkok mencapai lebih dari 200 peti (sekitar 63,5 kg per peti) sehingga pada tahun yang sama Kaisar Yongzheng melarang penjualan maupun menghisap opium. Pada awal abad ke-18 bangsa Portugis mengimpor opium dari India dan menjualnya di Tiongkok dengan keuntungan besar. Meski sudah dilarang oleh Kaisar Yongzheng, pengiriman secara ilegal masih terus berlangsung dan mencapai 1.000 peti pada tahun 1767.
Tahun 1773 bangsa Inggris mengetahui hal ini dan menjadi pemasok utama opium ke Tiongkok. Tujuannya meningkatkan perdagangan yang tidak seimbang dengan Tiongkok. Bangsa Eropa mengimpor sangat banyak teh, sutra, porselen, sedangkan Tiongkok hanya mengimpor sedikit barang dari Eropa sehingga bangsa Eropa harus membayar barang-barang Tiongkok dengan perak dan emas. Opium membalikkan keadaan ini.
Pengiriman opium mencapai 4.000 peti per tahun pada masa pemerintahan Kaisar Jiaqing (1796-1820). Jiaqing mewarisi tahta dari Qianlong ketika negara mulai melemah. Masa keemasan Dinasti Qing sejak Kaisar Kangxi (1661-1722), Yongzheng (1722-1735) dan Qianlong (1735-1796) membuat bangsa terlena. Korupsi yang mulai merajalela dalam pemerintahan pada akhir masa pemerintahan Kaisar Qianlong, menandakan mulai melemahnya dinasti Qing.
Kaisar Jiaqing sebenarnya mulai memperbaikinya dan menghukum secara keras orang-orang yang mengedarkan maupun mengonsumsi opium. Pada masa pemerintahannya sebenarnya peredaran opium cukup terhambat, tapi tahun 1820 ia tiba-tiba sakit dan meninggal.
Pada masa pemerintahan Kaisar Daoguang (1820-1850), pengiriman opium terus meningkat. Tahun 1820 mencapai 10.000 peti per tahun dan mencapai 40.000 peti pada tahun 1838. Kegagalan membendung opium, membuat Perang Candu meletus tahun 1839-1842.
Kwee Giok San lahir di Lungtzi, dekat Zhangzhou, Fujian. Tahun 1820-an, Kwee Giok San tidak mau hidupnya hancur karena opium sehingga meninggalkan kampungnya di Fujian, Tiongkok, untuk mencari Nanyang, sebuah daerah di Asia Tenggara yang lebih hangat dan subur serta untuk melarikan diri dari pemerintahan Manchuria yang menindas rakyat.
Tahun 1840 Giok San akhirnya menetap di Ciledug, sebuah kota kecil di Cirebon. Ia menjadi bagian dari Cabang Atas dengan menikahi Oei Tjoen Nio, ipar dari Tan Kim Lin yang sempat menjadi Kapitan pada saat itu. Pada masa Hindia Belanda, keturunan Tionghoa yang kaya, berjasa, atau berpengaruh menjadi golongan Cabang Atas dan diberikan gelar Opsir Tionghoa yang dibagi menjadi 3 pangkat utama: Majoor (Mayor), Kapitein (Kapitan), Luitenant (Letnan), dan pangkat pendukung lainnya seperti Wijkmasteer dan Masteer.
Giok San memiliki 3 anak: Kwee Ban Hok, Kwee Boen Pien, Kwee Ka Tien. Pada Agustus 1873, Boen Pien membeli pabrik gula Djatipiring dari pemilik asal Eropa. Pada Oktober 1874 Boen Pien ditunjuk menjadi Letnan Sindanglaut, Losari dan Ciledug. Tahun 1884 Boen Pien meninggal dunia dan anaknya yang kedua, Kwee Keng Liem menggantikannya sebagai Letnan. Pada tahun yang sama, Kwee Keng Eng, anak dari Kwee Ban Hok, ditunjuk menjadi Letnan Cirebon. Ban Hok adalah pemilik pabrik gula Kalitandjoeng.
Anak Keng Liem yang tertua dari istri pertama Tjoa Swie Lan Nio, Kwee Zwan Hong menggantikan ayahnya sebagai Letnan pada tahun 1908. Ia lalu naik pangkat menjadi Kapitan pada 1924. Zwan Hong masih menjadi Kapitan hingga 1934, ketika Opsir Tionghoa dihapus di Jawa dan menjadi pejabat Tionghoa terakhir di Cirebon.
