Perry Tristianto

 Perry Tristianto Tedja
lahir 22 Februari 1950 di Bandung
ayah: Atiman Tedja (The Ek Liang)
ibu: Netty Tedja (Tjiam Yoe Nio)
adik: Vidyati Tedja (suami: Uke Ridwan)
Viva Themajanty Tedja (suami: Suharjun Tjawinoto)
istri: Elen Berkah
anak: Andrian Prasetya (istri: Jessica Simadibrata Sim)
Mesayu Pradita (suami: Michael Arno Karizma)

USAHA WISATA & KULINER
-All About Strawberry, Cihanjuang KM 2,5 Cimahi
-Taman Kupu-Kupu, Cihanjuang KM 3,8 no. 58 Cimahi
-The Historich, Gatot Soebroto 19 Cimahi
-Floating Market Lembang, Grand Hotel 33E Lembang
-De Ranch, Maribaya 17 Lembang
-Lembang Wonderland, Raya Lembang 177 Lembang
-Rumah Stroberi, Cigugur Girang 145 Lembang
-Farmhouse, Raya Lembang 108 Lembang
-The Great Asia Africa, Raya Lembang 71 Lembang
-Kampung Baso, Setiabudi 316 Bandung
-Rumah Sosis, Setiabudi 295 Bandung
-Makan-Makan Cafe & Rumah Ubi, Sawunggaling 2 Bandung
-Lemongrass Spa, Sawunggaling 4 Bandung
-Bandung Food Festival, Sumatera 5 Bandung
-Praoe Seafood, Sumatera 31 Bandung
-Bali Heaven, HOS Tjokroaminoto 185-189 Bandung
-Rumah Sosis, Oro Oro Ombo (depan Batu Night Spectacular) Batu

USAHA FO
-Big Price Cut, Aceh 66 Bandung
-Bale Anak, Sumatera 31 Bandung
-Aamani Store, Martadinata 18 Bandung (eks Emirates, Sahara, Rich & Famous)
-Unusual, Martadinata 28 Bandung
-Galeri Lelaki, Martadinata 36 Bandung
-The Secret, Martadinata 47 Bandung (eks China Imperium)
-The Oasis, Martadinata 51 Bandung
-The Summit, Martadinata 61 Bandung
-The Heritage, Martadinata 63 Bandung
-The Stocks Town, Buah Batu 178 Bandung

GOSIPNYA
Sejak kelas 2 SD, ia sudah terbiasa membantu orangtua di toko kelontong milik mereka di jalan Jend. Sudirman, Bandung. Saat kelas 6 SD, ia sering ditinggalkan sendirian menjaga toko. Mulai dari melayani pembeli, jualan borongan, hingga tutup toko, sudah biasa ia lakukan sendiri. Ia terbiasa mencari uang tambahan karena uang jajan yang diberikan orang tuanya hanya cukup untuk jajan. Uang jajannya hanya Rp. 20 sedangkan untuk membeli mi yang enak harganya Rp. 25. Akhirnya, ia hanya bisa membeli mi biasa yang harganya Rp. 10.

Seperti pedagang pada umumnya, kadang orang tuanya untung, kadang pas-pasan. Ia berhasil mendorong mereka agar bekerja di bank swasta sedangkan Perry mengurus toko kelontong mereka. Uang tambahan hasil dari berjualan kaus, roti bagelen, dsb. ia kumpulkan untuk usaha ternak ayam.

Ketika masih kuliah jurusan Administrasi Niaga di UNPAR, Bandung, ia mengubah pekarangan rumah orang tuanya di jalan Garuda jadi peternakan ayam. Dari bisnis 1500 (GOSIP lain mengatakan 500 dan 3000) ekor ayam yang beromset 600 ribu (GOSIP lain bilang 400-500 ribu) per bulan itu, ia memutuskan pindah ke Stanford College, Singapura, karena waktunya lebih singkat dibanding di UNPAR. "Terus terang kuliah yang di UNPAR saya tinggalkan setelah naik tingkat 2, karena saya pikir bakal lama kuliah di UNPAR, bisa 5-6 tahun baru lulus. Sementara di Singapura Cuma 3 tahun," kata Perry.

Tahun 1984, pulang dari Singapura ia bekerja sebagai direktur perusahaan rekaman kaset Alpine Record yang bertahan selama 4 tahun. Gajinya waktu itu Rp. 500 ribu per bulan. Perusahaan rekaman tersebut akhirnya gulung tikar karena tak mampu lagi membayar royalti kepada para artis.

Putra sulung Tedja Prayogi ini banyak kenal dengan toko kaset. Lalu ia memproduksi kaus bergambar musisi jazz luar negeri. Modalnya didapat dari tabungan gaji selama bekerja di Alpine Record sebesar Rp 1,3 juta. Ia sering membeli majalah musik Billboard agar bisa mengutip judul lagu untuk disablon. Ia memesan kaus dari C59. Hasil produksinya dititipkan di toko-toko kaset.

