Pasar Gambir tahun 1922
Pada 31 Agustus 1898 untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina, diadakanlah Pasar Gambir, sebuah pasar malam yang diadakan di Koningsplein (kini komplek Monumen Nasional), Batavia. Pasar Gambir lalu diadakan secara rutin setiap tahun pada pertengahan Agustus-September.
Pasar Gambir diramaikan oleh berbagai tontonan, pameran, rumah makan, dan pedagang kaki lima. Pada awalnya Pasar Gambir hanya berlangsung selama satu minggu tapi karena minat masyarakat sangat tinggi maka acara tersebut diperpanjang hingga dua minggu dari jam 10 pagi hingga 12 malam. Pada tahun 1906, jumlah pengunjung kegiatan ini tercatat mencapai lebih dari 75.000 orang baik dari dalam maupun luar Batavia dimana harga karcis untuk pribumi adalah 10 sen, sedangkan untuk orang Belanda sebesar 25 sen.
Pasar malam ini diberhentikan sejak tahun 1942 ketika Jepang menjajah Hindia Belanda. Pada tahun yang sama untuk menarik hati penduduk, Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta.
Suatu hari ketika menginspeksi kebersihan Monas pada tahun 1968, asisten Gubernur Djumatidjin mengusulkan ide pada sang Gubernur, Ali Sadikin, untuk mengembalikan Pasar Gambir dengan nama Djakarta Fair. GOSIPNYA pada acara tahun ini pula stan American Donut, mengenalkan donat yang digoreng dengan mesin otomatis sehingga kehadiran waralaba Dunkin Donuts pada tahun 1985 di Indonesia disambut dengan baik.
Pada tahun 2005 munculnya donat modern J. CO membuat Dunkin Donuts seakan terlupakan. GOSIPNYA pada awal pembukaannya, banyak orang rela mengantri lama hanya untuk membeli donat yang sangat harum tersebut. Warnanya yang jauh lebih beraneka ragam daripada donat Dunkin Donuts serta teksturnya yang begitu lembut ditambah rasa yang memanjakan lidah membawa gairah baru bagi kalangan pecinta donat di Indonesia.
Fanina Nisfulaily
GOSIPNYA melihat hal tersebut pasangan suami istri Ridwan Iskandar dan Fanina Nisfulaily membuka sebuah gerai donat di Jalan Cihanjuang 158 A Cimahi, Jawa Barat pada Mei 2010. Dengan memakai madu Sumbawa, mereka bereksperimen membuat donat madu yang berdesain dan berwarna menarik seperti donat J. CO.
Ridwan lalu mencoba mengembangkan usaha dengan cara kerja sama kemitraan. Tiga mitra pertama beroperasi di Depok, Bogor, dan Cinere dan ternyata ketiganya dipenuhi pembeli. Ridwan lalu mewaralabakan bisnisnya sejak April 2011 dengan biaya investasi 10 juta Rupiah yang telah termasuk atas penggunaan merek Donat Madu Cihanjuang, pelatihan karyawan, serta biaya promosi.
Setelah beroperasi, investor harus membayar biaya royalti sebesar 9 persen dari total omzet per bulan sedangkan kebutuhan lain seperti mesin pembuat adonan, interior gerai, etalase dan tempat usaha harus disediakan oleh para franchisee. Untuk bahan baku donat, disediakan oleh franchisor dengan biaya 7,5 juta Rupiah per bulan. Menurut simulasi hitungan Break Even Point (BEP) tahun 2013 ala Ridwan, seorang franchisee bisa mencapai BEP dalam waktu 5-6 bulan dengan cara menjual minimal 300 buah donat per hari yang akan menghasilkan omzet Rp. 900.000 atau setara dengan Rp. 27 juta per bulan.
GOSIPNYA hingga awal tahun 2013 Ridwan sudah memiliki 38 gerai cabang milik mitra dan 10 gerai cabang milik sendiri. Harga franchise pun terus meningkat dan kini telah menjadi Rp. 56,5 juta. Biaya itu telah termasuk franchise fee selama lima tahun, resep serta pelatihan senilai Rp. 20 juta sementara sisanya sebesar Rp. 26,5 juta dipakai untuk perlengkapan produksi dan bahan baku awal donat, sedangkan interior dan tempat usaha tetap ditanggung franchisee meski tidak lagi dipungut biaya royalti. Namun, bahan baku donat tetap harus berasal dari pusat demi menjaga kualitas donat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.