Setelah Tjoa Swie Lan Nio meninggal, Keng Liem menikah lagi dengan Tan Hok Nio, cucu perempuan dari Letnan Batavia Tan Kong Hoa serta Letnan Bekasi Tan Yoe Hoa dan memiliki 1 anak perempuan dan 3 anak laki-laki: Kwee Der Tjie, Kwee Zwan Lwan, Kwee Zwan Liang, Kwee Zwan Ho. Zwan Lwan mendapat tempat di pemerintahan Cirebon tahun 1925, dan pada tahun 1930-an menggantikan Zwan Hong sebagai kepala de facto dan pemimpin komunitas Tionghoa di Cirebon.
Seperti Giok San yang menikah dengan golongan Cabang Atas, Keng Eng juga menikahi Tan Oen Tok Nio, yang merupakan saudari perempuan dari Mayor Cirebon Tan Jin Kie yang juga salah satu orang terkaya di Cirebon.
Generasi ke-4 dari Giok San, Zwan Hong menikahi Lim Ke Tie Nio, anak dari Letnan Batavia Lim Goan Tjeng sedangkan saudari perempuan Zwan Hong, Der Tjie menikah dengan Kapitan Pasuruan Han Tiauw Bing. Saudara mereka yang lain, Zwan Lwan menikahi Jenny Be Kiam Nio, anak dari Mayor Surakarta Be Kwat Koen; Zwan Liang menikahi Roos Liem Hwat Nio, cucu dari Letnan Pasuruan Liem Bong Lien; sedangkan Zwan Ho menikahi Betty Tan Ing Nio, cucu dari Kapitan Bogor Tan Goan Piauw yang juga tuan tanah Tegalwaroe di Karawang.
Kunjungan Raja Rama VII
Pada Agustus 1929 Raja Prajadhipok (Rama VII) dari Siam beserta istrinya Ratu Rambhai Barni mengunjungi Keluarga Kwee di Djatipiring, Cirebon berkat koneksi dari Mayor Surakarta Be Kwat Koen yang merupakan mertua Zwan Lwan. Keluarga Be Kwat Koen pada tahun 1896 pernah menjamu Raja Chulalongkorn (Rama V). Kunjungan Raja Rama VII memberikan kehormatan besar dan memperluas koneksi internasional bagi Keluarga Kwee.
Ketika Great Depression alias Krisis Malaise melanda dunia tahun 1929, seluruh dunia terkena dampak ekonomi yang parah (GOSIPNYA Keluarga Kwee pun terkena dampak dan memutuskan menjual pabrik gula Djatipiring tahun 1931).
Zwan Liang lalu pindah ke Bandung, Jawa Barat; Zwan Hong, Zwan Lwan, Zwan Ho pindah ke Linggarjati, Kuningan dan membangun vila. Kompleks dan taman Keluarga Kwee di Linggarjati menjadi atraksi terkenal di Jawa Barat pada zaman itu. Tempat itu pun sering dipakai untuk menjamu para tamu terhormat.
Keluarga Kwee berinvestasi pada saham-saham minyak dan juga Kongsi Dagang Amsterdam (Haandels Vereeniging Amsterdam/HVA). Modal-modal ini lalu digunakan oleh anggota-anggota Keluarga Kwee untuk menopang dan melanjutkan hobi dan gaya hidup mereka yang glamor pada masa Krisis Malaise.
Mereka masih mampu membeli mobil-mobil Barat merek Buicks, Studebakers, Chryslers, Mercedes Benz, dan masih sering menyempatkan diri berbelanja berbagai barang mode terbaru seperti topi, sepatu, kacamata hitam dan mantel di kawasan Jalan Braga, Bandung.
Anggota-anggota Keluarga Kwee di Bandung juga masih mempekerjakan sejumlah pelayan yang terdiri dari tukang kebun, mekanik, pengrajin atau ahli dekorasi, tukang cuci pakaian, petugas kebersihan, petugas keamanan, pembantu rumah tangga, dan juru masak. Mereka pun tanpa ragu mensponsori kejuaraan tenis wilayah yang sesekali diadakan di kediaman Zwan Lwan di Linggarjati.
Mereka tinggal di sebuah kompleks villa yang megah, dilengkapi bangunan pabrik beserta rumah administratornya. Beberapa bangunan seperti pemukiman sederhana bagi sekitar 50 pelayan dan para personel pabrik berdiri di dalam lingkungan kompleks villa ini. Dua lapangan tenis, kolam renang, lapangan sepakbola, serta taman rusa dan kandang burung juga tersedia untuk menunjang hobi dan aktivitas olahraga para penghuni kompleks. Selain itu, terdapat pula kandang-kandang kuda dan kereta serta kebun yang luas yang untuk mengurusnya saja diperlukan sekitar 19 tukang kebun laki-laki.
