Tomy Winata (éƒèªªé‹’ Oe Suat Hong)
lahir 23 Juli 1958 di Pontianak
USAHA
-Properti
*Komersial
+Indonesia Stock Exchange Building (SCBD Lot 2, luas tanah 25.077 m²)
+Equity Tower (SCBD Lot 9, luas tanah 9.534 m²)
+18 PARC (SCBD Lot 18, luas tanah 8.068 m²)
+Artha Graha Building (SCBD Lot 25, luas tanah 6.050 m²)
+Menara Global (Jl. Gatot Subroto Jakarta, luas tanah 8.068 m²)
+Mangga Dua Square (Jl. Gunung Sahari Raya Jakarta, 4.000 kios, 8.000 mobil) dibuka Juni 2005
+Discovery Shopping Mall (Jl. Kartika Plaza Kuta Bali, luas tanah 38.082 m²) dibuka 2003
*Residensial
+Kusuma Candra Apartment (SCBD Lot 20, 178 apartemen)
+SCBD Suites (SCBD Lot 23B, 344 suite, 6 penthouse)
+Capital Residence (SCBD Lot 24, 71 apartemen)
+Residence 8 (Jl. Senopati Jakarta, luas tanah 1,5 hektare, 562 unit)
*Multi Fungsi
+One Pacific Place (SCBD Lot 3 & 5, luas tanah 30.897 m²)
+Signature Tower (SCBD Lot 6, luas tanah 18.873 m²)
+Bukit Golf Mediterania (PIK Jakarta, luas tanah 800 hektare)
+Mall Artha Gading (Kelapa Gading Jakarta, luas tanah 45 hektare) dibuka 2007
-Infrastruktur
*PT Bangungraha Sejahtera Mulia: membangun jembatan Selat Sunda
-Telekomunikasi & Informasi Teknologi
*Artha Telekomindo (Arthatel) didirikan 1993
*Danatel Pratama didirikan 1991
-Finansial
*Bank Artha Graha didirikan 1967
*Artha Graha General Insurance didirikan 1964, diakuisisi 1995 dari PT Maskapai Asuransi Tjahjana
-Pertanian & Peternakan
*PT Sumber Alam Sutera didirikan 2003 (luas tanah 106.000 hektare): penghasil beras hibrida
*PT Multiagro Pangan Lestari (dulu PT Mahkota Panca Lestari) didirikan 2008 (Jonggol Jabar): peternakan sapi
*PT Maritim Timur Jaya didirikan 1995 (Tual Maluku, luas tanah 140 hektare): penangkapan dan pengolahan ikan
*PT Harmoni Nirwana Lestari (Cianjur Jabar, luas tanah 420 hektare): penanaman teh
*PT Angels Products (Bojonegara Serang Banten) didirikan September 2002: penyulingan gula
*Tambling Wildlife (Lampung, Sumatera): konservasi alam
-Media & Hiburan
*JAK-TV mengudara Mei 2002 diakuisisi 2009 dari Grup Jawa Pos
*Electronic City Entertainment (bagian dari Electronic City): distributor film
-Perhotelan
*Prameswari Hotel (Cipanas Puncak, bintang 3, 145 kamar, luas tanah 18.559 m²)
*Borobudur Hotel (Jl. Bungur Besar Jakarta, bintang 5, 695 kamar)
*Discovery Kartika Plaza Hotel (Kuta Bali, bintang 5, 312 kamar, 6 vila) dibuka sejak 1991
-Transportasi
*PT Transwisata Prima Aviation (Jakarta) didirikan 2000: menyediakan transportasi udara
*Charter Vessel Service: menyediakan transportasi air
-Ritel
*Electronic City didirikan November 2001: toko elektronik
-Manufaktur
*PT Graha Kreasi Tekstile (Bandung Jabar): pabrik celana, rok, blus, jaket merek S’Oliver, Esprit, Express, J Crew, Grey Stone, Quiksilver, Billabong,
Ripcurl, DC Shoe
-Pemakaman
*Graha Santosa Memorial Park (Karawang Jabar, luas tanah 200 hektare)
-Ekspor Impor
*PT Muliatama Mitra Sejahtera (Jakarta) didirikan 2001: sejak 2010 menjadi pengimpor resmi minuman alkohol seperti Macallan, Jim Beam, Sauza Tequila, Johnnie
Walker, Remy Martin, Cointreau, Jack Daniel's, Bacardi, Martell, dan wine dari Australia serta Afrika Selatan
-Sosial
*Artha Graha Peduli
Struktur JIHD
Struktur Danayasa Arthatama
GOSIPNYA
Tahun 1971 Tomy Winata yang lebih akrab dengan inisial TW, sudah yatim piatu. Awalnya ia bekerja di sebuah perusahaan yang punya hubungan bisnis
dengan Kodam Tanjungpura dan pemerintah daerah di Singkawang, Kalimantan
Barat. Tugas remaja yang belum tamat SMP ini melakukan konfirmasi
pengiriman dan pesanan berikutnya.
