Dr. Lie Agustinus Dharmawan (Lie Tek Bie)
lahir 16 April 1946 di Padang
ayah: Lie Goan Hoey
ibu: Julita Diana (Pek Leng Kiau)
istri: Listijani Gunawan (Tan Lie Tjhoen)
anak: Lie Mei Phing lahir 29 April 1978
Lie Ching Ming lahir 9 November 1980
Lie Mei Sing lahir 16 September 1992
PENDIDIKAN
- SD Ying Shi, Padang
- SMP Katolik Pius, Padang
- SMA Don Bosco, Padang
- S1 Free University, Jerman
- S2 University Hospital, Cologne
- S3 Free University Berlin, Jerman
KARIR
1971: Pendiri Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Berlin
1981-1984: Pengurus Perhimpunan Dokter Indonesia di Jerman
1985- sekarang: Aktivis gereja Katolik, Jakarta
2000-sekarang: Wakil Ketua INTI (Perhimpunan Indonesia-Tionghoa) DKI Jakarta
2000-sekarang: Kepala bagian bedah RS Husada, Jakarta
2000-2006: Kepala Serikat Karyawan RS Husada
2005-sekarang: Ketua INTI Pusat bidang kesehatan
2006-2009: Kepala Komite Medik RS Husada
2008-sekarang: Pendiri Yayasan Dokter Peduli / doctorSHARE
GOSIPNYA
Saat Lie berusia 10 tahun ayahnya meninggal. Ibunya yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) harus menghidupi dan menyekolahkan ketujuh anaknya yang masih kecil. Dari mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, memasak, hingga membuat kue dilakoninya. Lie sempat membantu berjualan kue. Meski keadaan keluarganya miskin, ia malah mengagumi ibunya yang pantang menyerah. Ibunya berpesan, "Lie, kalau kamu sudah jadi dokter, jangan memeras orang kecil. Mereka akan membayar berapapun tetapi diam-diam menangis di rumah karena tidak ada makanan." Inspirasi ini melekat kuat dalam benak Lie.
Kala itu, Lie memang melihat betapa sulitnya masyarakat sekitar pergi ke dokter saat sakit. Kemiskinan membuat masyarakat terpaksa pergi ke dukun sebagai alternatif pengobatan. Lie pun pernah merasakan, saat nyawa adiknya tak tertolong karena penyakit diare akut dan terlambat ditangani oleh dokter. Hal itulah yang membuat Lie bertekad kuat menjadi seorang dokter. Saat menyampaikan cita-citanya menjadi dokter, seisi kelas tertawa. Selain belajar keras, setiap pukul enam pagi ia juga selalu berdoa di gereja yang dekat dengan sekolahnya. Doa yang sama selalu ia ulang selama bertahun-tahun: “Tuhan, saya mau jadi dokter yang sekolah di Jerman.”
Tahun 1965 Lie lulus SMA dengan prestasi cemerlang. Berulang kali ia mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas di Pulau Jawa, namun tidak diterima. Lie lalu diterima di Universitas Res Publica (URECA) yang didirikan tahun 1958 oleh para petinggi organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Namun, baru saja berkuliah beberapa hari, gedung kampus tersebut dibakar massa. Alhasil, ia tak dapat melanjutkan kegiatan perkuliahan. Lie pun memutuskan bekerja serabutan untuk membeli tiket pergi ke Jerman.
Tahun 1967 Lie mendaftarkan diri ke sekolah kedokteran di Berlin Barat, tanpa dukungan beasiswa. Ia mulai berkuliah di Fakultas Kedokteran Free University, Berlin Barat. Untuk memenuhi biaya kuliah dan kehidupan sehari-harinya, Lie bekerja sebagai kuli bongkar muat barang. Di lain kesempatan, Lie juga pernah bekerja di sebuah panti jompo yang salah satu tugasnya adalah membersihkan kotoran orang tua berusia 80 tahunan.
Lie tetap berprestasi meski sibuk bekerja sehingga ia mendapat beasiswa sedangkan uang hasil kerjanya ia gunakan untuk biaya sekolah adik-adiknya. Tahun 1974, Lie lulus kuliah dan mendapat gelar M.D. (Medical Doctor). Tahun 1978 Lie sukses menyandang gelar Ph.D. Setelah berjuang selama sepuluh tahun, Lie akhirnya lulus dengan empat spesialisasi yakni ahli bedah umum, ahli bedah toraks, ahli bedah jantung dan ahli bedah pembuluh darah.
Setelah enam bulan bekerja di Semarang, ia lalu pergi ke RS Rajawali, Bandung. Tahun 1988, Lie berkarir di RS Husada, Jakarta hingga saat ini. Kegiatan sosial pertama Lie sebagai seorang dokter bedah di Indonesia dilakukan saat mengoperasi secara cuma-cuma seorang pembantu rumah tangga tahun 1988. Selanjutnya, Lie juga terus mengupayakan bedah jantung terbuka (bedah di mana jantung dihentikan untuk dibuka dan diperbaiki). Bedah semacam ini melawan arus karena butuh peralatan yang lebih canggih dan mahal, namun harus dilakukan dalam operasi skala besar. Tahun 1992, Lie akhirnya sukses melangsungkan bedah jantung terbuka untuk pertama kalinya di rumah sakit swasta di Jakarta.