Villa memiliki perpustakaan dengan meja bundar dan sofa, lalu semacam salon atau ruang tamu dengan cermin besar yang didekorasi dan juga meja biliar yang terletak persis bagian tengah ruangan. Di depan salon terdapat beranda yang luas berlantaikan ubin marmer. Villa juga memiliki tiga kamar tambahan yang salah satunya dipakai sebagai arena bermain anak-anak dimana mereka menyimpan mainan-mainan mahalnya. Bagian interior villa dilengkapi dengan banyak aksesoris dan perabotan-perabotan rumah tangga modern bergaya Barat.
Di tahun 1920-an, periode dimana mereka telah muncul sebagai salah satu keluarga terkaya di wilayah Jawa Barat, anggota laki-laki Keluarga Kwee bersama dengan saudara iparnya Han Tiauw Bing dari Lawang dan anggota-anggota Keluarga Tan dan Keluarga Liem telah rajin membeli sejumlah mobil mahal dari Amerika dan Eropa setiap dua tahun sekali. Anggota dari keluarga-keluarga ini bahkan tercatat pernah memiliki Pierce Arrow. Mobil mahal nan mewah dari Amerika yang harganya berkisar antara 5.500-8.000 Dolar AS pada tahun 1920-an itu umumnya dimiliki oleh para pejabat negara seperti Kaisar Hirohito dari Jepang, Shah Reza Pahlevi dari Iran, Raja Abdul Aziz al Saud dari Arab Saudi, serta Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat.
Selain merk tersebut, Keluarga Kwee sendiri juga sudah memiliki beberapa merek lain seperti Henderson, yang disebut-sebut sebagai Rolls Royce-nya sepeda motor, lalu masing-masing dua unit Fiat dan Lancia, dan menyusul kemudian beberapa model merek Marmon dari Amerika, termasuk seri yang terakhir, yaitu Model 78 Sedan 1929 yang dibeli sekitar tahun 1930.
Anggota-anggota keluarga Kwee sangat menikmati perjalanan dengan mobil-mobil mewah mereka, entah itu sekadar mengunjungi tempat pemakaman keluarga dan kerabatnya atau dalam rangka wisata akhir pekan dan bepergian mengunjungi acara seperti Pasar Gambir di Jakarta dan Surabaya.
Bagi mereka tampil di hadapan publik merupakan persoalan yang cukup penting karena menyangkut penegasan status sosial elit mereka di tengah masyarakat. Mereka mengeksklusifkan diri dari lingkungan sekitarnya.
Untuk membuat takjub orang-orang yang mereka kunjungi maupun orang-orang di sekelilingnya, penampilan dalam berbusana menjadi perhatian utama. Para anggota Keluarga Kwee memilih mengenakan busana-busana yang modern meskipun dianggap kontroversial.
Sebagian anggota keluarga pria bahkan tampak terpengaruh dengan perkembangan industri perfilman dunia. Ketika musik Jazz sedang populer, mereka mulai mengenakan celana panjang, berbagai jenis topi modern seperti fedora, topi homburg dan panama, jaket putih pendek, kemeja putih dengan dasi, sepatu kulit yang modis dan juga mantel sepanjang kaki yang longgar.
Sama halnya dengan para wanitanya. Liem Hwat Nio dan Be Kiam Nio yang menjadi anggota Asosiasi Nyonya-nyonya Rumah Tangga (Vereniging van Huisvrouwen) di Bandung dan Cirebon, senang mengenakan setelan jas wanita. Mereka memakainya ketika pergi belanja, pelesiran atau sekadar hadir dalam acara-acara perkumpulan sosial elit yang digagas oleh elit-elit Belanda yang berada di bawah naungan Nyonya Anna Cornelia de Jonge, istri dari Gubernur Jenderal Bonafacius Cornelis de Jong.
Setelan jas wanita yang dikenakan itu umumnya terdiri dari rok selutut, jaket, blus atau kemeja wanita dan dasi, tak ketinggalan pula topi yang modis. Dalam salah satu foto yang berjudul "Queens of the Road", Liem Hwat Nio bersama Kwee Lee Nio bahkan berpose layaknya bintang film dengan topi lipat besar, blus lengan kembung modern serta rok sutra panjang berwarna gelap.
Seluruh Keluarga Kwee Tahun 1935 bersama Lee Sioe Nio (18) dan Lee Giok Nio (20)
Tahun 1945-1949 Keluarga Kwee yang kebetulan bertetangga dengan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Syahrir, menawarkan kompleks mereka sebagai tempat negosiasi perdamaian Belanda-Indonesia. Linggarjati terletak di tengah di antara markas besar dua kubu yang bertikai: Batavia dan Yogyakarta. Di kompleks itulah Perjanjian Linggarjati tanggal 15 November 1946 yang bersejarah dirundingkan.
Kesenjangan sosial yang terus meningkat dan semakin lemahnya pengaruh politik Keluarga Kwee setelah Indonesia merdeka dari Jepang dan Belanda, membuat satu-persatu anggota Keluarga Kwee mulai meninggalkan Indonesia menuju Belanda. GOSIPNYA salah satu anggota Keluarga Kwee yang meninggalkan Indonesia adalah Henry Kwee.