Tahun 1972 Sugianto Kusuma memperkenalkan TW kepada komandan rayon militer di Singkawang, Kalimantan Barat. Saat itu TW dipercaya membangun kantor koramil di Singkawang. TW membangun sebuah mess tentara dengan biaya Rp. 60 juta.
Sejak itulah hubungan bisnisnya dengan militer terus berlangsung, terutama dengan beberapa perwira menengah dan tinggi. Cerita selanjutnya mirip perjalanan persahabatan
Liem Sioe Liong dengan Soeharto. Mereka merintis bersama dari bawah, saling mendukung. Ketika Soeharto naik posisi, Liem pun mendapat keuntungan dari sisi bisnis. Hubungan TW dengan sejumlah perwira juga tidak jauh berbeda. Karena hubungan baik dengan perwira TNI-lah, proyek Singkawang berlanjut. Order berikutnya adalah pembangunan asrama militer di Irian Jaya pada tahun 1975.
Ia dipercaya mengerjakan proyek untuk kepentingan militer, mulai dari membangun barak, sekolah tentara, hingga menyalurkan barang-barang ke markas tentara di Papua Barat dan di tempat-tempat lain seperti Makassar dan Ambon. Di sana ia berkenalan dengan Yorrys Raweyai, Ketua Pemuda Pancasila.
Tahun 1983 ia mengaku bangkrut. Pada saat itu modalnya bertambah: ijazah
SMA. ''Saya waktu itu masih bodoh, kurang hati-hati. Lebih banyak
pengeluaran dari pemasukan,'' katanya, suatu ketika. Tahun itu juga ia
hijrah ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan swasta.
Nasibnya mulai membaik saat bertemu Sugianto Kusuma. Sugianto selaku pemilik PT Amcol
Graha Electronic menawarkan gaji Rp. 3 juta per bulan. Karena ketekunan, keuletan, dan semangat kerjanya
yang tinggi, nasibnya cepat berubah. Sugianto lalu mengajak
TW bermitra. Sugianto mengenalkan TW dengan TNI AD yaitu Yayasan Kartika Eka Paksi yang
ketika itu dipimpin Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Edi Sudradjat.
Tahun 1989 Bank
Propelat merugi Rp. 600 milyar. TW diminta turun tangan meski awam
soal bank. Propelat yang semula dimiliki Yayasan Siliwangi berganti nama
menjadi Bank Artha Graha. Jika semula 100% sahamnya dimiliki yayasan,
pada 1992 sahamnya menjadi 40% milik Yayasan Kartika Eka Paksi. Selebihnya dibagi antara TW
(PT Karya Nusantara Permai) dan Sugianto Kusuma (PT Cerana Artha
Putra).
Beberapa bulan setelah pengambilan Bank Propelat, TW bersama Yayasan Kartika Eka Paksi mengambil alih saham mayoritas
di PT Jakarta International Hotel Development, badan usaha milik negara
(BUMN) yang antara lain mengelola Hotel Borobudur. TW lalu
mengembangkan bisnis hotel di Pulau Matahari, Kepulauan Seribu. Di Kuta,
Bali, masih bersama Yayasan Kartika Eka Paksi, membangun Discovery Kartika Plaza
Hotel.
TW lalu mendirikan Grup Artha Graha yang mendapat dukungan dana besar dari yayasan milik tentara, khususnya Yayasan Kartika Eka Paksi. Lewat Artha Graha, ia dengan mudah bisa menghubungi hampir semua panglima kodam di seluruh Indonesia. TW lalu berkenalan dengan Jenderal Tiopan Bernhard (TB) Silalahi, mantan Sekjen Departemen Pertambangan dan Energi serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Kabinet Pembangunan VI Soeharto yang menguntungkan bagi bisnisnya.