Setiap ada konser di Balai Sidang Senayan, ia langsung memproduksi gambar artis yang sedang pentas. Sendirian ia menjual kaus di lapangan parkir gedung. Di luar acara itu, tiap Sabtu dan Minggu ia berjualan kaus di depan restoran Rindu Alam, Puncak. Menurutnya waktu itu tidak banyak orang melakukan hal itu. Harga sehelai kaus saat itu sekitar Rp 5 ribu, ia malah menjual kaus-kausnya Rp 15 ribu. Berhubung tak ada saingan, orang tetap saja membeli.

Pasar yang ia ciptakan itu mulai dicari orang. Ketika jeans booming tahun 1990-an, ia membuka sebuah outlet di rumah orang tuanya di Cihampelas, Bandung (GOSIP lain menyebutkan ia menyewanya). Ia memiliki 6 toko (GOSIP lain bilang 4) dan menciptakan merek Blue Notes. Penjualan waktu itu bisa mencapai 20-30 ribu potong per bulan.

Blue Notes berhasil masuk ke department store terkenal untuk ikut dipasarkan. Tapi ia kecewa dan memutuskan kerja sama itu. ”Kerja sama dengan perusahaan besar terkadang tidak enak karena mereka menentukan segalanya sampai ke masalah harga jual dan keuntungan yang bisa saya peroleh,” kata Perry. Usahanya sempat goyang. Toko yang mengambil barang Perry baru bisa melunasi 4 bulan setelah barang laku.

Suami Elen Berkah (GOSIPNYA ia kenal di klub badminton saat masih SMP) ini lalu membuka bisnis busana secara retail di 14 perumahan di Jakarta (GOSIP lain bilang Depok dan Bekasi juga) dan Bandung. Tujuannya agar bisa secepatnya memperoleh uang secara cepat dari penjualan. Pemilihan lokasi di perumahan mencontek konsep Indomaret: mendekatkan diri ke konsumen. Ia beralasan Indomaret sudah melakukan riset pasar.

GOSIPNYA usaha yang ia beri nama Gudang Stock ini disambut luar biasa oleh konsumen dan ia memperluas usahanya ke tempat lain. GOSIP lainnya mengatakan usahanya kali ini tidak berhasil karena ia salah memilih target. Kebanyakan penghuni perumahan tidak begitu mengerti merek sehingga mereka tidak paham, kenapa barang-barang sisa ekspor yang ia jual harganya murah. Maka ia pun mencari lokasi lain.

Tahun 1995 dengan pinjaman Rp. 250 juta dari Bank Danamon, ia membuka outlet busana sisa ekspor seluas 200 m² di Graha Manggala Siliwangi yang diberi nama The Big Price Cut dengan motto ”We cut the price but not the quality”. “Saya tak ingat lagi buku apa tapi itu motto sebuah toko,” kata pria yang memang kutu buku itu. Karena dananya terbatas, ia membagi hasil dengan pemilik gedung.

Perry memperluas usahanya ke Surabaya, Makassar, Bali dan Jakarta. Namun karena susahnya melakukan pengawasan, setahun kemudian cabang di Surabaya, Makassar dan Bali ditutupnya. “Biaya perjalanan ke kota itu saja sudah besar sementara saya harus sering ngontrol,” katanya.

Krisis Ekonomi tahun 1997-1998 membuat segmen pasar kelas atas berbelanja di tokonya karena mereka menginginkan pakaian bermerek dengan harga hemat. Tahun 1999 ia membuka outlet di jalan Otten dengan nama Factory Outlet Store (FOS). Nama FOS terinspirasi dari nama tempat usaha serupa seorang kawannya di Malaysia. Sejak pembukaan FOS itulah istilah "Factory Outlet" menjadi terkenal. Para pengusaha ramai-ramai ikut mendirikan FO, meski akhirnya tak ada satupun FO bertahan di kawasan ini karena memang di jalan ini tidak diizinkan untuk berdirinya FO.

Definisi FO menurutnya adalah toko untuk menjual pakaian yang terlihat murah. "Pada dasarnya FO menjual barang sisa ekspor, dimana orang mencari barang bermerek sesuai dengan yang original tapi dengan harga miring," ujarnya. Menurutnya saat ini konsep FO sudah bergeser dari konsep dasarnya sebab banyak produk dari Jakarta atau produk-produk yang pasaran turut meramaikan FO.

Tidak ada pelanggan setia dalam bisnis tersebut sehingga ia harus terus melakukan inovasi. Orang Bandung sangat tergila-gila dengan hal baru sehingga nama baru diperlukan agar tidak jenuh. Tahun 2000 ia membuka outlet baru dengan nama The Stocks Town di jalan Buah Batu.

Ia memprediksikan bahwa konsumen akan jenuh dengan busana sisa ekspor. Karena itu pada akhir tahun 2000 ia membuka outlet semi butik Rich & Famous yang menargetkan segmen pasar selebritis dengan semboyan Celebrities Choice.