KELUARGA HENRY KWEE
Henry Kwee Hian Liong (Guo Xianliang 郭贤良)
lahir di Yuxi, Fuqing, Fujian, Tiongkok
meninggal 23 April 1988
istri: Kho Lang Sit
anak:
Kwee Liong Keng (Guo Lianggeng 郭良耿) lahir 13 Februari 1945 di Jakarta
istri: Chua Lee Eng
anak: Tsui Lin, Wei Lin, Yi Lin, Su Lin
Kwee Liong Tek (Guo Liangde 郭良德) lahir 1946 di Bandung
istri: Donna Aratani
anak: Melissa, Alison, Stephanie, Evan
Kwee Liong Seen (Guo Liangcheng 郭良成)
istri: Chin Wai Pin
Kwee Liong Phing (Guo Liangping 郭良平)
USAHA PONTIAC LAND GROUP
Integrated Development
-Millenia, Singapura
-Pulau Fari, Maladewa
Commercial
-Millenia Tower, Singapura
-Centennial Tower, Singapura
-Camden Medical, Singapura
-Millenia Walk, Singapura
Residential
-53 West 53, New York, Amerika Serikat
-Hana, Singapura
-Ardmore Residence, Singapura
-The Club Residence, Singapura
-The Colonnade, Singapura
Hospitality
-Capella Hotel, Singapore
-Ritz Carlton Hotel, Singapore
-Conrad Centennial Hotel, Singapore
-Regent Hotel, Singapore
-Capella Hotel, Sydney, Australia
-Patina Hotel, Pulau Fari, Maladewa
-Ritz Carlton Hotel, Pulau Fari, Maladewa
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pemerintah mulai membantu kaum pribumi dengan menyingkirkan etnis Tionghoa yang kala itu sukses di bidang ekonomi sehingga dianggap menghambat perkembangan ekonomi kaum pribumi. Tindakan fenomenal pemerintah saat itu adalah ketika pada April 1950 mengeluarkan Peraturan Benteng yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa tidak boleh mendirikan perusahaan jika tidak memiliki saham dari etnis yang lain.
Pemerintah juga memanfaatkan UU kewarganegaraan tahun 1910 yang dibuat pemerintah Belanda yang membuat orang Tionghoa memiliki kewarganegaraan rangkap dengan mengeluarkan UU No. 3/1946 tentang 'Warga Negara dan Penduduk Negara' yang membuat status kewarganegaraan penduduk keturunan Tionghoa di Indonesia bermasalah. Pada tahun 1955 lewat Konferensi Asia Afrika di Bandung, Perdana Menteri Cina, Zhou Enlai mencoba mengatasi masalah itu sehingga dibuat Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRC yang lalu disahkan menjadi UU No. 62/1958 tentang 'Kewarganegaraan Republik Indonesia'. UU No. 62/1958 melahirkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau lebih dikenal dengan SBKRI.
Pada November 1959 pemerintah juga lalu mengeluarkan PP No. 10/1959 yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia. UU No. 62/1958 dan PP No. 10/1959 membuat ratusan ribu orang Tionghoa kembali ke Cina sehingga usaha dan harta mereka di Indonesia diambil oleh kaum pribumi.
Henry Kwee yang memiliki bisnis tekstil di Bandung, Jawa Barat, pindah ke Singapura tahun 1958. GOSIPNYA karena Peraturan Benteng, bisnis tekstilnya diserahkan pada salah satu kerabatnya yang sudah lama menjadi warga negara Indonesia.
Pada tahun 1958, Singapura masih berbentuk koloni di bawah Inggris yang memerintah wilayah itu selama 144 tahun. Tahun 1959, Lee Kuan Yew terpilih sebagai Perdana Menteri. Pada 9 Agustus 1965 Singapura menjadi Republik dan berdaulat sampai sekarang.
Di Singapura, tahun 1959 Henry mendirikan Kwee Inc. Pte Ltd dan merintis bisnis properti di bawah bendera Pontiac Land Group tahun 1961. Awalnya Pontiac Land bergerak di bidang perumahan yang kemudian berkembang luas menjadi gedung perkantoran, residensial, hingga perhotelan di Singapura. Salah satu properti milik Pontiac Land adalah Hotel Capella Singapura yang terletak di Pulau Sentosa. Hotel ini menjadi tempat pelaksanaan pertemuan bersejarah antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Presiden Korea Utara Kim Jong Un pada Juni 2018.