Tiopan Bernhard Silalahi
Tahun 1991 PT Jakarta International Hotels and Development mengakuisisi Danayasa Arthatama. Ia pernah tercatat dalam daftar 12 pembayar pajak terbesar di Indonesia pada tahun 1994 dan
GOSIPNYA pada tahun 1997 kekayaannya mencapai Rp. 3,5 trilyun.
Tahun 1992 bermitra dengan Yayasan Kartika Eka Paksi, lewat PT Danayasa Arthatama membangun Sudirman Central Business District
(SCBD) yang memakan biaya 3,25 milyar Dolar AS. Di areal megaproyek yang memakan lahan 40 hektare itu bakal
dibangun gedung perkantoran, hotel, apartemen, dan pusat niaga, yang
diperkirakan memakan dana Rp. 7,5 trilyun (kurs saat itu 1 Dolar AS = Rp. 8500).
Ia memiliki beberapa kapal pesiar dan mengelola usaha pariwisata di Pulau Perantara dan Pulau Matahari di Kepulauan Seribu. Pada Mei 2000, dalam suatu acara dialog di sebuah stasiun televisi swasta bersama Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ia dikabarkan memiliki bisnis judi di Pulau Ayer dan juga di kapal pesiarnya sehingga Gus Dur memerintahkan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Kapolri Letjen Rusdihardjo menutup tempat judi itu.
Saat aparat dan Komisi B (Bidang Pariwisata) DPRD DKI Jakarta melakukan inspeksi mendadak ke pulau itu, tidak ditemukan bukti seperti yang dituduhkan Gus Dur. Ternyata, Pulau Ayer dikelola Pusat Koperasi TNI AL yang bekerjasama dengan PT Global.
GOSIPNYA TW merupakan salah satu anggota 9 Naga yang bisnisnya meliputi perjudian, narkoba, dan pelacuran yang terkenal kebal hukum.
Karena hal ini pula ia sering dikaitkan dengan berbagai peristiwa berikut:
-27 Juli 1996: ia dituduh berperan dalam penyerbuan ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat karena pada malam sebelumnya terjadi konsentrasi massa penentang Megawati di seputar SCBD.
-Agustus 2002: ia dituduh berperan dalam penyerangan kantor Himpunan Masyarakat
Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) di Jakarta karena penyebaran pamflet oleh anggota Humanika yang menyebut TW sebagai dalang bisnis judi, narkoba, dan pelacuran.
-8 Maret 2003: ratusan massa merusak gedung majalah TEMPO di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat dan menganiaya 3 wartawan dan pemimpin redaksinya karena pemberitaan TEMPO tanggal 3 Maret bahwa TW telah mengajukan proposal renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 milyar yang telah diajukan sebelum kebakaran terjadi. Ia lalu memenangkan gugatan hukum di pengadilan dan mendapatkan uang Rp. 500 juta.
Pada Mei 2012 TW ditemani beberapa pejabat Polri pergi ke Hotel Bellagio, Las Vegas, AS untuk menandatangani kerjasama dengan MGM Hospitality. Rencananya ia akan membangun gedung tertinggi di Indonesia - The Signature Tower - setinggi 638 meter dengan 111 lantai di kawasan SCBD bernilai Rp. 9 trilyun yang diperkirakan selesai pada tahun 2017.
GOSIPNYA MGM akan mengoperasikan hotel tersebut.
Pada tahun 2011 Globe Asia menempatkan TW di peringkat 46 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan 570 juta Dolar AS.
GOSIP HARTONO SETYAWAN
Salah satu kasus TW yang paling menghebohkan adalah kasus melawan Hartono Setyawan. Hartono yang lebih dikenal dengan julukan 'ayam' atau 'prapanca' adalah seorang mucikari kelas kakap. Usahanya di bisnis pelacuran kelas atas tersebar di beberapa kota besar, yakni Jakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, Batam, dan Pontianak.
GOSIPNYA pada Juli 1986 dengan menyamar sebagai tamu, 4 petugas Polda Metro Jaya menangkap 19 PSK di rumah bordil milik Hartono di Jl. Prapanca Raya Blok P III No. 4.
GOSIPNYA untuk melayani pesanan pelanggan, para PSK diantar dengan mobil mewah ke hotel-hotel mewah tempat pelanggan menginap. Hartono tidak ditangkap karena tidak ada di tempat saat itu.