Jangankan berobat, jika makan sehari-hari pun sulit. Kesadaran ini menerpa batin Lie begitu kuat hingga akhirnya bersama Lisa Suroso (yang juga aktivis Mei 1998) mendirikan sebuah organisasi nirlaba di bidang kemanusiaan dengan nama doctorSHARE atau Yayasan Dokter Peduli pada tahun 2008. DoctorSHARE adalah sebuah organisasi kemanusiaan nirlaba yang memfokuskan diri pada pelayanan kesehatan medis dan bantuan kemanusiaan di berbagai wilayah Indonesia.
Pada akhir Maret 2009, Lie tengah melakukan operasi di RSUD Karel Satsuitubun, Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara. Di luar jadwal, datang seorang ibu bersama anak gadisnya yang berusia 9 tahun. Kedatangan tamu tak diundang itu diiringi erangan kesakitan yang terus mengalun dari mulut sang anak. Untuk sampai ke tempat itu, mereka harus menempuh perjalanan 3 hari 2 malam dari Saumlaki dengan kapal. Usai diperiksa, ternyata usus sang anak terjepit. Mestinya, gadis itu dioperasi 6-8 jam sejak ususnya terjepit. Jika tidak, ususnya bisa pecah dan berakibat fatal. Alih-alih menutup praktik pengobatan yang waktunya sudah habis, Lie langsung mengoperasi gadis malang itu.
Pada tahun 2013 bersama DoctorSHARE, Lie mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) Swasta, yang diberi nama KM RSA DR. LIE DHARMAWAN. Pelayanan medis dalam RSA dilakukan dengan cuma-cuma. Tujuan didirikannya RSA ini adalah untuk melayani masyarakat yang selama ini kesulitan mendapat bantuan medis dengan segera karena kendala geografis dan finansial, terutama untuk kondisi darurat, khususnya bagi masyarakat prasejahtera yang tersebar di kepulauan di Indonesia.
GOSIPNYA gagasan pembuatan rumah sakit apung ini sebenarnya sudah ada di benak Lie sejak tahun 2008, namun baru bisa direalisasikan tahun 2013. Lamanya proses ini disebabkan karena adanya pro dan kontra, apalagi referensi mengenai rumah sakit apung di Indonesia belum ada. Sebenarnya konsep rumah sakit apung di Indonesia sudah ada, namun milik tentara dan hanya digunakan ketika perang, sedangkan yang dimiliki swasta tidak ada. Maka lewat yayasan doctorSHARE yang ia dirikan, Lie berupaya menggalang bantuan, baik moral maupun material untuk mewujudkan idenya.
Selama 4 tahun menyelesaikan proyek rumah sakit apung ini, tim doctorSHARE awalnya sulit menemukan jenis kapal yang sesuai. Beberapa jenis kapal dipertimbangkan untuk dicoba, termasuk kapal tongkang, namun dianggap tidak layak karena badannya terlalu lebar. Dari segi bahan juga demikian. Sempat diusulkan menggunakan kapal berbahan fiber, namun urung karena mudah pecah ketika menabrak. Akhirnya diputuskan menggunakan perahu nelayan yang sederhana karena dianggap lebih memadai. Setelah jadi, kapal itupun berganti nama menjadi 'Floating Hospital'.
Disebut kecil karena Floating Hospital ini sejatinya adalah kapal berukuran panjang 23,5 meter, lebar 6,55 meter dan bobot mati 114 ton. Kapal ini terbagi menjadi tiga dek. Dek atas untuk nahkoda dan tempat para relawan, dek tengah berisi ruangan steril dan ruang operasi, dek bawah adalah laboratorium.
Pembangunan rumah sakit ini menghabiskan dana Rp. 3 milyar dari rencana semula Rp. 6 milyar. Dana tersebut sepenuhnya diperoleh dari sponsor. Menurut Lie, ada sponsor yang menyumbang dengan cara memberikan diskon untuk peralatan dan perlengkapan yang diperlukan, jadi bisa menghemat biaya sekian banyak. Sebagai pilot project, kapal ini melakukan pelayaran perdananya selama 4,5 jam untuk menempuh pulau Panggang, kepulauan Seribu pada 16-17 Maret 2013. Di kapal itu, 25 dokter dan 25 orang relawan yang disiapkan mengobati 320 warga, 15 pasien bedah minor, dan 5 pasien bedah mayor.
Dalam sehari, Lie berhasil melakukan 3 operasi di atas kapal. Walau kapal sesekali bergoyang karena ombak, Lie bisa melakukan operasi dengan baik. Direncanakan akan ada 15 pasien yang menjalani operasi bedah di atas kapal, sedangkan penyuluhan kesehatan dilakukan di Balai Karang Taruna. Ada beberapa kendala yang ditemui dalam pelayaran pertama Floating Hospital ini, salah satunya adalah kecepatan kapal yang hanya 6-7 knot (11-13 km/jam), cukup lambat jika dibandingkan speed boat. Kendala lain adalah beberapa peralatan yang belum bisa dioperasikan seperti alat rontgen.
Masalah mesin tentu menjadi permasalahan yang cukup serius karena kapal ini direncanakan menjelajah daerah-daerah terpencil, lebih terpencil dari kepulauan seribu yang masih masuk dalam wilayah DKI Jakarta. Jadi bisa dibayangkan, sarana dan prasarananya tentu jauh lebih minim. Karena tidak memungut biaya dari pasien, Lie berharap bisa menjalin kerjasama dengan aparat-aparat setempat. Misalnya jika di suatu tempat sudah ada puskesmas, dokter setempat diharapkan bisa menjadi ujung tombak mencari pasien yang butuh pelayanan. Hal itu akan mempersingkat waktu singgah sehingga tim bisa melanjutkan ke tempat lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.