Setelah Henry meninggal dunia tahun 1988, Pontiac Land dipimpin oleh Liong Keng selaku anak tertua. Di Indonesia, melalui anak usaha Brewin Mesa, Pontiac Land membangun The Lana, kondominium mewah setinggi 38 lantai di Alam Sutera, Tangerang Selatan. Nilai investasi proyek ini diperkirakan mencapai 1,3 trilyun Rupiah. Satu-satunya anak laki-laki Liong Tek, Evan, menjadi direktur di Brewin Mesa. Evan juga menjabat sebagai direktur di Pontiac Land dan menjadi Direktur Eksekutif di Capella Hotel Group Asia.
Tradisi Keluarga Kwee dilanjutkan hingga kini. Liong Keng menikah dengan Chua Lee Eng, yang keluarganya merupakan pendiri dari perusahaan Cycle and Carriage. Liong Tek menikah dengan Donna Aratani, putri dari George Aratani, pendiri Mikasa dan Kenwood. Dari pernikahan Liong Tek dengan Donna Aratani lahir Evan yang pada tahun 2013 menikah dengan Claudia Sondakh, putri dari Peter Sondakh, pemilik Grup Rajawali.
Tahun 2021 Kwee bersaudara berada di peringkat ke-9 orang terkaya di Singapura dengan kekayaan 5,5 milyar Dolar AS.
Ahadiat Wargana
GOSIP PT GISTEX
GOSIPNYA bisnis tekstil yang ditinggalkan Henry Kwee pada tahun 1958 terus berkembang sehingga Ahadiat Wargana mendirikan PT Gistex Garmen Indonesia di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1975.
Pabriknya memproduksi kain tenun pintal dengan kapasitas 1,2 juta yard per bulan. Tahun 1980 bermitra dengan perusahaan asal Jepang, Nittobo, mendirikan pabrik spun dyeing / printing / finishing dengan kapasitas 2 juta yard per bulan. Tahun 1986 fasilitas spun dyeing, printing dan finishing dimodernisasi untuk menembus pasar dunia. Perusahaan pun mulai mengekspor kain pintal.
Tahun 1987 Unit Pemrosesan Lagadar dan Nanjung mulai beroperasi, dibantu oleh teknologi Sunkyoung untuk penenunan & pemrosesan polyester dengan kapasitas 1 juta yard/bulan. Tahun 1990 144 set alat tenun shuttle dipasang untuk meningkatkan tenun polyester dengan kapasitas 1,2 juta yard/bulan. Tahun 1993 pabrik pengolahan polyester baru didirikan untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Tahun 1994 Unit Tenun Purwakarta didirikan bersama dengan Unit Tenun polyester baru lainnya di Jawa Barat. Unit Tenun Lagadar dan Unit Pengolahan Lagadar pun diperbesar. Tahun 1997 Gistex Chewon Synthetic (G & C) didirikan bekerjasama dengan Perusahaan Korea dan Jepang untuk memproduksi benang dan kain khusus dengan kapasitas 400 ton/bulan.
Tahun 1998 bekerjasama dengan Perusahaan Jepang meluncurkan Gistex Nisshinbo Indonesia (G & N) yang bergerak dalam spesialisasi pencelupan kapas dengan kapasitas 2,5 juta yard/bulan. Unit Tenun Lagadar juga dilengkapi lebih banyak fasilitas untuk memproduksi kain berkualitas tinggi dengan menggunakan benang alam. Unit Pengolahan Nanjung juga dimodernisasi lini produksinya untuk memproses kain viscose berkualitas tinggi dan kain pintal khusus lainnya dengan kapasitas 500.000 yard/bulan.
Henry Wargana
Henking Wargana
Sekilas perusahaan seperti tidak ada kendala, padahal sedang menuju kehancuran. Untunglah Henry dan Henking masuk ke perusahaan di saat yang tepat. Ahadiat memiliki 5 anak. Setelah lulus dari Ohio State University, Amerika Serikat, di bidang keuangan tahun 1997, Henry kembali ke Indonesia dalam keadaan yang sulit: krisis moneter dan pemogokan kerja oleh karyawan produksi terhadap manajemen ekspatriat.
Ahadiat mencoba menerapkan profesionalisme dan manajemen yang ketat di perusahaan dan akibatnya mempekerjakan seorang manajer Korea. Sayangnya, manajer tidak berhasil karena kurangnya pengetahuan tentang perbedaan budaya antara karyawan Indonesia dengan Korea. Ketidaktahuannya mengakibatkan pemogokan karyawan dan hampir menyebabkan perusahaan bangkrut.
Henry yang lama mengenyam pendidikan di Singapura, berhasil menggabungkan profesionalisme bernuansa kekeluargaan ala Asia dengan profesionalisme ketat ala Barat, membuat Henry menjadi profesional Indonesia yang bijak. Pendelegasian dan desentralisasi wewenang kepada para profesional, tanpa menghilangkan perbedaan identitas bisnis keluarga, memungkinkan Henry membawa bisnis keluarga ke fase perkembangan berikutnya.