Menurutnya di tahun 1980-an, orang berpikir kalau Cihampelas adalah satu-satunya kawasan jeans terkemuka di Indonesia. Artinya, jika ingin membeli jeans yang berkualitas baik dengan model oke, hanya ada di Cihampelas Bandung. Namun ketika jeans mulai masuk department store dan bisa didapatkan di mana-mana maka orang mulai berpikir, buat apa harus ke Cihampelas kalau barangnya bisa didapatkan di kota mereka.

Hingga saat ini, sebagian besar konsumen outlet Perry adalah warga Jakarta karena orang Jakarta memiliki brand knowledge yang baik. Mereka tahu bahwa merek seperti GAP, Calvin Klein, dsb. itu sangat mahal di luar negeri. Di FO, harganya cuma 25-30 persen dari harga di luar negeri. Dalam sebulan, sekitar 100 ribu potong pakaian laku terjual di beberapa outletnya. Harganya bervariasi antara Rp. 5-100 ribu. Yang paling laku adalah busana seharga Rp. 20-30 ribu.

Menurutnya banyak orang salah mengerti tentang busana sisa ekspor. Mereka berpikir bahwa sisa ekspor pasti jelek, padahal tidak selalu begitu. Ia mengklaim hanya menjual pakaian grade A atau sama dengan kualitas barang yang dikirim ke luar negeri.

Ketika merasa era FO sudah jenuh, ia memperkenalkan konsep Boutique Outlet (BO). Konsep itu ia terapkan di gerai The Summit pada tahun 2001. BO berikutnya ia bangun di kawasan Dago dengan nama Happening. Pada tahun 2000 ia mulai terjun ke bisnis kuliner dengan membuka All About Strawberry karena saat itu sedang booming film Strawberry yang dibintangi oleh Rachel Maryam.

Agar wisatawan tidak jenuh dengan FO, ia membuka bermacam tempat lain seperti De Ranch, Rumah Sosis, Kampung Baso, Bali Heaven, dan lainnya. Pada akhir tahun 2011, ia membangkitkan kembali merek Factory Outlet Store yang dibangun di sebelah Kampung Baso. GOSIPNYA sih Kampung Baso yang makanannya dianggap terlalu mahal ikut membuat FOS sepi pengunjung hingga akhirnya keduanya ditutup.

Pada bulan Oktober 2012 gedung Societet Voor Officieren yang dibangun Belanda tahun 1886 di Cimahi beralih fungsi dari gedung DPRD pada tahun 2001-2005 menjadi gedung serbaguna. Gedung ini mengalami perombakan dan namanya menjadi The Historich, diambil dari kata history dan rich yang artinya kaya akan sejarah. Ia menyewa tempat ini dan menjadikannya tempat usaha.

Pada bulan Desember 2012 ia membuat tempat wisata unik berupa pasar terapung ala Banjarmasin yang dinamakan Floating Market Lembang (FML). Beberapa hari setelah soft opening, FML menggelar pesta besar menyambut pergantian tahun. Dengan membeli tiket seharga 200 ribu Rupiah, pengunjung mendapatkan makan malam, hiburan dari Tjimahi Choir, Sakatalu, Rhapsodhy Nusantara, Dizzie Dance, Magic, Ludy Houdyni, dan Historich Home Band. Selain itu pengunjung juga disuguhi meriahnya pesta kembang api.

GOSIPNYA FML hanya buka pada hari Jumat, Sabtu, Minggu dan hari libur nasional sedangkan pada hari biasa FML dipakai untuk pemotretan. Tiket yang dijual untuk saat ini adalah Rp. 10 ribu per orang sedangkan untuk wahana airnya ada 4 macam yaitu:
-Kano Rp. 50 ribu selama 30 menit (maksimal 2 orang)
-Sampan Rp. 70 ribu selama 30 menit (maksimal 4 orang)
-Sepeda Air Rp. 50 ribu selama 30 menit (maksimal 2 orang)
-Paddel Bot Rp. 30 ribu selama 15 menit (maksimal 2 orang)

Pada Desember 2015 ia membuka sebuah tempat wisata baru yang langsung terkenal: Farmhouse. Tempat wisata baru ini menawarkan hal yang sangat disenangi masyarakat yaitu berfoto. Ada banyak pilihan yang ditawarkan yaitu rumah Hobbit, rumah rumput, rumah koboi, sungai gembok cinta, curug mini, petting zoo, dan lainnya. Pengunjung juga dapat menyewa kostum ala Eropa dengan latar belakang rumah Eropa klasik. Wisatawan lokal menyebut tempat ini sebagai tempat wisata selfie.

Pada 17 Agustus 2019, Tahu Lembang diganti menjadi wisata selfie dan tempat bermain anak: Lembang Wonderland. Pada 22 November 2019 ia membuka lagi tempat wisata baru di seberang Farmhouse: The Great Asia Africa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.