GOSIPNYA karena merasa banyak pesaing yang ingin menghancurkan bisnis prostitusinya, pada tahun 1994 ia berencana membuka tempat hiburan Planet Bali di Denpasar. Pembangunan Planet Bali awalnya dibiayai Bank Tamara, yang telah menjadi kreditor Hartono selama kurang lebih 20 tahun. Karena membutuhkan biaya besar, pada tahun 1996 Bank Tamara menyatakan tidak sanggup lagi membiayai proyek itu.
GOSIPNYA secara tidak sengaja ia bertemu TW yang memiliki Bank Artha Graha. Ia menceritakan kesulitannya dalam hal biaya untuk membangun Planet Bali yang akan dibuat konsep
one stop entertainment. Fasilitas tempat itu terdiri atas restoran, kafe, hiburan musik, karaoke, hotel, rekreasi keluarga, pusat kecantikan dan kebugaran serta tempat olahraga, seperti lapangan golf mini dan media internet dalam satu lokasi.
TW tertarik dan Hartono lalu menyerahkan semua aset yang dimilikinya untuk dijaminkan kepada Bank Artha Graha. Aset-aset yang ia serahkan meliputi:
-Tanah dan bangunan Planet Bali di Jl. Ngurah Rai No. 126 Jimbaran, Bali
-Tanah dan bangunan di Jl WR Supratman No. 85 Surabaya
-Tanah dan bangunan di Jl Prapanca Raya Blok P III No. 4 Jakarta
-Tanah dan bangunan di Kompleks Crown Hill, Batam
Pada November 1996 Hartono diberi pinjaman uang Rp. 6,5 milyar untuk mengambil alih kredit dari Bank Tamara dan Rp. 2 milyar untuk menyelesaikan proyek Planet Bali (
GOSIPNYA dari kredit tersebut Bank Artha Graha mewajibkan Rp. 200 juta disumbangkan ke Yayasan Kartika Eka Paksi). Ia lalu menandatangani akta pengakuan utang di hadapan notaris Imam Santoso di Jakarta tanpa didahului adanya perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit (
loan agreement) sebagaimana disyaratkan UU.
Akta itu sebenarnya hanya perjanjian accesoir (perjanjian pelengkap) dari perjanjian kredit yang tidak pernah ada. Dengan ditandatanganinya akta pengakuan utang itu, Hartono telah menjadi korban konspirasi kejahatan dan praktek perbankan yang tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian bank (
prudential banking principle).
I Gusti Bagus Alit Putra
Hartono pun tanpa rasa curiga meneruskan proyek Planet Bali karena badan usaha yang mengelolanya, PT Puri Tresnaning Sikian Abadi, telah mendapat izin resmi. Pada 8 Agustus 1997, I Gusti Bagus Alit Putra, Bupati Badung, yang juga kolonel TNI AD, bahkan ikut meresmikan acara pembukaan Planet Bali. Tiga hari setelah peresmian, Pemda Badung menutup Planet Bali karena tempat itu tidak mempunyai izin untuk membuat panggung tertutup.
Hartono meminta bantuan TW yang kenal dekat dengan I Gusti Bagus Alit Putra. Tapi, ia malah disodori surat pernyataan untuk menyerahkan seluruh aset Planet Bali dengan alasan tidak mampu memenuhi pembayaran bunga kredit. Hartono menolak dan Planet Bali pun dikuasai preman. Seluruh karyawan Planet Bali yang jumlahnya sekitar 300 orang diperintahkan untuk bubar dan pintu Planet Bali dirantai.
Pada 25 Juni 1998 Bank Artha Graha mengajukan permohonan eksekusi atas aset Hartono di Jl. WR Supratman No. 85 Surabaya kepada PN Surabaya. PN Surabaya lalu melansir penetapan untuk melakukan lelang atas barang jaminan tersebut. Pada April 1999 tanah dan bangunan itu dimenangkan oleh Adi Prasetyo dengan harga Rp. 1,66 milyar. Padahal, dalam sertifikat hak tanggungan harganya Rp. 2,45 milyar. Adi yang sehari-harinya berprofesi sebagai sopir ternyata orang suruhan Bank Artha Graha.
Hartono lalu melaporkan Kepala Kantor Lelang Surabaya ke PTUN Surabaya. Pada Februari 2000 PTUN Surabaya membatalkan lelang tanggal 7 April 1999. Perkara ini sudah memasuki tahap kasasi, sehingga belum berkekuatan hukum tetap.