Henry sempat masuk ke divisi tekstil tahun 2003-2005 lalu beralih ke divisi garmen karena ia lebih menyukainya. Divisi tekstil dan benang lalu dilanjutkan oleh adiknya, Henking yang baru lulus kuliah bidang keuangan dari Santa Clara University, San Fransisco, Amerika Serikat pada tahun 2006. Saat itu kondisi divisi tekstil dan benang lebih berat dibanding garmen.
Tahun 2006 omset perusahaan terpangkas tinggal 25%. Pesanan dari pelanggan untuk produk tekstil terbilang sepi sehingga terpaksa mengurangi jumlah karyawan dari diatas 3.000 orang menjadi dibawah 1.000 orang. Salah satu penyebabnya karena agak terlambat meremajakan mesin-mesin produksi tekstil sehingga tidak efisien sehingga kalah bersaing dengan produsen asal Tiongkok.
Suasana kerja di perusahaan juga kurang kondusif karena ada kecemasan karyawan terhadap masa depannya sehingga karyawan kehilangan semangat dan antusiasme. Terlebih saat itu Ahadiat sedang menderita penyakit liver sehingga pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan dengan cepat.
Awalnya Henking masuk ke bagian produksi, namun setelah 3 bulan ia meminta pindah ke bagian penjualan. Di bagian ini ia mempelajari kenapa pesanan berkurang dan apa keinginan pelanggan. Salah satu keuntungannya saat itu ia masih muda, sehingga bisa bergaul dengan semua golongan karyawan. Ia bisa mengobrol dengan karyawan secara dua arah, untuk belajar sekaligus memberi saran.
Ia ingin mengembalikan motivasi karyawan agar mau memperbaiki kondisi yang ada demi kemajuan bersama. Langkah awal yang dilakukannya adalah dengan cara mengumpulkan karyawan dalam forum-forum dan karyawan diminta berbicara tentang aspirasi, saran, maupun keinginan. "Tapi kita coba berkali-kali nggak ada yang mau ngomong. Entah karena alasan apa," kenang Henking.
Akhirnya ia mencoba caran lain: seluruh karyawan diberi selembar kertas saran dan masukan tanpa identitas dan diserahkan langsung ke Henking, tidak melalui atasan. Lembaran saran itu biasanya dibagikan menjelang libur lebaran Idul Fitri.
"Itu saya lakukan tiga tahun pertama saya ditugaskan di sini. Mereka baru mau memberi saran setelah pakai kertas tanpa nama," kenangnya. "Isi sarannya macam-macam, dari soal ruang tempat kerjanya yang gelap atau kurang lampu, menu makanan katering yang tidak sesuai selera lidahnya, soal baju seragam, soal atasan atau rekan kerjanya yang memperlakukannya tidak adil, dan banyak sekali, karena ada 1000 surat tiap tahun saya baca," ungkap Henking.
Henking lalu menindaklanjuti dan mencoba memperbaiki satu demi satu masalah, disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Misalnya soal katering, dari survei internal ternyata makanan yang paling disukai ialah ayam dan ikan, dan harus ada saus-sambal yang takarannya bisa diatur sendiri oleh masing-masing karyawan. Hal itu membuat rata-rata biaya per menu katering di Gistex 30% lebih tinggi dari katering yang biasa diberikan perusahaan sejenis lainnya.
"Tapi tidak semua saran bisa langsung diperbaiki. Misalnya ada yang beri saran 'ruang kerja gelap, kurang lampu', saya tidak bisa cepat diperbaiki dengan menambah lampu karena surat itu tanpa nama sehingga ruang kerja gelap mana yang dimaksud, mencarinya juga agak susah. Ini pabrik 20 hektar," ungkap Henking sambil tertawa.
Bukan hanya dengan mencoba menyerap aspirasi karyawan, Henking juga berusaha melakukannya dengan memberi contoh. Misalnya soal ketertiban dan kebersihan gedung dan fasilitasnya, ia memberi contoh ke karyawan bahwa ia juga melakukannya. "Bahkan suatu waktu saya tunjukkan ke karyawan bahwa saya juga pegang kotoran di toilet dengan tangan saya untuk membersihkan. Tujuannya agar karyawan tahu bahwa saya juga melakukan hal yang mereka lakukan," ungkap Henking.
Pun demikian dalam hal pakaian seragam, ia mengenakan seragam yang sama dengan karyawan pabrik. "Saya mengambil ini dengan acak, ini bukan seragam yang khusus dibuat untuk saya. Ini bahannya sama persis 100% dengan karyawan produksi," papar Henking.
Bagi Henking, kedekatan dengan karyawan sangat penting. Ia teringat waktu awal-awal di Gistex, karena pesanan sepi dan karyawan hanya bekerja Senin-Kamis, ia biasa mengajak karyawan untuk membereskan taman dan lingkungan pabrik, dengan melakukan penanaman atau penghijauan. Dari situ ia bisa belajar menanam dari karyawan. Setelah dekat dengan karyawan, ia lebih mudah untuk mengajak mereka mengembangkan perusahaan.
Untuk meningkatkan pesanan, Henking mengajak karyawannya, khususnya di bagian pemasaran dan produksi, untuk menghasilkan produk yang benar-benar diinginkan pelanggan. Ia dan timnya lalu mendatangi para pelanggannya satu per satu, termasuk ke perusahaan yang pernah menjadi pelanggan namun sudah tidak membeli lagi.
"Kepada yang pernah menjadi pelanggan namun sudah tidak order lagi, kita tanya kenapa sudah tidak order, produk seperti apa yang sebenarnya mereka inginkan, jenisnya, berat-ringannya, texture-nya, dan lain-lain. Kita tanya kekurangan produk kita dimana. Kita tanyai satu per satu agar kita bisa mengembangkan diri sesuai keinginan pembeli," kata Henking.
Tak hanya aktif mendatangi dan menyerap pelanggan dan juga perusahaan yang pernah menjadi pelanggan, Gistex juga lalu mengubah arah produknya, dari yang semula lebih banyak menghasilkan produk-produk tekstil dasar kearah produk-produk tekstil fashion. "Kita naik kelas. Kalau main di tekstil basic, pemain dari China banyak sekali. Pemain lokal juga banyak. Makanya kita main di fancy, produk-produk tekstil fashion, yang kualitasnya lebih tinggi dari China dan sulit China masuk," Henking memberi alasan. Sebelumnya produk tipe ini sudah diproduksi Gistex, namun hanya dalam porsi sangat kecil dibanding produk fashion.
Hanya saja strategi naik kelas itu bukan tanpa konsekuensi. Dari sisi produksi misalnya, Gistex harus berusaha mengejar dan banyak belajar. Model bisnis antara tesktil dasar dan fashion juga berbeda. "Kalau produk fashion itu siklus produk cepat. Sebuah produk bisa cepat mati sehingga kita harus banyak menciptakan produk baru. Selain itu kita harus follow customer, bukan customer follow kita," terang Henking. Tak hanya itu, dulu waktu bermain di tekstil dasar, mindset-nya ialah menyediakan produk dan membangun stok. "Prinsip itu diubah menjadi made to order, bukan made to stock. Ada resiko sih, tapi margin bisa lebih tinggi. Kita harus me-manage resiko, dan jangan sampai membuat stok untuk produk yang sudah out of fashion," Henking menjelaskan.
Strategi itu tak bisa dijalankan terpisah. Sebab itu juga dibarengi peningkatan kemampuan produksi dan permesinannya. Gistex sejak 2003 mulai melakukan peremajaan mesin-mesin produksi serta menjual mesin-mesin tua yang sudah tidak kompetitif. Langkah itu sudah dimulai saat Henry mengelola divisi tekstil (2003-2005) yang lalu ia lanjutkan. Diantara mesin-mesin yang dijual ialah mesin-mesin pada divisi bisnis printing dan mesin-mesin penenunan, dan kemudian diganti mesin-mesin baru yang lebih efisien, otomatis, dan modern.
Pergeseran strategi itu dilengkapi dengan penyempurnaan proses dan organisasi. Bila sebelumnya berprinsip satu orang mengelola dan mengontrol semua pekerjaan, lalu diubah jadi spesialisasi dan kompetensi masing-masing ditingkatkan. Sejak 2009 Gistex mengandalkan ERP Oracle untuk manajemen data dan informasi.
Kemajuan didapat berkat kememimpinan yang mengedepankan profesionalisme berbasis kekeluargaan. "Saya memposisikan diri saya di depan karyawan sebagai seorang ayah, bukan bos," ungkap Henking. Pendekatan itu terus ia jelaskan ke karyawannya. "Saya bilang ke karyawan, kalau saya sudah tidak mau menegur ke salah satu dari kalian, berati itu malah buruk. Kalau saya tegur itu karena sayang supaya kita semua bisa lebih baik. Kamu juga bisa lebih baik," ia menjelaskan prinsip kepemimpinannya.
Peningkatan kesejahteraan karyawan terus diupayakan di Gistex. "Gaji karyawan sudah pasti harus diatas UMR, karena kami juga berpikir bagaimana seandainya kami menjadi karyawan seperti mereka," ungkap Henking seraya menyebutkan Gistex juga memberikan beasiswa untuk anak asuh (dari SD sampai universitas). Gistex berusaha tak hanya baik kepada karyawan sehingga juga terbuka bagi kunjungan mahasiswa untuk studi banding.