Adi Prasetyo yang telah mengantongi surat balik nama atas tanah dan bangunan dari Badan Pertahanan Nusantara (BPN) Surabaya lantas mengajukan permohonan eksekusi pengosongan kepada PN Surabaya. Permohonan itu dikabulkan. Upaya Hartono mempertahankan rumah itu gagal setelah sekitar 100 orang tak dikenal tiba-tiba memasuki rumah itu dan menjarah isinya.
Masalah Hartono bertambah ketika ia juga tersangkut kasus aborsi. Tim Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Jawa Timur bekerja sama dengan Polresta Surabaya Selatan, membongkar septic tank (tangki kotoran manusia) di rumahnya itu. Pembongkaran itu dilakukan karena tempat itu tidak cuma menampung PSK tapi juga diduga berfungsi sebagai tempat menjalankan praktek aborsi para PSK yang hamil.
GOSIPNYA polisi menemukan peralatan aborsi di salah satu ruangan rumah.
Mengetahui akan ditangkap, Hartono membakar salah satu kamar rumahnya dan berusaha kabur tapi karena sudah dikepung polisi, ia pun ditangkap. Ia sempat dibebaskan dari tahanan karena tangan kirinya terluka saat eksekusi berlangsung tapi ia lalu mendekam di Mapolresta Surabaya Selatan dengan tuduhan membakar barang yang bukan miliknya lagi.
Setelah itu, Bank Artha Graha mengajukan permohonan eksekusi atas tanah dan bangunan Planet Bali kepada PN Denpasar. Permohonan dikabulkan. Hartono mengajukan banding. Meski begitu, Kantor Lelang Negara Denpasar tetap melelang Planet Bali yang akhirnya dimenangkan oleh teller Bank Artha Graha, Devi Krisna Permanawati seharga Rp. 8,6 milyar.
Hartono lalu melaporkan Kantor Lelang Denpasar ke PTUN. Pada 24 Agustus 2000 Ketua PN Denpasar, Ida Bagus Ngurah Somya melansir surat pelaksanaan eksekusi atas tanah dan bangunan Planet Bali. Hartono mengadukan hal ini ke Ketua MA, dengan tembusan ke Presiden RI, Ketua DPR RI, Komnas HAM, Komisi Ombudsman Nasional, dan Mabes Polri.
Sementara itu, jumlah pinjaman Hartono yang semula hanya Rp. 8,5 milyar dalam kurun 4 tahun membengkak menjadi Rp. 63,7 milyar atau dengan kata lain terjadi kenaikan bunga kredit rata-rata 200% per tahun.
Pada Maret 2001 Hartono mengaku telah ditipu Kapolres Surabaya Selatan Ajun Kombes Wahyu Indra Pramugari (kini Kapolda Sumbar) dalam kasus eksekusi rumahnya di Surabaya. Hartono menggugat perdata senilai Rp. 50 milyar, karena dalam pengakuannya Kapolres pernah menjamin takkan dilakukan eksekusi.
GOSIPNYA Kapolres pernah menerima suap Hartono Rp. 20 juta sebagai jaminan rumah Hartono di Surabaya takkan dieksekusi.
Hartono dan istrinya Ny. Oei Lisa Mariana (
GOSIPNYA dulu bernama Oei Djoen Kiem) lalu menggugat Bank Artha Graha dan Tomy Winata di PN Jakarta Pusat. Upaya Hartono untuk melawan hukum dalam kasus Planet Bali membuahkan hasil. Majelis Hakim yang diketuai Ny. Chasiany R Tandjung memenangkan gugatan yang diajukan Hartono dan istrinya.
GOSIPNYA Hartono juga memenangkan gugatan atas kasus penyitaan tanahnya di Surabaya.
GOSIPNYA Hartono mendapat ganti rugi untuk kasus di Surabaya dan Planet Bali dengan nilai total mencapai Rp. 600 milyar.
Sejak itu ia vakum dan kemunculannya pada awal tahun 2009 lewat sebuah situs online membuat kaget banyak orang. Situs yang
GOSIPNYA memanfaatkan kepopuleran nama Hartono itu menawarkan sejumlah artis Indonesia untuk memuaskan birahi, diantaranya: Dewi Persik, Julia Perez, Sarah Azhari, Rahma Azhari, Angel Lelga, Julie Estelle, Luna Maya, Olga Lidya, Asmirandah, Ria Irawan, Pretty Asmara, Laudya Chintya Bella, dan masih banyak lagi.