"Kinerja kita (sekarang) sudah 20% melebihi prestasi terbaik kita sebelum krisis 2003," ungkap Henking. Sebuah hal yang menarik karena jumlah karyawannya sekarang hanya 1.300 orang dibanding dulu yang lebih dari 3.000 orang. GOSIPNYA penjualan divisi tekstil dan benang kini sudah diatas 1 trilyun Rupiah. Sekitar 90% produknya ditujukan untuk ekspor ke Eropa, Timur Tengah, Jepang, China dan beberapa negara lain.
Hie Min Tjhin
Bentuk nyata perubahan bisnis tekstil dasar ke fashion adalah pendirian Rumah Mode dan peluncuran fashion merek Minimal. Tahun 1995 istri Ahadiat, Hie Min Tjhin mulai membuka usaha garmen di rumahnya di Jalan Setiabudi nomor 41, Bandung dengan nama Texa. GOSIPNYA karena produksinya terlalu banyak, ia mulai menjual pakaian di rumahnya pada tahun 1998 dengan nama Rumah Mode. GOSIPNYA ide ini dicetuskan oleh Hario Aldi Adhisaputra yang merupakan lulusan sekolah desain.
Pada tahun 2004 Rumah Mode diperluas dan konsep pun diubah menjadi one stop shopping dengan menambahkan taman, kolam, kafe, hingga tempat permainan anak-anak. Sejak tahun 2005 Rumah Mode menjual pakaian sisa ekspor dan melakukan promosi secara agresif dan bekerjasama dengan beberapa production house seperti Multivision Plus, Soraya Intercine Films, Rapi Films, Prima Entertainment, Persari Film, Indika Entertainment, Starvision Plus, Sinemart, MD Entertainment, dan sejumlah stasiun televisi nasional dimana logo Rumah Mode ditampilkan pada Credit Title. Tahun 2017 Rumah Mode dikunjungi 1.300 orang pada hari biasa hingga 4.000 orang pada akhir pekan.
Tahun 2002 merek pakaian baru diluncurkan dengan nama Minimal. Nama itu dipilih dengan tujuan pakaiannya bisa dipakai sehari-sehari oleh siapa saja dengan harga terjangkau. Meski koleksinya ditujukan untuk pasar dalam negeri, desain Minimal merujuk pada empat musim di luar negeri, yaitu spring (musim semi), summer (musim panas), fall (musim gugur), dan winter (musim dingin). Pada saat musim semi, Minimal banyak membuat koleksi pakaian Imlek; saat musim panas, membuat koleksi batik edisi terbatas; saat musim gugur dan dingin, Minimal membuat pakaian Natal. "Salah satu ciri khas Minimal adalah motif bunga-bunga," ujar Hesty Halim, General Manager (GM) PT Gistex Retailindo yang menaungi merek Minimal.
Selain strategi promosi mulut ke mulut, Minimal menggandeng duta merek, seperti Titi Kamal pada 2017 dan 2018. Pada 2016, duta merek Minimal adalah Maria Harfanti, pemenang kontes kecantikan Miss Indonesia 2015 dari Yogyakarta sekaligus 2nd Runner-Up Miss World 2015 dan Miss World Asia 2015. Tak hanya itu, Minimal juga menggandeng para influencer dan fashion blogger seperti Dhea Ananda (mantan penyanyi cilik) dan Glory Oyong (pembawa berita di sebuah stasiun televisi).
Hingga 2018 telah ada 86 gerai milik sendiri untuk lima varian mereknya: Minimal Everyday menyasar pengguna sehari-hari, Minimal Gold menyasar wanita kelas menengah ke atas usia 25-35 tahun, Tres Jolie menyasar remaja 17-25 tahun, Minimal Man menyasar pria 25-35 tahun, Enzorro menyasar pecinta olahraga.
Gerai terbanyak adalah Minimal Everyday, sekitar 86 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Cabang Minimal pertama ada di Istana Plaza, Bandung. Cabang pertama di Jakarta dimulai tahun 2005. Mal yang menjadi target adalah mal kelas menengah. Pertambahan gerai Minimal cukup signifikan: 5 gerai pada 2005; 34 gerai pada 2010; 75 gerai pada 2015; 86 gerai pada 2017.
Pada 27 Juli 2015 melalui Yayasan Giscare (singkatan dari Gistex Care), Sekolah Dasar Bimasena didirikan di Bandung dan di Purwakarta tahun 2017. Pada 30 Maret 2018 dinas pendidikan Kabupaten Purwakarta menghentikan operasional sekolah tersebut karena selain tidak memiliki izin operasi, GOSIPNYA masyarakat menganggap ada upaya kristenisasi juga.